Di usia beranjak dewasa, aku pernah membuat puisi bertajuk “Cerita Ayah”. Begini petilan puisinya : Ayah masih ada/ tapi ceritanya telah tiada. Semenjak berjalan meninggalkan masa kanak-kanak, kebanyakan orang pun mengalami seperti yang aku rasakan. Kita merasa kehilangan dongeng atau cerita dari Ayah atau Ibu kita.
Apa yang aku alami ini pernah dituliskan dengan baik oleh Paul Aster pada esainya yang berjudul Manusia dan Cerita, aku beruntung bisa membacanya melalui situs Fiksi Lotus : “ Kita tumbuh dewasa, dan usia kita semakin bertambah. Namun, kita tidak berubah. Kita semakin pintar,namun di dalam hati kita semakin dekat dengan jiwa kita saat muda,jiwa yang mendambakan waktu untuk mendengarkan cerita, lalu cerita lain, dan cerita lainnya lagi”.
Begitu pula yang aku rasakan saat di toko buku. Apakah akan memilih buku teori, filsafat, atau memilih buku cerita. Pada akhirnya aku pun memilih buku cerita. Seperti buku yang aku pilih berikut yang bertajuk Perjalanan Ajaib dan kisah-kisah menyentuh lainnya . Buku ini diberi judul Graphic Novel, di atas judul bertuliskan Gambar oleh Kim Dong Hwa.
Aku pun semakin mantap untuk memutuskan membawa pulang buku ini. Sesampainya di sekolah, aku tak langsung membuka dan membacanya, aku taruh di tas. Dan di sekolahan aku membawanya. Tak kusangka, murid-murid pun lekas ingin membaca. Ada salah satu muridku di sana yang duduk begitu lama, sembari membaca buku itu. Murid itu pun menyukainya, hingga tanpa terasa ia berteriak girang “wah, tak terasa, sudah sampai halaman 60”, ia melanjutkan celotehnya “ Iya, pak, seperti judul bukunya ; menyentuh”.
Mendengar pengalaman anak-anak itu, aku pun berniat membaca buku itu ketika pulang kerumah. Akhirnya aku menuntaskannya malam hari tepatnya di hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-71.
Aku mengawali dari cerita berjudul Napoleon dan Penjual Bulu. Kita akan mendapati bagaimana Napoleon terdesak oleh tentara Rusia di waktu itu. Ia pun bersembunyi di tempat penjual bulu. Ketika tentara Rusia pergi, kini datang lagi tentara Perancis. Dan keluarlah Napoleon. Penjual bulu tak tahu kalau yang bersembunyi adalah Napoleon, ia pun menggunakan bahasa yang biasa saja ketika bercakap dengannya. Dan tak tahunya, Napoleon marah dan hendak menghukum mati dirinya. Ia sudah siap dan memerintahkan anak buahnya untuk menembaknya. Dalam hati penjual bulu, ia pun siap untuk menerima ajalnya.
Ketika keringat bercucuran membasahi wajah penjual bulu yang ditutup mukanya, maka penjual bulu gemetaran dan terkejut saat ada yang membukakan penutup mukanya. Ternyata yang membukakan penutup mukanya adalah Napoleon, dan ia pun berkata kepada penjual bulu :“Sekarang kau tahu. Kau tahu persis apa yang kurasakan saat itu!”.
Di cerita berikutnya aku merasa takjub saat membaca cerita berjudul Aku Tak Dapat Memenuhi Permintaanmu. Cerita berisi dua tokoh, Ayah dan Anak. Sang Anak selalu ingin Ayahnya memperhatikannya, mengajaknya bermain, menemaninya belajar, sampai berkemah. Ketika sang anak besar, anak ini mencoba dan ingin berbagi dengan ayahnya agar ayahnya mendengarkan kisah masa kecilnya. Tapi ternyata ayahnya pun tak bisa memenuhi permintaan anaknya itu.
Akhirnya, ketika sang anak sudah menjadi tentara dan berperang, tiba-tiba sang Ayah pun memintanya agar kelak pulang dengan selamat. Sang Anak pun akhirnya tak dapat memenuhi permintaan Ayahnya itu. Anak itu pun mati.
Aku pun menemukan petuah ringan di cerita berjudul Seandainya Aku Membesarkan Anak Lagi . Cerita ini membawa pada yang sedang aku alami. Perasaan-perasaan saat menjadi seorang bapak bisa begitu dalam. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Diane Loomans di cerita ini. Aku akan lebih banyak menggunkan jari-jariku untuk menggambar daripada untuk menegakkan disiplin. Aku akan berusaha lebih keras memahami anakku, dan tidak terlalu memaksakan kehendakku padanya. Jika membesarkan anak lagi, aku akan mengurangi minat untuk belajar lebih banyak dan belajar lebih banyak tentang menaruh minat dalam segalanya.
Ingat petuah ini aku jadi ingat bagaimana anak-anak kecil berkembang di sekolahku. Ada yang mesti kehilangan kasih akung oleh Ayah, Ibunya karena sibuk kerja, ada pula yang rela kehilangan kedekatan dengan ibunya, karena ibunya kerja. Dan berbagai fenomena lain yang membuat sang anak tumbuh dengan perasaan berbeda daripada teman-teman lainnya yang mendapatkan kasih akung penuh dari orangtua mereka.
Pesan ini aku rasa bukan hanya untukku, tetapi juga untuk semua Ayah di dunia ini. Aku tidak akan menjadi orang yang mencintai kekuatan, tetapi orang yang memiliki kekuatan cinta. Ah, rasanya indah sekali kalau kita menjadi Ayah yang demikian.
Di kisah lainnya, kita juga akan menemukan bagaimana cara penulis memberikan sindiran keras tentang realitas kita saat ini, yang semakin menggerus alam tanpa memikirkan akibatnya. Cerita berjudul “Merpati”. Cerita ini kebetulan ditulis oleh Kim Dong Hwa sendiri, sekaligus pelukis ceritanya. Dikisahkan ada seorang nenek yang marah-marah kepada pegawainya saat mengetahui cuaca tidak mendukung untuk melanjutkan pembangunan rumah baru sang nenek. Tapi apa daya, hujan pun tak kunjung berhenti, hingga nenek pun memberi ancaman akan menuntut ganti rugi.
Sang tukang pun terkejut, bagaimana bisa. Nenek pun berkeliling ke kamar-kamar yang akan ditempatinya ketika jadi nanti. Ia pun sudah membayangkan bagaimana rumah ini akan ditata dan diisi. Ketika hendak keluar, ia pun menemukan burung merpati. Ia hendak mengusirnya, tetapi sang burung tak mau diusir karena sedang mengerami telurnya, di lantai dua rumah itu.
Melihat burung merpati yang mengerami telurnya dengan menggunakan sarang dari kawat-kawat besi, sang nenek pun prihatin. Dan ia pun berkata dalam hatinya : Orang-orang yang hanya memikirkan kenyamanan diri sendiri, telah menebang pohon, tempat burung merpati biasa membangun sarang mereka. Di tempat yang dulunya hijau dan asri, sekarang telah berdiri rumah-rumah dan bangunan. Kita telah merusak hutan dan sarang-sarang merpati.
Akhirnya sang nenek pun turun, dan berpesan kepada tukang yang sedari tadi duduk diluar. Aku tidak keberatan pekerjaan ini ditunda. Kumohon lakukan ini dengan hati-hati dan tidak berisik. Karena ada merpati yang sedang mengerami telurnya di calon kamar tidurku.
Akibat sindiran dan teguran sang merpati inipun, akhirnya pemilik rumah, nenek itu harus merelakan diri untuk tidak egois terhadap dirinya sendiri. Cerita ini benar-benar menampar bagaimana keadaan kita sekarang ini yang tak akrab terhadap alam, aniaya terhadapnya, tetapi ingin alam akung, segan dan ramah terhadap kita.
Ketiga belas cerita ini bukan hanya dikisahkan dengan bahasa yang ringan dan enak, tetapi juga dipadu dengan gambar dan ilustrasi yang menyatu dengan ceritanya dari Kim Dong Hwa.
Membaca buku ini, aku merasakan ada cerita dan kisah yang hidup dan memberikan sentuhan tersendiri buatku. Bila murid aku saja merasa tersentuh setelah membacanya, tentu saja anda pun akan demikian pula.
*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.