Bagiku, tak masalah mereka berbohong, mencari-cari alasan agar mereka bisa bertemu dan memadu kasih dengan bebas di luar sana. Ketimbang melarang keduanya untuk bertemu atau menggerebek saat mereka melakukan hal tak senonoh di kamar hotel, aku lebih sering mengintropeksi diriku, mencari alasan logis yang menenangkan hati. Oh, mungkin dia butuh hiburan, toh dalam rumah tangga pasti ada rasa jenuh. Semua alasan kubuat untuk tetap bertahan.
Tapi kali ini aku ingin sekali menyiramkan teh panas yang menemaniku mendengarkan suara tak senonoh yang keluar dari kamar pembantu rumah ini, ke wajah keduanya. Apa pantas disebut manusia, laki-laki yang merupakan seorang suami sekaligus ayah, bersama seorang pembatu yang usianya baru Delapan Belas melakukan hal tak senonoh di rumah yang tak hanya diisi oleh keduanya.
Suara decitan pintu mengalihkan perhatianku. Aku langsung beranjak dari kursi saat melihat putraku yang berusia enam belas, keluar dari kamarnya membawa tongkat bisbol, hendak menghantamkannya ke pintu kamar pembantu yang menjadi pusat perhatianku sejak tadi.
“Putra!” Aku menahan lengan putraku.
Dia memberontak.
Aku menggeleng, tanganku masih menahannya. “Papa lagi benerin lampu di kamar Mbak Nabila,”
“Kalo besok Mama gak pecat Mbak Nabila, Putra yang akan buang barang-barang dia.”
Aku mengangguk sambil mengusap kepala Putra dengan lembut. Tanpa bicara sepatah kata pun, dia melenggang pergi meninggalkanku.
Suara tak senonoh di dalam kamar itu hilang, mungkin mereka sadar keberadaanku dan Putra. Aku kembali ke meja makan untuk mengambil teh manis yang sudah menghangat.
Suara riuh kini terdengar mendekatiku. Nabila dan Suamiku, Mas Ibram, keluar dari kamar dengan pakaian lengkap dan rapi. Aku menatap mereka tak minat.
“Mil, ini gak seperti yang kamu pikirkan.” Mas Ibram nampak gelagapan.
Aku menghampiri mereka dengan teh manis di tangan. Wajah Nabila memucat. “Emang kamu tahu apa yang aku pikirin?”
“Bu—” ucapan Nabila terpotong, teh manis milikku berpindah ke wajahnya. Aku benar-benar tidak ingin mendengar suaranya.
“Saya gak nyuruh kamu ngomong, Nabila!”
“Mila!” Mas Ibram menegur, tapi tak bisa berbuat banyak.
“Besok kemasi barang-barang kamu dan pergi sepagi mungkin! Saya gak mau lihat wajah kamu lagi!” Sebisa mungkin aku manahan diri agar tetap terlihat tenang.
“Mila, jangan keterlaluan!” Mas Ibram kembali menegur.
“Atau kamu mau aku dan Putra yang mengemasi barang-barang kami?”
Mas Ibram bungkam.
Hari ini rumah sepi, Putra sudah pergi sekolah, Nabila sudah pergi sebelum adzan subuh berkumandang, Mas Ibram juga sudah pergi pagi sekali katanya ada meeting, padahal aku tahu dia pergi untuk mengantar Nabila ke tempat tinggalnya yang baru.
“Drrrttt… Drrrttt… Drrrttt…” Ponselku berbunyi. Bu Masitoh, wali kelas Putra menelpon. Tanpa banyak pertimbangan aku segera mengangkatnya.
“Halo, Bu?”
“Bu Mila bisa datang ke sekolah hari ini?”
“Ada masalah apa ya, Bu?”
“Kita bicarakan di sekolah saja, Bu.”
“Oke. Saya langsung ke sana.”
Jantungku seolah berhenti berdetak saat Bu Masitoh menaruh botol minuman keras di atas meja. Bu Masitoh menatap wajahku dan Putra bergantian, kemudian menghela nafas berat.
“Botol minuman ini ditemukan di tas Putra, Bu.”
Aku terdiam sejenak. “Apa ibu yakin ini milik Putra?” tanyaku.
“Putra mengakuinya, Bu. Hari ini juga Putra berkelahi dengan Bani, teman sekelasnya, hingga hidung Bani berdarah. Tapi saya sudah bicara dengan keluarga Bani, syukurnya mereka memaklumi perkelahian yang terjadi.”
Aku tidak bisa menahan air mataku yang meluncur begitu saja dari pelupuk mata. “Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Bu. Saya akan lebih mengawasi Putra mulai sekarang.”
“Tapi, dengan berat hati kami harus menskors Putra selama satu Minggu. Itu hukuman yang paling ringan untuk Putra saat ini.”
Entah sejak kapan Putra berubah menjadi anak yang dingin dan tak berperasaan. Bahkan setelah keluar dari ruang guru, aku tak menemukan rasa bersalah di raut wajahnya, bahasa tubuhnya tampak normal seolah tak terjadi apapun.
“Apapun masalahnya gak seharusnya kamu memukul teman kamu, Putra.” Aku menasihatinya di depan ruang guru.
“Kalau aku mukul Papa, boleh?”
“Mama jemput kamu pulang sekolah.” Pada akhirnya aku tetap tak berdaya. Aku tak bisa menyalahkan Putra atas apa yang ia lakukan. Jawabannya cukup jelas, penyebab kenakalan Putra adalah aku dan Mas Ibram yang tak becus membina rumah tangga.
Tiga hari berlalu, dan selama itu pula Putra tak pernah keluar dari kamarnya. Mas Ibram juga tak pulang sejak dua hari lalu dengan alasan dinas keluar kota, tapi aku juga tahu kalau dia ada di kostan Nabila di daerah Depok.
Aku memutar kenop pintu kamar Putra, hendak mengantarkan menu makan siang. Pintu itu langsung terbuka, tak biasanya.
“Putra?” Aku menghampiri Putra yang sedang meringkuk di kasurnya, membelakangiku.
Kuletakkan nampan berisi makanan itu di atas nakas. Kemudian menyentuh lengan Putra. “Putra?” Aku sangat panik saat merasakan tubuh Putra yang sangat panas.
Putra perlahan membuka matanya. Aku menutup mulutku saat melihat bola mata Putra yang terlihat menguning, begitu juga dengan wajahnya.
Aku tak henti-hentinya menangis saat melihat kondisi putra, tubuhnya telihat begitu ringkih, perutnya terlihat agak buncit, warna kulitnya juga berubah kekuningan. Aku terlalu sibuk mencari alasan untuk menghibur diri atas perlakuan suamiku hingga kurang memperhatikan Putra.
Dokter menghela nafas panjang setelah memeriksa Putra. “Sepertinya ada gangguan di liver Putra. Tapi perlu pemeriksaan lanjut untuk mengetahui pastinya, juga penyebabnya. Sementara Putra harus di rawat inap terlebih dahulu agar kami bisa terus pantau kondisinya dan diberi penanganan.”
Tangisku pecah saat itu juga. Belum cukupkah perlakuan suamiku menjadi hukuman bagiku, hingga anakku juga harus menanggung semua ini?
Sudah Empat hari Putra di rawat inap. Dua hari lalu hasil pemeriksaan Putra sudah keluar, ucapan dokter kala itu juga terus terngiang-ngiang di kepalaku dan menjadi mimpi buruk bagiku.
“Putra mengalami sirosis liver. Kondisi liver Putra sudah sangat buruk, Bu. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah transplantasi liver. Saya akan masukkan Putra ke daftar penerima donor. Meski begitu, kondisinya bisa saja semakin buruk selama masa menunggu donor. Tapi kita akan terus memantau kondisi Putra. Saya menyarankan untuk mencari donor hidup, karena dengan cara itu Putra dapat ditangani secepatnya.”
Aku meremas botol air mineral kosong. Entah kemana lagi aku harus mencari pendonor untuk Putra. Aku tidak bisa menjadi pendonor bagi Putra karena operasi pemasangan ring jantung setahun lalu. Haruskah aku mencari Mas Ibram yang bahkan tak bisa dihubungi sejak Tiga hari lalu? Ia bahkan tidak menampakkan batang hidungnya meski puluhan SMS sudah aku aku kirimkan padanya.
“Bu.” Seorang perawat menyentuh pundakku.
Aku menoleh.
“Putra mendapatkan donor,”
Aku menutup mulut, terperangah tak percaya. Secepat itu? Aku tak bisa menahan tangis bahagiaku. Kupeluk perawat wanita itu untuk meluapkan rasa bahagiaku.
“Alhamdulillah.” Aku memanjatkan syukur di sela tangisanku.
Setelah mendengar kabar bahagia itu aku menemui Putra. Dia sedang terbaring lemah di ranjang, tatapan yang biasanya terkesan dingin kini berubah menjadi sayu dan tampak rapuh.
“Putra.” Aku mengusap kepala Putra.
“Ma?” Dia tersenyum tipis.
Air mata kembali lolos di pelupuk mataku. Aku bahkan tak sanggup bicara karena terlalu bahagia dengan berita yang kubawa ini.
Tangan lemahnya terangkat, mengusap air mata di pipiku. “Putra baik-baik aja, Ma. Apapun yang terjadi Putra akan menerimanya. Mungkin ini hukuman buat Putra atas segala yang Putra lakukan. Mama harus melanjutkan hidup dengan bahagia.”
Aku mengangguk. “Iya, Mama memang akan hidup bahagia bersama kamu.” Aku menghapus air mata yang kembali mengalir di pipiku. “Hari ini kamu dapat donor, Putra akan sembuh.”
Senyum bahagia tercetak jelas di wajahnya. Dia bahkan tampak kehilangan kata-kata.
Aku meraih tangannya, menguatkan. “Bertahan ya, Nak. Sedikit lagi, sedikit lagi kamu akan sembuh.”
Hari ini Putra berjuang mempertaruhkan nyawanya di meja operasi. Dari ruang tunggu, aku tak henti-hentinya melafalkan doa untuk kelacaran operasi yang dijalaninya.
Setelah Sembilan jam, pintu ruang operasi terbuka, Dokter yang menangani Putra keluar. Aku buru-buru menghampirinya dan menghujaninya pertanyaan seputar keadaan Putra.
Dokter itu tersenyum sambil memegang pundakku. “Operasinya berjalan lancar, semua ini berkat doa ibu dan perjuangan Putra untuk bertahan.”
“Terima kasih, Dok. Terima kasih.”
“Sama-sama, Bu. Saya permisi,”
Melihat Putra kembali sehat, membuatku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini. Ia bahkan sudah bisa lagi mengupas apel sambil bercerita banyak hal padaku.
“Ma!” Putra menegurku dengan lembut, tak nyaman wajah tampannya terus kupandangi seperti ini.
Tawa kecil lolos dari bibirku. Mengurus Putra seperti ini mengingatkanku pada masa kecil Putra, di mana keluarga kami masih hangat, Putra yang begitu manja padaku, suami yang begitu mencintai keluarga dan Nabila belum ada di tengah-tengah kami.
“Ma, Papa gak kesini sama sekali ya?” tanya Putra.
“Papa lagi ada urusan kerjaan, nanti juga Papa kesini.”
“Putra benci sama Papa,” ucap Putra, pandangannya lurus menghadap pintu. Kemudian menenggelamkan diri di dalam selimut.
Aku menoleh, ikut melihat ke arah pintu. Tepat di ambang pintu aku temui sosok Mas Ibram. Hatiku sakit melihat Mas Ibram memakai pakaian pasien sambil membawa infus seorang diri.
“Mas Ibram?”
Mas Ibram hanya tersenyum, nampak menerima dan memaklumi perlakuan Putra.
“Maaf, Mas baru bisa datang.”
Entah ‘maaf’ itu cukup atau tidak untuk menebus segalanya. Tapi aku tahu, sebesar apapun rasa benci yang ada di hati kami, masih tersisa kasih sayang di dalamnya. Itulah mengapa aku memilih untuk bertahan.
*****
“Saya mau menjadi pendonor untuk Putra. Tapi, Dok, tolong jangan bilang pada istri dan anak saya, biar nanti saya yang sampaikan sendiri setelah operasi. Saya terlalu malu menemui meraka sekarang.”
Belum ada tanggapan.