ilustrasi-celeng-cerpen

Celeng-celeng Warno

Setelah mendengar kabar tak sedap, Jawir tak jenak memejamkan kedua matanya, lebih-lebih sulit sekali untuk bisa makan dengan tenang. Jawir menduga-duga semua pasti gara-gara celeng Warno. Ya, hewan bermoncong itu pasti yang telah menyebabkan dusunnya yang semula tentram dan damai, sekarang jadi tercoreng.

Sepekan terakhir kabar bahwa di Dusun Gayam telah menjadi lokasi pembiakan celeng mencuat di mana-mana. Dusun yang dulunya disebut-sebut sebagai dusun selawat, karena kerap melantunkan puji-pujian, kini harus menerima cemoohan dari dusun-dusun lain. Dusun Gayam juga dikenal dusunnya para santri, sebab banyak para orangtua yang menyekolahkan anaknya di pesantren. Nama Dusun Gayam semakin masyhur setelah kembalinya Jawir ke kampung halamannya, pemuda teladan yang belasan tahun mondok di pesantren kota. Tetapi, kemasyhuran Dusun Gayam seketika berubah menjadi cemoohan orang-orang.

“Apa mau jadi dusun celeng?”

“Pasti sebentar lagi kena kutukan.”

“Jangan-jangan bakal jadi dusun pemasok daging celeng?”

Begitulah cibiran yang ditujukan untuk Dusun Gayam. Namun, Jawir tidak terima tanah kelahirannya disebut-sebut sebagai dusun celeng. Mana mungkin dusun yang senantiasa dihiasi lantunan zikir dan selawat, akan berubah jadi dusun celeng? Jawir, pemuda pemegang teguh syariat, yang bertahun-tahun mengenyam pendidikan di pesantren, sudah pasti membenci hewan moncong dan bertaring itu.

***

Suatu kali Jawir tengah berjalan menuju surau, hendak salat Ashar tujuannya. Akan tetapi, di jalan ia bertemu dengan Warno, penggembala celeng yang tak pernah ikut salat berjamaah. Tentulah Warno bersama pula dengan celeng-celengnya usai digembala. Jawir memicingkan mata tak suka.

“Sungguh, harus dengan cara apalagi aku mengingatkanmu, sampai kapan kau terus memelihara hewan terkutuk itu?” Jawir menegur.

Warno bersungut-sungut tak suka. Dadanya bergemuruh. Namun, ia lebih memilih diam dan melanjutkan perjalanan membawa celeng-celengnya. Baru beberapa langkah Warno berjalan, Jawir kembali melontarkan kalimat yang amat menyakiti hati Warno.

“Lihat, dusun kita tercemar gara-gara celeng-celengmu itu.”

Dada Warno semakin sesak menahan amarah. Ia tak terima celeng-celeng yang ia selamatkan dari perburuan dan telah dirawat dengan sepenuh hati, terus-menerus disalahkan atas apa yang terjadi. Namun, lagi-lagi Warno tidak ingin melampiaskan amarah. Mengingat hari semakin sore dan jarak rumahnya masih setengah kilometer lagi.

Dialah Warno. Disebut-sebut sebagai musabab tercorengnya nama Dusun Gayam. Ia menernak banyak celeng yang didapatnya dari hutan. Banyak yang menganggap Warno sudah tak waras. Padahal, masih banyak hewan ternak lainnya yang bisa dipiara, tapi Warno lebih memilih memiara celeng, yang ditempatkan di bekas kandang kambing belakang rumahnya.

“Bagaimana tidak gila, dia menjual kambing-kambingnya agar kandang bisa digunakan sebagai tempat tinggal celeng?” ujar salah seorang warga di depan warga lainnya, suatu hari.

Tidak heran apabila di Dusun Gayam dulu banyak celeng berkeliaran, karena memang berbatasan langsung dengan habitatnya di hutan. Pemuda saleh macam Jawir, yang telah memerintahkan warga dusun untuk menumpas habis populasi celeng, karena merupakan simbol keserakahan. Akibat terus-menerus diburu, celeng pun jumlahnya di hutan bisa dihitung dengan jari. Saat itulah Warno hadir bak Dewa Penyelamat bagi para celeng.

Usai berjumpa dengan Warno, Jawir melaksanakan salat tidak tenang. Apalagi kalau teringat wajah celeng yang memuakkan, Jawir semakin tidak enak makan.

“Menjijikkan!” umpat Jawir bersungut-sungut.

***

Jawir berjalan di sebuah keramaian yang penuh sesak oleh manusia. Orang-orang tersebut menggelepar hampir sekarat. Jawir berjalan lurus, tak tahu ke mana arahnya, ia terus melangkah satu arah. Pada perjalanan selanjutnya, Jawir dihadapkan sebuah telaga dengan mata air yang sangat jernih. Dirinya bercermin. Betapa terkejutnya Jawir, mengetahui sepasang taring tak bisa disembunyikan dari mulutnya yang memanjang. Bau amis lendir dari hidungnya mengundang lalat hijau. Sedang kedua lubang hidungnya menganga lebar sekali.

Sejurus kemudian, Jawir terjaga dari mimpi buruk. Masih di pembaringan beralaskan tikar pandan dan ruangan dua kali tiga setengah meter, ia mengerjapkan matanya sembari menyeka keringat dingin yang tiba-tiba keluar di pelipis.

“Ini tidak mungkin!” Jawir menenangkan dirinya sendiri. Jawir tidak bisa tidur lagi. Dirinya masih terbayang betapa mengerikan wajahnya di dalam mimpi itu.

Esoknya, Jawir menceritakan perihal mimpinya kepada kepala dusun, Ratno. Diceritakanlah sedetail-detailnya tanpa kurang satu pun.

“Kamu mimpi jadi celeng?” Ratno terperangah mendengar cerita Jawir.

“Bisa dibilang demikian,” balas Jawir dengan raut masih tak percaya.

Ihwal mimpi Jawir tak lama menyebar di telinga warga dusun. Banyak yang menyimpulkan mimpi tersebut adalah pertanda tak baik. Lebih-lebih nama dusunnya sedang tercemar gara-gara dikaitkan dengan celeng. Ratno kemudian mengumpulkan warganya untuk musyawarah.

“Sekarang saatnya kita melenyapkan celeng dari dusun kita,” ujar Jawir pada pertemuan di Balai Dusun.

Tak ada satu pun yang mendebat perkataan Jawir. Terlebih yang berucap adalah pemuda panutan warga dusun. Warga bersepakat untuk menghabisi celeng-celeng Warno. Malam itu sesuai musyawarah yang digelar, selepas salat Isya warga berbondong-bondong menuju rumah Warno. Ada yang membawa parang, sabit, linggis, dan perlengkapan lainnya untuk membunuh celeng. Sebagian lagi membawa obor.

Warno yang mendengar ada keributan di depan rumahnya, lantas keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Warga Dusun Gayam sudah banyak berkumpul, macam hendak menggerebek maling saja. Jawir berada di barisan paling depan.

“Maaf, kali ini kami harus bertindak tegas. Celeng-celengmu tidak bisa kami biarkan berada di lingkungan dusun ini,” Jawir mengutarakan niatnya.

“Saya tahu, celeng memang haram di agama kita. Tapi apakah kita harus mengutuk dan melenyapkannya dari muka bumi?”

Belum sempat Jawir menyahut, Ratno memotong pembicaraan, “Hey, Warno! Tahu apa kau soal agama. Jawir ini sudah haji dua kali. Ibadahnya tiada henti dan pembawa kedamaian di dusun ini. Sedang kau, laki-laki gila yang berkawan dengan celeng. Sudah, tidak usah banyak omong, serahkan celeng-celengmu itu. Saya berhak berbuat apa saja untuk dusun ini, termasuk melenyapkan celengmu!”

Beberapa orang lebih dulu masuk pekarangan rumah Warno. Tentulah kandang celeng yang dituju. Hendak melawan, namun beberapa orang lainnya menahan Warno agar tak menghalangi.

Saat yang bersamaan, entah karena tersudut atau terkejut, hewan bertubuh gempal itu menjadi agresif. Celeng-celeng Warno menyerang Jawir dan rombongannya hingga terpelanting. Tidak berhenti sampai di situ, seperti kerasukan setan, celeng-celeng itu mengeluarkan taringnya lalu menggigit warga satu per satu. Warno segera menenangkannya. Namun, celeng-celeng itu sudah terlanjur mengamuk. Siapa saja di hadapannya diseruduk.

Jawir terluka cukup parah, setelah badannya menghantam dinding. Upaya pembunuhan celeng pun urung dilakukan.

“Kurang ajar! Dasar hewan terkutuk dari neraka,” berkali-kali Jawir mengumpati celeng yang telah menyeruduknya.

Jawir depresi. Seumur-umur tak pernah kulitnya tersentuh celeng. Lebih-lebih diserang seperti ini. Ia segera menyucikan diri menggunakan air dan tanah, kemudian dibasuh lagi dengan wudu. Barangkali najisnya telah hilang, namun perangainya belum berubah: manusia yang selalu berjalan lurus dan menunduk, tanpa mau peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

KOMPAK Yogyakarta, Oktober 2021

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan