Demi bisa merawat burung-burungnya dari pagi hingga sore Mas Bagus memilih menjalani profesi sebagai dropshipper sebuah online shop. Memang hasilnya lumayan, karena dia sudah memiliki pelanggan ribuan orang. Lebih dari itu, profesi yang digeluti Mas Bagus tidak perlu mengeluarkan modal dan tentunya bisa dijalankan dari rumah sambil merawat burung-burung kecintaannya. Cukup iklan gambar lalu pesanan akan segera dikirim oleh pemilik online shop atas nama Mas Bagus sendiri. Mas Bagus adalah salah satu orang yang paling beruntung dalam profesi ini. Karena sebelum menjamurnya para dropshipper seperti sekarang ini, Mas Bagus mengawalinya dengan sedikit pesaing. Wajar saja jika pelanggan setianya mencapai ribuan orang. Bahkan mungkin para pelanggannya tidak menyangka kalau Mas Bagus bukan pemilik online shop yang sebenarnya.
Keberhasilan Mas Bagus sebagai dropshiper rupanya mengalami kemunduran pada tahun ke lima. Istrinya yang terkenal banyak maunya mulai menampakan rasa ketidakpuasan terhadap penghasilan Mas Bagus yang semakin hari semakin menipis. Istrinya kerap menyuruh Mas Bagus untuk mencari pekerjaan lain. Ia ingin Mas Bagus punya penghasilan tetap tiap bulannya. Tapi karena kecintaannya terhadap burung, Mas Bagus lebih memilih tidak menuruti kemauan istrinya. Dia tetap menjalani profesi sebelumnya meskipun hasil yang didapat sangatlah minim. Alhasil, pertengkaran demi pertengkaran terjadi.
Istri Mas Agus kerap menjadikan burung-burung peliharaan suaminya sebagai kambing hitam. Istrinya melihat bahwa Mas Agus lebih mengutamakan burung ketimbang dirinya. Oleh karena rasa marah yang sudah di ubun-ubun, pada satu waktu tatkala Mas Bagus sedang keluar, dengan sengaja istrinya membuka salah satu pintu sangkar burung termahal. Seperti mendapat kesempatan emas, burung tersebut segera keluar, terbang bebas meninggalkan rumah sang majikan yang telah berbelas tahun setia merawat dan mencintainya.
Entah kemarahan seperti apa yang menguasai diri Mas Bagus ketika mengetahui sang istri telah dengan sengaja melepas burung terbaiknya. Sumpah serapah pun terlontar dari mulutnya. Sang istri pun demikian. Dia membalas sumpah serapah Mas Bagus dengan lebih sadis. Istrinya bilang bahwa akal sehat Mas Bagus sudah terbalik bahkan hilang sama sekali. Mas Bagus dikatakan gila karena obsesi yang tinggi terhadap hewan peliharaan sehingga melupakan tanggung jawabnya sebagai suami untuk bekerja menyejahterakan istri.
“Kamu memang gila, mas! Habis-habisan kamu membela burung-burungmu, sampai-sampai istrimu kamu lupakan. Kamu jadi pemalas, tidak ingin berusaha mendapat pekerjaan lain. Dari pagi hingga menjelang tidur kerjaanmu hanya mengurusi burung. Persetan dengan burung, makhluk ini hanya membuatmu tidak waras!” Istri Mas Bagus meradang. Dia tidak terima atas makian yang dilontarkan Mas Bagus.
“Tahu apa kamu soal burung? Dasar istri tidak tahu rasa syukur. Bukan aku yang pemalas, tapi tuntutanmu yang di luar dari batas kemampuan suamimu. Laki-laki manapun tak akan mau mengurus wanita seperti kamu. Di saat suami berjaya, kamu cinta. Tapi di saat suami terpuruk kamu bilang bahwa aku pemalas. Apa kamu sadar bahwa hingga detik ini aku tidak pernah mnyuruhmu untuk bekerja? Aku berusaha memenuhi nafkahmu dengan caraku. Tapi kamu malah dengan sengaja membuka pintu sangkar burung sebagai bentuk rasa kecewamu. Jika kamu tidak merasa puas dengan apa yang telah kuberikan, silahkan cari laki-laki lain di luar sana!”
“Tidak kamu suruh pun aku akan pergi. Lagi pula istri mana yang mau punya suami pemalas seperti kamu. Gak sudi aku hidup melarat!”
“Pegi sana..istri gak tahu diri!”
Istri Mas Bagus pun pergi…hingga akhirnya Mas Bagus menyerahkan kembali istrinya pada orangtuanya….
Mas Bagus menutup pandangan kosongnya. Terfokus kembali kepada burung-burungnya yang sedang bersenandung di ranting-ranting mangga, tempat ia menggantang semua burung peliharaannya.
“Hasanah..” Desah dari bibirnya terdengar. Dia menyebut sebuah nama yang beberapa tahun lalu sudah tidak dapat dia jumpai.
Mas Bagus masih tidak percaya kalau kecintaannya terhadap burung menjadi penyebab utama perpisahannya dengan Hasanah. Belasan tahun menikah, tapi akhirnya berpisah dengan alasan yang mungkin bagi sebagian orang hanya sebuah lelucon di siang bolong.
Akhir-akhir ini Mas Bagus begitu sangat ingin menemui Hasanah. Bukan karena dia rindu mantan istri, tapi teringat akan anak semata wayangnya yang ikut pergi dengan Hasanah. Mas Bagus memperkirakan kalau sekarang buah hatinya itu sudah mulai bersekolah SD.
“Kapan ayah bisa menemuimu, nak?” Mas Bagus bergumam. Tak terasa telaga di matanya tumpah. Sebagai laki-laki baru kali ini dia menangis. Terbayanglah bagaimana cantiknya sang puteri saat mengenakan seragam SD. Rambut hitamnya dikepang. Diantar hingga pintu gerbang sekolah, dan tak lupa mencium tangannya sembari mengucapkan salam. “Nita masuk dulu ya, yah…” Begitu mungkin celoteh sang anak. Mas Bagus senyum-seyum..terbawa mimpi. Hingga akhirnya suara motor di seberang rumah membuyarkan lamunannya.
“Gus…ke sini!” Nandar melambaikan tangan. Mas Bagus pun segera faham akan isyarat itu. Dia pun menghampiri Nandar.
“Ada apa, Dar?” Tanya Mas Bagus setibanya di hadapan Nandar.
“Burung Branjanganmu yang di sangkar ukir itu masih?”
“Masih.”
“Gimana, gacor?”
“Gacorlah, itu rawatan lamaku.”
“Yang bodynya gede, masih?”
“Wah..kalau itu dah lama punah.”
“Kok bisa, Gus? Padahal itu harganya bisa melambung. Jenisnya sudah langka.”
“Dulu Hasanah sengaja membuka pintu sangkarnya. Mungkin sekarang burung itu telah menjadi burung liar yang tak akan aku kenali lagi.” Mata Mas Bagus tampak berkaca-kaca. Jelas dia sangat merindukan burung yang paling dicintainya.
“Masak, Gus! Mantan istrimu setega itu? Kok bisa dia melakukannya, gimana ceritanya?” Nandar terlihat kaget. Dia pun merasa penasaran.
“Ah, sudahlah! Itu sudah lama. Meskipun disayangkan juga jika mengingat harganya yang sekarang sangat tinggi.”
“Ya..ya..Baiklah, Gus! Besok ada teman yang mau melihat burungmu. Siapa tahu berjodoh.”
“Oke, Dar. Aku tunggu di rumah.”
Nandar menghidupkan motornya. Setelah berpamitan dia segera berlalu…..
Pada jam istirahat ini ketika banyak anak sekolah berkerumun di sebuah gerobak tukang bakwan kawi murah, Mas Bagus ada di antaranya. Bukan dia sedang berjualan, namun sedang mencari seorang gadis kecil yang telah lama ia rindukan. Menurut cerita, beberapa orang pernah melihat Aira di sekitaran sekolah tersebut. Untuk apa? Jelas Aira adalah bagian dari siswi sekolah tersebut.
Tangan Mas Bagus mendekap sebuah bungkusan besar. Dia membawa sebuah boneka beruang yang bertahun lalu diimpikan Aira.
“Ayah, nanti kalau Aira dah sekolah SD tolong belikan boneka besar kayak punya Puteri. Itu lo temennya Aira yang ayahnya kerja di kantor.” Pinta Aira , setahun sebelum Hasanah membawanya pergi.
“Boneka seperti itu mahal. Jadi ayah harus menabung. Nanti kalau tabungan ayah sudah banyak kita beli seperti yang punyanya Puteri.”
“Tabungan ayah sudah banyak?” Tanya Aira. Anak itu bergelayut manja di pangkuan Mas Bagus.
“Tentu saja, ini semua tabungan ayah.” Terang Mas Bagus seraya menunjuk ke arah burung-burungnya.
Dan beberapa hari lalu, ketika Nandar datang membawa temannya ke rumah Mas Bagus, tabungan Mas Bagus pun cair besar. Salah satu burung branjangannya yang masih terawat laku mahal. Dengan uang itu, Mas Bagus membeli boneka besar untuk Aira. Selebihnya dia akan melunasi seluruh biaya sekolah Aira hingga satu tahun ke depan. Selebihnya lagi, dia akan menitipkan nafkah Aira kepada Hasanah. Itu pun jika Aira berhasil ia temui.
Mata Mas Bagus terus berputar, terus mencari Aira. Ia berlomba dengan waktu, sebab sebentar lagi jam istirahat akan usai. Anak-anak akan segera masuk kelas. Benar saja, Mas Bagus dikalahkan waktu. Aira tidak berhasil ia temui. Di luar sudah tidak ada anak-anak lagi. Mas Bagus merasa kecewa. Dia meremas boneka itu. Gagal sudah niatnya memberi kejutan pada Aira. Tapi, apa mungkin informasi yang didapatnya itu salah, bahwa Aira sesungguhnya tidak bersekolah di sini? Ya, mungkin saja, mungkin saja orang salah lihat. Meski begitu adanya, Mas Bagus tak berputus asa. Dia akan menunggu hingga jam sekolah usai.
Para orangtua telah banyak berdatangan menjemput anak-anaknya. Mas Bagus terus mencari dengan pandangan matanya, barangkali ia menemukan gadis ciliknya. Satu, dua, hingga puluhan anak melewatinya yang berdiri di sudut gerbang, tetap saja batang hidung Aira tak juga nampak. Mas Bagus berputus asa, jelas sudah bahwa informasi tentang sekolah Aira adalah salah.
Namun…di ujung keputusasaannya itu, tiba-tiba keadaan berubah. Seorang pedagang sayur keliling dengan motor butut berhenti di depan gerbang. Dia mendekati SATPAM. Tampaknya dia sudah sangat akrab dengan SATPAM tersebut.
“Kok telat, mbak! Aira sudah menunggu dari tadi.” Tanya SATPAM itu.
Mas Bagus terperanjat ketika nama Aira disebut. Kemudian fokusnya terarah pada wanita penjual sayur. Kaget bukan kepalang, ternyata wanita berdandan sederhana dan nyaris lusuh itu adalah Hasanah. Sebuah wajah yang kini telah bermetamorfosa menjadi wanita kelas rendahan. Kemana Hasanah yang tiap hari berkawan make-up, ber-tas dan berbaju mewah, serta rambutnya yang lurus hitam terawat? Sungguh hal itu tidak dimengerti oleh Mas Bagus. Jauh dari sangkaan Mas Bagus sebelumnya, mungkin sekarang Hasanah telah hidup lebih baik dibanding selagi bersamanya. Tapi nyatanya, semua bertolak belakang.
“Hasanah?” Mas Bagus mencoba meyakinkan. Dia memanggil wanita itu seraya mendekatinya.
Hasanah menengok ke arah Mas Bagus. Dia tampak terkejut.
“Kamu..Mas…Mas Bagus?”
“Ya.” Jawab Mas Bagus singkat. Rupanya Mas Bagus masih tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. “Aira..?” Lanjut Mas Bagus pelan.
Hasanah terdiam sejenak. Sejurus kemudian matanya tertuju ke dalam ruangan SATPAM. Tampak seorang gadis kecil tengah tertidur. Kepalanya terkulai di meja SATPAM.
“Aira sampai mengantuk menunggu jemputan Mbak Hasanah.” Terang SATPAM tiba-tiba.
“Tadi saya mengantar dulu pesanan sayur dari pelanggan, pak! Maaf kalau Pak SATPAM harus menunggui Aira agak lama. Harusnya Pak SATPAM sudah siap-siap pulang.” Timpal Hasanah.
“Tidak apa, mbak! Sudah kewajiban saya untuk menjaga anak-anak sebelum orangtuanya datang menjemput. Apalagi sekarang ini rentan kejahatan, saya tidak mungkin membiarkan anak-anak pulang sendiri tanpa dijemput orangtuanya.”
“Ya, makasih. Aira akan saya bawa pulang sekarang.”
Hasanah segera memangku Aira. Gadis kecil itu pun merasa tergugah. Di pangkuan Hasanah dia terbangun. Tanpa menoleh ke arah Mas Bagus , Hasanah segera menjauh dari depan gerbang sekolah.
“Tunggu, Hasanah!” Teriak Mas Bagus.
Langkah Hasanah terhenti.
“Apa aku boleh memangku Aira?” Pinta Mas Bagus penuh harap.
“Tentu saja.”
Hasanah menyerahkan Aira ke pangkuan Mas Bagus. Tapi sayang, gadis kecil itu menolak. Meski dulu Aira sangat dekat dengan ayahnya, namun kini Aira merasa asing dengan ayah kandungnya itu.
“Lihat apa yang dibawa ayah buat Aira. Dulu Aira minta dibelikan boneka besar seperti punyanya Puteri kan? Sekarang Aira boleh memilikinya.” Mas Bagus berusaha meraih perhatian Aira.
Gadis kecil itu rupanya tidak tertarik. Dia malah seperti ketakutan.
“Ini ayah. Aira gak usah takut.” Mas Bagus mencoba meyakinkan Aira.
Aira menggeleng. Dia semakin memegang erat tubuh ibunya. Dia tidak bisa menerima kehadiran Mas Bagus.
“Ayo, nak! Selain boneka ini, Aira boleh minta apa saja sama ayah. Jalan-jalan atau belanja mainan yang lain juga boleh.” Mas Bagus terus membujuk Aira.
Aira terus menggeleng. Lalu sebuah celetukan dari mulut gadis kecil itu seketika menghentak jantung Mas Bagus. “Ayah Aira sudah meninggal!” Aira tampak marah.
“Apa yang Aira katakan? Ini ayah, nak…” Gurat kesedihan nampak jelas di wajah Mas Bagus.
“Sebelum meninggal ayah Aira punya toko besar, bukan seperti Oom..!” Kembali mulut gadis itu mengeluarkan kata-kata yang semakin menyayat hati Mas Bagus.
Mendengar ucapan Aira yang tak masuk akal, Mas Bagus melihat ke arah Hasanah. Yakin, apa yang terlontar dari mulut Aira tidak serta merta lahir begitu saja. Fikiran Aira adalah selembar kertas polos. Maka jika kali ini dia berfikir bahwa ayah kandungnya telah meninggal, bukan tidak mungkin itu adalah hasil coretan si pendidik itu sendiri.
“Hasanah, bagaimana bisa kamu meyakinkan Aira bahwa aku telah meninggal? Siapa pula lelaki pemilik toko besar yang dianggap Aira sebagai ayah kandungnya? Jawab!” Kemurkaan Mas Bagus hampir menciutkan nyali Hasanah.
Dengan wajah tertunduk Hasanah berkata, “aku hanya ingin membuat Aira bangga bahwa ayahnya adalah seorang yang berada. Mungkin kelak Aira akan malu jika pada kenyataannya ayahnya hanya seorang pecinta burung yang berpenghasilan pas-pasan. Maafkan aku mas…!”
Mas Bagus menarik nafas kecewa. Tidak menyangka bahwa apa yang diajarkan Hasanah kepada Aira telah membuatnya jauh dari jantung hatinya. Pribadi sang mantan istri yang kerap menengok ke atas akan pola hidup nyatanya tidak pernah berubah bahkan di saat ia terjatuh sekalipun.
“Hasanah…andai kamu tahu bahwa kecintaanku pada burung bukanlah bentuk kemalasanku, melainkan itu adalah bentuk tabunganku buat masa depan kita. Kamu tahu berapa harga burungku jika dilelang sekarang? Jumlahnya cukup untuk membangun sebuah toko sederhana. Tapi sayang, kamu tidak bisa hidup sahaja. Tidak bisa mencukupkan dengan apa yang telah kuberikan dari penghasilanku sebagai pedagang online. Melelang burung butuh kesabaran jika ingin berharga mahal.” Sejenak Mas Bagus terdiam. Dia menarik nafas dalam-dalam. “Ini adalah hasil lelangan dari satu ekor burung. Ambilah, gunakan buat kebutuhan Aira dan modalmu usaha.” Lanjutnya seraya menyodorkan sebuah amplop tebal dan boneka kesukaan Aira.
Sebab kekecewaannya telah di ubun-ubun, Mas Bagus pun tak ingin berbicara banyak lagi. Sebelum langkahnya lebih jauh, terlebih dahulu dia tatap dalam-dalam wajah Aira yang masih terlihat ketakutan. Dan Mas Bagus pergi dengan sebentuk rasa sakit yang tak dapat dilukiskan dengan apapun.
Sedang di sisi lain, Hasanah perlahan membuka isi amplop. Tampaklah tumpukan uang yang jumlahnya sangat banyak. Sungguh di luar dari pengetahuannya, ternyata burung branjangan Mas Bagus bisa berharga semahal itu.
Di sudut hati kecilnya, Hasanah merasa malu karena telah berprasangka buruk tentang kemalasan mantan suaminya.
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.