Gunawan Tri Atmojo (GTA) dikenal sebagai pencerita penuh muatan humor. Ini tak terlepas dari cerita-cerita, terselip kosakata-kosakata aneh-tak aneh-lucu, atau alur cerita humoris, baik dari awal menerbitkan buku pertamanya, yakni Sebuah Kecelakaan Suci (2013), dengan kumcer kedua, Sundari Keranjingan Puisi (2015), dan kumcer terbarunya ini, Tuhan tidak makan ikan dan cerita lainnya (2016). Sebagai pembaca cerita GTA, kentalnya muatan humor, mulai terasa pada kumcer keduanya, dan kumcer terbarunya ini. Di situ, kita pembaca, akan terasa keunggulan si pencerita terletak dalam humor. Tentu, keunggulan ini, bisa tertemukan, baik dari pencerita maupun dari pembaca, setelah banyak mengalami perjalanan dalam bercerita. GTA setidaknya telah cukup melakukan eksplorasi dan proses menulisnya, sampai akhirnya, tanpa disadari atau telah disadari, cerita berbumbu humorlah, yang kerap ia suguhkan.
Tapi, jangan salah, humor di sini, bukan berarti, cerita sepele, yang hanya mengeksploitasi bahasa agar pembaca dapat tertarik, senang, dan tertawa. Cerita humor yang ditawarkan GTA, adalah cerita-cerita bernas, penuh tragedi dan keironisan. Malahan, humor yang disuguhkan, semacam bentuk perlawanan dari desakan beban hidup, entah karena penguasa, teknologi, dan masyarakatnya. Kalau dalam bahasa Triyanto Triwikromo, cerita humor GTA merupakan cerita “perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan tumpahan ingus sendiri.”
Tentu, pernyataan Triyanto Triwikromo berdasarkan cerita-cerita dalam buku ini. Dimana, beberapa cerita atau salah satu cerita dapat merepresentasikan pernyataannya, terdapat dalam cerita Cara Mati yang tidak baik bagi Revolusi (hal. 30-39). Dalam cerita itu, kita diperkenalkan pada Kolonel Aduren sedang mengejar-ngejar atau melawan pemerintahan Presiden Sergob. Dalam perjalanan cerita itu, Kolonel Aduren malahan kena flu. Dan pada waktunya, sebelum pemerintah ditumbangkan, Kolonel Aduren sudah meninggal dunia. Para gerilyawan pendukungnya, menyembunyikan berita agar pemerintah tidak mengetahui dan merasa gembira. Adapun, dari mereka (para gerilyawan) sendiri, menganggap kematian Kolonel Aduren disebabkan sakit jantung. Tapi, Zapoivatco, seorang pembantu rumah tangga yang melayani Kolonel Aduren dengan senang hati, mengetahui kematiannya disebabkan jatuh di kamar mandi karena terpeleset ingusnya sendiri.
Lalu, tema perjuangan antara ‘penguasa’ dengan yang ‘dikuasai’ dibalut humor, ternyata dalam kumcer GTA cukup dominan. Selain terdapat dalam cerita Cara Mati yang tidak baik bagi Revolusi, juga dapat kita ketahui lewat cerita-cerita, seperti ini: Bukan Kawan; Istri Pengarang; Tentang Prawiro Oetomo Dan Palonthen; Ramalan; Slimicinguk; Anak Jaranan; Sebentar Lagi Mati. Dan, uniknya, cerita antara ‘penguasa’ dan ‘yang dikuasai’, ‘yang dikuasai’ tak kerap menang. Inilah, yang menjadikan bumbu bagi kita (pembaca) bisa tersenyum, tertawa, sambil geleng-geleng kepala, atau malahan, kita dalam hati sambil mengucap, ‘ cerita ironis’. Maka, benar jika Triyanto Triwikromo mengucapkan pernyataan di atas terhadap cerita-cerita GTA.
Lebih lanjut, dari kumcer ini, atau bahkan, lewat kumcer-kumcer terdahulunya, GTA sebagai dalang cerita, kerap menyediakan alat, senjata, kebutuhan, bagi tokoh-tokoh fiktifnya, yakni buku. Ya, kehadiran buku yang digerakkan oleh tokoh-tokoh, atau malahan dari buku yang dibaca dan digunakan tokoh itu, yang menggerakkan cerita ini semakin menarik (terasa humornya). Penyematan ‘buku’ ke dalam cerita itu, menarik perhatian bagi kita. Sebab, seperti kita ketahui bahwa buku dalam kehidupan menjadi bagian literasi penting untuk menunjang kemajuan dan perkembangan peradaban manusia. Maka, saat buku hadir dalam fiksi, entah disengaja atau tidak disengaja, seakan-akan, tanpa sadar, kumcer ini memiliki visi mencerahkan. Di satu sisi, kumcer ini seperti menjadi propaganda dalam membaca, berliterasi. Atau, memang, ini cermin bahwa kehidupan si pencerita, termasuk masyarakatnya tak lagi asing dengan buku, dengan literasi?
Kita pembaca hanya bisa menduga saja. Sebab, hal paling tahu mengenai maksud itu, yakni pengarang sendiri. Hanya saja, perlu kita ketahui bersama, dari bumbu-bumbu, dan penyediaan alat bagi tokoh fiktif, dan cara mengolah cerita oleh GTA itu, justru semakin membuat kumcer ini bukan sembarang kumcer. Kalau menyimak dari tim kurator yang mengkuratori cerita-cerita dalam buku ini, cerita GTA bisa menjadi kaca benggala bagi kita, terutama generasi muda, yang kerap terjebak pada hal-hal sumir artifisial dalam menafsirkan hal-hal besar semacam, cinta, kesetiaan, dan keabadian.
Belum ada tanggapan.