Manusia dengan mimpi-mimpi indah kehidupan, senantiasa terobsesi untuk menggapainya. Konstruksi budaya mempersepsikan bahwa capaian dalam hidup yang ideal adalah kesuksesan, kebahagiaan, kekayaan, ketenaran, dan konsep-konsep abstrak lainnya. Konsep-konsep ideal yang ada telah menjadi bagian dari mimpi-mimpi besar kehidupan tersebut.
Dalam upaya menggapai mimpi tersebut, seringkali batu sandungan hadir sebagai tamu yang tidak diundang, bahkan tidak pernah diinginkan. Tahap ini penuh rasa sakit, menyiksa, dan menyengsarakan.
Tidak semua manusia siap ditempa di tahap ini. Beberapa gigih berjuang, dan beberapa yang lainnya memilih menghindari rasa sakit, siksa, dan sengsara. Mereka yang gigih berjuang, tidak ada jaminan berhasil menggapai, apalagi yang memilih untuk menghindar, sudah tentu semakin berjarak dengan mimpi-mimpi kehidupan tersebut. Meskipun salah satu adagium mengatakan; “Banyak Jalan Menuju Roma.”, namun hukumnya tetap sama, tidak ada jaminan keberhasilan. Masalah demi masalah muncul, dan kegagalan mewujud sebagai hantu. Mengintai setiap upaya manusia untuk mimpi-mimpi indah kehidupannya.
Konsep hidup dengan capaian ideal justru memberikan tekanan psikologis bagi mereka yang benar-benar tidak siap dengan masalah-masalah yang datang. Masalah kemudian dianggap sebagai sesuatu yang bersifat negatif dalam kehidupan. Sementara nilai-nilai yang secara umum dipandang negatif, telah berubah menjadi momok bagi manusia. Momok ini berwujud ketakutan dan kecemasan. Dalam bentuk paling mengerikan, momok tersebut akan menyebabkan krisis eksistensial.
Di sisi lain, media juga berperan dalam mengukuhkan konsep hidup yang ideal melalui tayangan-tayangannya. Persepsi yang dibangun masih sama, dan budaya konsumerisme dikampanyekan. Dampaknya manusia kabur dalam memandang mana kebutuhan dan mana keinginan. Dorongan untuk mendapatkan yang lebih seolah sudah menjadi kewajaran. Hidup yang ideal adalah yang lebih; lebih sukses; lebih bahagia; lebih kaya; lebih tenar; dan lebih-lebih yang lain, tanpa disadari manusia sudah didorong untuk peduli kepada banyak hal.
Di saat manusia pada umumnya mendambakan kehidupan dengan segala mimpi indahnya, tidak menghendaki masalah, menganggap sesuatu yang negatif adalah tidak baik, dan segala keinginan untuk mendapat lebih, Mark Manson, seorang blogger asal New York justru sebaliknya.
Dengan keresahan terhadap budaya masyarakat yang sama seperti tertulis sebelumnya, Mark menawarkan sebuah kerangka berpikir untuk mengarungi kehidupan yang ia sebut sebagai “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”.
Menjadi bodo amat bukan berarti menjadi acuh, sehingga manusia tidak memedulikan apapun yang ada dalam kehidupan. Bodo amat adalah nyaman ketika berbeda, bodo amat dengan konsep orang lain. Berpijak pada prinsip; “Kunci untuk kehidupan yang baik bukan tentang memedulikan lebih banyak hal; tapi tentang memedulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli tentang apa yang benar dan mendesak dan penting.” (h.6). Sehingga, konsep-konsep kehidupan yang ideal dengan mimpi-mimpi indahnya seperti budaya yang ada, menjadi tidak lagi penting, karena hanya akan membagi kepedulian manusia pada hal-hal yang sama sekali tidak mendasar.
Mark menawarkan cara pandang dengan berpegang pada logika terbalik. Apabila pada umumnya manusia selalu berangkat dari angan tentang kebahagiaan serta keistimewaan sebagai capaian kehidupan ideal, ia justru mengajukan hal yang harus dilakukan pertama kali oleh manusia adalah menerima kondisi dan menghadapinya, karena bahagia dan istimewa tidak benar-benar ada. Ketika manusia menerima kondisi, manusia akan sampai pada kesadaran bahwa dirinya penuh dengan keburukan. Dan, ketika manusia siap untuk menghadapi kondisi tersebut, pilihan harus ditentukan; diam atau mulai mengurangi keburukan. Syarat awal dari tahap ini adalah keberanian; keberanian mengakui dan menerima kondisi, serta keberanian menentukan pilihan dan menanggung konsekuensi. Hidup yang sebenarnya penuh dengan masalah, dan setiap upaya pemecahan masalah akan memunculkan masalah baru. Menanggung konsekuensi berarti bertanggung jawab. Dan tanggung jawab yang radikal membutuhkan upaya reflektif yang mendalam hingga manusia bisa sampai pada kesadaran ontologis; tidak mencari kambing hitam atas segala persoalan; tetap bertanggung jawab entah siapapun yang salah. Dari langkah awal ini, terlihat upaya Mark untuk mengikis budaya masyarakat yang ada; yang berangkat hidup dari mimpi, dengan mendorong manusia untuk berangkat hidup dari penerimaan kondisi.
Mark menekankan bahwa kecintaan harus diberikan pada tempat yang tepat. Cara pandang manusia yang mengagungkan konsep-konsep ideal kehidupan, secara tidak langsung membawa manusia untuk memberikan cinta pada harapan; pada hasil akhir. Tentang keyakinan individual terhadap konsep-konsep ideal yang sudah dipahami manusia secara umum, ia menawarkan metode skeptisisme dengan tahapan; menjadi arsitek keyakinan diri sendiri, bersikap hati-hati dengan hal yang sudah diyakini, dan menyangsikan ulang keyakinan yang seolah sudah pasti. Cinta haruslah diberikan pada kesadaran dan penerimaan kondisi, pada upaya untuk mengurangi keburukan, serta pada upaya untuk jujur terhadap diri sendiri. Memang menyakitkan, akan tetapi cinta haruslah diberikan pada perjuangan.
Pada akhirnya, Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat menawarkan kepada manusia, tentang seperangkat konsep laku kehidupan yang eksistensial; yang menunjukkan jalan terang untuk melampaui diri.
Yee.. akhirnya keluar review dr Bang Gathot..
Bodo Amat..
lanjutkeun…