Oleh Elvan De Porres
Ketika seorang Jesuit memilih nama Fransiskus, patron dari Saudara Hina Dina, sebagai nama Paus, banyak sekali timbul keterkejutan. Namun, sikap hidup beliau sungguh mengguratkan teladan kesederhanaan, kesahajaan, dan kerendahahan hati yang sepadan dengan semangat dari nama yang dipilihnya. Semangatnya untuk mereformasi Gereja pun sungguh kental terasa pada masa awal kegembalaannya. Ia tak segan dan gentar membawa kebiasaan positifnya, kala menjalankan tugas sebagai Uskup Agung Buenos Aires, masuk ke dalam tembok tebal Vatikan yang begitu kokoh dan dingin. Paus Fransiskus ingin memberikan contoh apa yang sesungguhnya harus dilakukan oleh kaum klerus melalui hal-hal sederhana.
Jorge Mario Bergoglio, yang sangat mencintai sepak bola sejak kanak-kanak ini, tampil sebagai sosok gembala populis yang dekat dengan hati umatnya. Beliau juga sudah terbiasa dengan tantangan. Ketika masih kecil hendak masuk ke lembaga pendidikan calon imam, ketika menjadi seorang Jesuit, dan yang lebih menghadang lagi kala menjadi Uskup Buenos Aires, tantangan menjadi sesuatu yang lumrah baginya. Saat sebagai Provinsial Serikat Jesuit Argentina, beliau dihadapkan dengan junta militer yang penuh dengan kekerasan. Ia harus memimpin suatu korps Gerejani yang menaruh orientasi pada bidang kerasulan untuk “melawan” pemerintah. Meskipun kebijakan yang diambilnya menimbulkan kontroversi karena dianggap dilematis, Jorge rupanya mampu melaksanakan perjuangan sesuai dengan cara dan langgamnya yang khas.
Sikap berani menghadapi tantangan itu melekat terus di dalam dirinya. Sikap anti-klerikalisme tampak nyata dalam isi pidatonya prakonklaf di hadapan Kolegium Kardinal. Ia berujar bahwa Gereja harus berani menghindarkan diri dari penyakit rohani yang berwatak acu-diri (hanya mereferensi dan merasa cukup dengan dirinya sendiri). Beliau pun melanjutkan, “….Antara Gereja yang mengalami kecelakaan di jalan dan Gereja yang menderita karena watak acuh-diri, saya pasti memilih yang pertama.” Sikap berani tersebut sebenarnya sudah ditunjukkan ketika menjadi Uskup. Krisis ekonomi yang melanda Argentina sekitar 1999-2002 sontak menimbulkan keberanian dari dalam diri Bapa Uskup untuk mengkritik tajam para politisi korup di negara itu. Ketegasan beliau dalam perspektif moralitas membuat pejabat pemerintah selalu memperhitungkan tindak-tanduknya dalam urusan politik. Bahkan, pada tahun 2004, hubungan beliau dengan pemerintah Argentina menjadi kurang harmonis akibat khotbahnya yang menyinggung pihak kekuasaaan.
Kedekatannya dengan orang kecil-sederhana menyata dalam beragam tindakannya yang sangat karitatif. Beliau mengunjungi pusat rehabilitasi para penderita HIV/AIDS di Buenos Aires, penjara-penjara, rumah sakit, dan beragam panti sosial lainnya. Visitasi pastoralnya lebih tertuju kepada umat yang miskin-papa. Semangatnya itu terbawa ketika menjadi Paus dengan membela kepentingan kaum buruh di Bangladesh. Bapa Suci bahkan pernah mengatakan, “Gereja tidak bisa hanya duduk manis mempercakapkan teologi sambil minum teh. Gereja yang miskin dan untuk kaum miskin harus memerangi mentalitas ini.” Paus bahkan menyamakan Gereja dengan istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) jika tidak mendasari iman dalam Kristus yang tersalib.
Pilihan-pilihan radikal Paus Fransisikus seolah-olah mengabaikan kedudukannya sebagai pemegang pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Tongkat kegembalaan bukan justifikasi untuk dilayani tetapi menuntut pengorbanan lebih, pengabdian penuh kepada Allah dan Gereja-Nya. Sikap rendah hati Paus Fransiskus ingin menunjukkan wajah Gereja yang lebih manusiawi, mengatasi dinding-dinding kaku birokrasi Vatikan yang menakutkan. Pada masa awal masa kepausannya saja, sudah banyak prosedur protokoler yang tidak dihiraukannya. Beliau menampilkan kesahajaan dalam prinsip keugahariannya. Sikap Fransiskus yang rendah hati dan sederhana merupakan wujud semangat magis dalam kehidupannya yang merupakan perpaduan spiritualitas Ignasian dan Fransiskus Asisi. Ketika wujud kontemplatif menampilkan dirinya beserta semangat pembaruan melalui tindakan sederhana, di situlah kebajikan sejati tampak.
Pada akhirnya, Paus Fransiskus tidak ingin mengubah tradisi yang sudah ada, tetapi sekadar mendorong ke arah pilihan yang terbaik bagi Gereja. Penampilannya yang menyerupai Pastor paroki menjadi inspirasi bagi kaum klerus. Tindakan-tindakan nyata beliau membuka pintu dan melebarkan jalan bagi gerakan reformasi Gereja secara internal. Fransiskus telah melayani Gereja. Semboyan ecclesia semper reformanda senantiasa diwujudnyatakan olehnya.
Buku ini sangat gamblang menjelaskan kiprah Paus Fransiskus yang sungguh membawa arus perubahan baru di dalam Gereja. Ditulis dengan bahasa lugas-sederhana yang membuat pembaca sungguh mengikuti alur elaborasi yang ditampilkan. Kebanyakan berisikan kisah-kisah seputar kehidupan Paus Fransiskus, menjadikan buku ini enak untuk dibaca saat situasi santai dan tidak terlalu menguras pikiran. Ada banyak penjelasan bagus dan menarik yang disampaikan para pengarang yang membuat pembaca mengetahui kehidupan Paus Fransiskus bahkan pada saat situasi hidupnya sejak kecil. Adapun informasi-informasi tambahan seputar historiografi kepausan, konklaf, moto dan lambang Paus Fransiskus, dan juga tanggapan seputar pengunduran diri Paus Benediktus XVI memberikan injeksi pengetahuan umum bagi khalayak pembaca.
Namun, bagian kepustakaan lebih banyak menampilkan sumber dari internet. Memang ini baik adanya, namun kualitas keilmiahan buku akan lebih terasa bila ada keseimbangan juga dengan sumber-sumber kepustakaan dari buku-buku. Berikutnya, apabila pembicaraan tentang Fransiskus dari Amerika Latin, keruntutan penceritaan perjalanan hidup beliau mesti lebih dipertajam dan diperluas lagi sehingga para pembaca sungguh merasa puas dengan kekompletan isi buku.
Buku ini disarankan untuk dibaca oleh setiap kalangan yang ingin mengenal sosok Paus Fransiskus secara lebih dekat. Meski buku ini tampak secara spesifik diperuntukkan bagi setiap penganut agama Katolik guna mengenal seluk-beluk kiprah pemimpin Gerejanya ini, namun tidak ada salahnya para pemimpin agama lain dan pemimpin masyarakat, membaca buku ini sebagai bagian dari perefleksian atas karya pelayanan mereka selama ini.
Belum ada tanggapan.