Siang itu aku sakit, tepatnya ditanggal (1/8/16). Saat itulah aku menyadari, kekuatan manusia begitu rapuh. Kerapuhan manusia bukan hanya pada tubuh, tetapi pada saat pikiran tak bisa digunakan lagi, saat itulah kita benar-benar seperti seonggok daging yang tak berguna.
Aku mencoba melawan kerapuhan itu. Aku membaca buku Miyuki Inoue (2011). Buku diberi judul 17 Tahun Usiaku, Anak Yang Terlahir 500 gram dan Buta. Buku diberi sampul menarik, foto Miyuki, yang menunjukkan wajah tersenyumnya dan mata yang sipit seperti hendak membuka.
Aku pun melanjutkan membaca kisah Miyuki hingga tuntas. Aku pun tak kuasa meneteskan air mata. Lelaki cengeng. Kisah Miyuki mengingatkanku pada Ibu. Ibu, bagaimanapun juga yang telah membuatku sadar dan mengerti, hidup ini harus dijalani dengan tangan dan kaki yang tegar.
Meski ibuku kini berusia setengah abad, ia masih memiliki harapan, ia masih memiliki kekuatan dan tekad untuk mewujudkan harapan itu. Cintanya padaku, pada anak-anaknya seperti tak terlukiskan. Pagi, siang dan malam ia gunakan untuk bekerja dan berdoa. Ia tahu, masih ada tiga anak yang dianggap belum sepenuhnya lepas darinya. Sebagai anak pertama, aku sudah menikah, dan dianggap sudah bisa mandiri.
Tapi, apa yang dilakukan ibu sudah memberikan banyak pelajaran bahwa kehidupan mesti dijalani dengan tekad dan kesungguhan. Sama seperti yang dilakukan oleh ibu Miyuki. Ibu Miyukilah yang menyuburkan harapan hidup Miyuki.
Miyuki terlahir prematur dengan berat 500 gram, hal ini salah satunya disebabkan saat Ibu Miyuki mesti kehilangan suaminya, ayah Miyuki. Ibunya selalu berdoa, agar Miyuki tetap hidup. Dan akhirnya, tekad itulah yang membuat harapan sang bayi yang masih mungil ini menjadi tumbuh. Miyuki pun hidup, dan ibunya sendiri tak percaya kalau ia mampu membesarkan anaknya dengan cinta.
Miyuki dididik dengan keras, maklum, dahulu ibunya sendiri merasa kering kasih sayang, bahkan ibunya sendiri tak membolehkannya memanggilnya “Ibu”. Ibunya mengusirnya, dan tak mengakuinya, tetapi ibu Miyuki pun dengan tabah berjuang dan terus bertahan hidup. Ia pun sering berkata pada Miyuki, “maafkan aku nak, bila ada yang salah dalam caraku membesarkanmu, sebab aku tak dibesarkan dengan kasih sayang”.
Dari didikan ibunya yang meski kasar, tapi sebenarnya penuh kasih sayang itu, Miyuki seperti memiliki mata yang lain. Ajaran ibunya membuatnya tak merasakan buta sebagai beban. Kebutaan bukanlah sesuatu yang buruk. Berkat ibu, aku dibesarkan tanpa berfikir bahwa kebutaan adalah sesuatu yang tragis. Mungkin saja ibu mengkhawatirkan masa depanku, tetapi ibu sama sekali tak menyinggung-nyinggung tentang kebutaanku sampai aku mengerti dengan sendirinya (xiii).
Tidak hanya itu, bahkan ketika Miyuki ingin berlatih bersepeda, ibunya mengiyakan dan cuek saja. Ibu hanya memperhatikannya dan membiarkan Miyuki saat ia jatuh. Sampai Miyuki berhasil sendiri menaiki sepeda, Ibunya pun memeluknya dengan gembira saat tahu Miyuki berhasil. Hal itu justru membuat Miyuki senang, andai saja ibu membantunya, tentu ia tak berhasil bersepeda.
Sadar Berliterasi
Miyuki dididik sadar berliterasi semenjak dini. Ia selalu bergelimang bacaan dan dongeng menjelang tidurnya. Meksi matanya terpejam, ibunya selalu membawanya kepada dunia imajinasi yang membantunya bisa membayangkan kehidupan seperti nyata.
Setiap malam Ibu membacakan dua atau tiga buku bergambar. Aku sangat menyukai cerita dan sejak TK selalu mendengarkan kaset cerita anak-anak. Berkat gambaran dan rasa yang dijelaskan oleh ibu tentang cerahnya cuaca atau daun pepohonan ,aku jadi memahami cerita itu sekaligus menikmati dunia dongeng. Langit yang luas, hutan yang hijau, danau yang indah, lalu anak-anak petualang yang berlarian dan melompat-lompat. Aku dapat membayangkan anak-anak itu dengan jelas (h. 37).
Dari cerita-cerita itu, ia merasakan bahwa kehidupannya dengan segala kekurangannya tak membuatnya putus asa. Ia justru merasakan bahwa kekurangannya menjadi bagian dari sesuatu yang harus disyukurinya.
Dari didikan ibunya, Miyuki akhirnya memiliki keteguhan hati, dan jiwa yang besar. Hal ini bukan hanya didapat dari kasih sayang ibunya yang membanjir, tetapi juga dari para penulis surat dan pengagum Miyuki.
Betapa Miyuki merasakan ada kelegaan dan hati yang mendalam, saat ia merasakan betapa banyak orang yang mendukungnya dan menjadikannya inspirasi. Ia sadar, justru dari kekurangannya itulah, ia memungkinkan bermanfaat bagi banyak orang.
Miyuki tergolong muda, saat ia menjadi penulis. Di usia SMP, ia justru sudah menuliskan bukunya dan dibaca banyak orang. Bukunya telah membuat banyak orang bangun dari kesia-siaan hidup.
Saat bukunya terbit, betapa gembiranya dia sampai tak melepaskan bukunya dari pelukannya. Ia pun menyadari betapa beruntungnya ia dibesarkan oleh seorang ibu yang menyadarkannya betapa pentingnya berliterasi. ”Sejak kecil aku membaca berbagai buku yang tak terhitung banyaknya dan tumbuh besar bersama buku. Aku berpikiran melalui buku, kita bisa mengetahui tentang dunia dan manusia. Diantara buku-buku itu, bukuku termasuk di dalamnya (h. 90).
Simaklah kata-kata Miyuki yang bak sastrawan dunia ini : Buku hanyalah sesuatu yang dirangkai dalam huruf-huruf. Tapi pada akhirnya, aku berpikir ini juga merupakan suatu bentuk komunikasi yang melebihi kata-kata (h.118). Mendengar dan menyimak kata-kata ini, aku jadi teringat saat aku membaca novel berjudul Yu Hua (hidup). Meski novel itu berisi huruf-huruf dan kata-kata, pada akhirnya novel itu ikut memberi sentuhan dalam hidupku. Hidup pada akhirnya mesti diakhiri dengan baik-baik, sebab kita dilahirkan dengan baik-baik pula.
Kisah Miyuki yang dibesarkan dengan kasih sayang bisa membuat kita mengerti, berliterasi membuat Miyuki mampu membagi dan membuatnya semakin merasakan berkah hidup itu sendiri. Melalui tulisan yang ia bagikan, ia telah dengan sendirinya menyalakan lilin di tengah kegelapan. Saat lilin-lilin itu bertambah banyak, saat itulah ia telah membuat cahaya dalam hidupnya, hingga ia tak merasakan buta.
Aku jadi berfikir, sebenarnya apa yang dirasakan Miyuki tak sama dengan kita. “Orang buta merasa bahwa semua yang dilihatnya adalah imajinasi, atau tak nyata. Sedangkan kita, orang yang bisa melihat, merasa bahwa hidup kita adalah imajinasi, karena kelak kita akan menutup mata selama-lamanya. Sedangkan orang buta sudah merasakan itu terlebih dahulu”
Aku pun melihat-lihat tulisanku yang kemaren minggu (31/7/2016) keluar di Jawa Pos. Aku merasakan, ada hasrat untuk membagi, meski yang dibagi belum seberapa. Dari kisah Miyuki itulah, aku belajar, hidup berliterasi itu penting.
*)Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.