rehost%2F2016%2F11%2F10%2F808ded0d-7f1c-47cf-b29d-e59936706cbb

Cinta Sewindu Saja

Hari ini genap sewindu aku menjadi kekasihnya. Kekasihku yang namanya Dedi. Tidak ada perayaan khusus untuk hari ini. Satu lilinpun tidak dinyalakan untuk merayakannya. Semuanya biasa – biasa saja.

Aku berkunjung ke rumahnya hari ini. Ada acara keluarga yang tidak bisa ia hadiri sendiri.

Beberapa hari yang lalu sebuah lamaran datang ke rumahku. Tidak datang dari jauh, melainkan dari teman kecilku yang namanya Budi. Ibu dan ayahku yang pertama tahu. Aku belum menjawab apa – apa.

Aku belum bilang pada Dedi sebab mungkin ia akan marah. Dan aku tidak suka kalau ia marah. Karena kalau sedang marah barang-barang bisa ia lempar dan perutnya akan ia biarkan lapar seharian.

Kekasihku sebenarnya bukanlah seorang pemarah. Hanya saja ia bukan seorang ahli pengendali amarah. Ia bilang aku-lah yang paling sering membuatnya marah. Sebab menurutnya cinta, benci, amarah, cemburu, dan rindu ada dalam satu wadah.

Kadang ia juga marah pada TV,  jika berita tidak sesuai dengan pemikirannya. Kadang ia juga marah pada hujan, jika mereka datang tiba-tiba.

Aku bilang padanya aku suka sekali dengan hujan.  Dan tahu-tahu ia malah bertambah marah.

“Apa salahnya dengan hujan?”kataku. “Bukankah hujan sangat romantis.”

“Tapi aku tidak bisa keluar rumah kalau hujan.”balasnya.

“Kupikir kau adalah seorang yang romantis.”

“Ya memang, tapi aku tidak suka hujan.”

Ada banyak hal yang membuatnya marah. Ada banyak hal yang membuatnya tidak suka. Karena ini lah, itu lah. Dia seperti anak kecil saja. Aku sering tidak mengerti dia. Padahal ini adalah tahun kedelapan  kami menjadi pasangan kekasih.

Ini adalah tahun yang mengkhawatirkan. Tahun dimana mulai muncul pertanyaan kapan nikah dari mulut – mulut teman, relasi, dan juga orang tua.  Apalagi usia kami sudah sangat dewasa. Menikah harusnya sudah menjadi bahan perbincangan di antara kami. Mungkin juga sudah harus menjadi sebuah pertimbangan. Tapi menyebut kata menikah membuatnya marah. Aku jadi sering urung untuk membicarakannya.

Sepupunya, Anindia menyerahkan sebuah undangan ketika kami pamit. Ia bilang akan menikah bulan depan. Undangan itu berwarna hitam dan emas, nama Anindia terukir di sana, huruf-hurufnya dibuat melengkung dengan indah. Aku bilang aku akan datang. Dedi diam saja. Aku tahu undangan ini akan membuatnya marah. Dan memang benar.

“Wah, aku nggak nyangka kalau sepupumu mau nikah muda.”kataku saat di mobil.

“Aku juga nggak nyangka.”

“Kita kapan?’

“Kalau pun kita nikah, kita nggak bisa disebut nikah muda lagi.”

“Hahaha.”aku tertawa kecut.

“Aku sedang nyetir.”

“Iya aku tahu.”

Lalu kami diam.  Jalanan cukup sepi dan sunyi, seolah mengerti suasana hati ini.

“Kamu cinta sama aku?”tanyaku tidak tahan dengan keheningan di antara kami.

“Cinta.”jawabnya singkat.

“Seberapa?”

“Sebesar aku menyetir mobil ini dengan hati-hati.”

“Aku serius.”

“Aku juga, kalau aku nggak serius, mobil ini sudah nabrak.”

“Aku serius.”

“Aku sedang nyetir.”

Dan kami diam sampai kami tiba di rumah. Rumahku. Dedi tidak ikut masuk. Langsung pamit pulang.

Aku masuk ke rumah dengan malas, entah mengapa tubuhku menjadi lemas. Sepertinya kadar imun dan serotoninku mulai menurun.

Kedatanganku disambut dengan dua undangan pernikahan di atas meja. Menjadi tiga dengan undangan dari si Anindia.

Apa-apaan ini.  Dadaku mendadak terasa nyeri.  Asal tahu saja aku sama sekali tidak marah dengan undangan-undangan itu. Aku hanya cemburu.

 Tiba-tiba telefonku berdering. Menyelamatkanku sebentar dari rasa cemburu yang tak diundang. Telepon itu dari ibu.

“Halo.”

“Gita, Keluarganya si Budi nanyain kamu ke ibu lagi?”

 “Oh.”

“Jangan hanya Oh dong.”

‘Ibu mau aku bilang apa?”

“Kamu kapan nikah?”

“Bu, jangan bahas ini dong, aku lagi malas.”

“Karena kamu malas bahas beginian makanya kamu nggak nikah-nikah kan jadinya.”

“Dedi juga malas bahas ginian.”

“Makanya kamu ajak Dedi ke sini biar ngomong sama Ibu.”

“Duh, kayak anak TK aja Bu.”

“Kamu harusnya udah punya anak TK sekarang.”

Aku diam.

“Dari dulu ibu udah nggak suka sama si Dedi itu. Ibu dari dulu sudah bilang kan ke kamu, jangan kencan sama businessman yang pingin jadi seniman. Jadinya begini kan. Nggak jelas arahnya kemana.”

“Bu, udah dong…”

“Budi itu anaknya baik, sopan, ganteng lagi, inget kan kamu dulu sering dianterin pulang.”

 “Iya Bu inget.”

“Tadi dia nanyain kamu tuh..mendingan kamu sama si Bud..”

Aku menutup telepon.

 Pembicaraan ini sia-sia. Pembicaraan ini tidak akan membawaku kemana-mana.

Lagi-lagi aku tidak marah dengan ini. Aku hanya cemburu. Cemburu pada ibu yang bisa dengan mudah mengatakan hal seperti itu. Dan cemburu pada Dedi yang sama sekali tidak terusik dengan ini.

Dua hari lamanya kami saling diam. Aku sibuk memikirkan baju untuk meghadiri undangan pernikahan, dan Dedi entah sibuk dengan apa. Di hari ketiga, sebuah pesan singkat mampir di hapeku. Dari Dedi. Bunyinya begini,

Aku ke rumahmu sekarang

Aku hanya membaca pesan singkat itu. Tidak kubalas pun dia tetap akan datang.

Kepalaku mendadak menjadi pusing. Ingin kucabut rambut dari pangkalnya. Kata-kata ibu kembali datang. Bersamaan dengan ajakan bertemu dengan si Budi. Aku jadi memikirkan Budi. Kenangan masa lalu dan kemungkinan kencan dengannya. Aku mual.

Aku juga memikirkan Dedi, mengira apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya. Mungkin kami akan selamanya begini. Menjadi tua dan tanpa arti.

Kulirik sebingkai foto di meja rias. Ada potretku dan Dedi di situ. Kami saling berpelukan dan tersenyum. Tapi aku tidak mengenakan baju pengantin di dalam bingkai foto itu. Dan tidak ada sebuket bunga di tanganku untuk kulempar pada para tamu. Hanya ada kami berdua, dilatarbelakangi sebuah tembok putih tanpa warna. Pipiku tiba-tiba basah.

Pintuku diketuk. Itu Dedi.

Aku beranjak dari kamar dan menuju pintu. Sebuah pelukan kuterima begitu aku membukanya. Aku mendorong tubuhnya. Aku tidak suka dipeluk begini.

“Kamu apa-apaan sih.”kataku kesal.

“Kamu yang apa-apa an.”balasanya dengan nada kesal juga.

“Kamu pikir aku nggak akan marah lagi kalau kamu peluk kayak gitu.”

“Aku cuma pengen peluk kamu.”jawabnya polos.

“Kamu pikir aku ini apa?”

“Kamu Gita.”

“Kamu Gila.”

“Boleh aku masuk dulu. Di luar dingin.”katanya memelas.

Aku mengangguk dan memberikan jalan untuknya lewat. Dengan kesal Dedi duduk di sofa. Aku masih mengawasinya dari pintu.

Tidak ada yang berbicara.

“Aku minta maaf.”katanya dengan kaku.

“Kenapa?”balasku ketus.

“Karena aku marah.”

“Kamu tau bukan itu alasannya.”

“Ya, tapi juga karena aku marah kan.”bantahnya.

“Iya, tapi bukan itu…Ded.”kataku tidak habis pikir. Seberapa tidak pekanya sih kekasihku ini.“Aku nggak bisa.”lanjutku.

“Apa yang nggak bisa?”

“Kamu tahu.”

“Apa?”

“Nikah. Kapan kita nikah?”kataku sedikit berteriak.

“Aku cinta kamu.”jawabnya.

“Bukan itu jawabannya.”

Ia hanya diam.

“Kalau kamu mikir kamu bisa mencintai aku tanpa nikahin aku, kamu gila.”

“Aku tergila-gila sama kamu.”

“Kamu bikin aku gila.”

Aku melepas pandanganku darinya, berganti melihat mobil Dedi yang terparkir di depan rumah. Kami terdiam lagi.

“Git, kamu tahu aku belum siap buat nikahin kamu.”

“Aku tahu.”

“Aku belum bisa jadi suami.”

“Kamu bisa, kamu laki-laki kan. Aku udah bosan denger alasanmu. Karena kamu nggak siap lah, karena kamu nggak bisa ini lah, kamu takut ini lah. Aku udah bosan. Kamu bilang kamu cinta aku kan. Jadi itu semua omong kosong? Trus delapan tahun ini apa yang kamu siapin? Kantormu? Puisimu? Aku nggak butuh puisimu lagi. Puisimu udah nggak bikin aku bahagia lagi. Delapan tahun itu nggak sebentar. Kamu bukan orang bodoh.”kukelurakan saja unek-unekku. “Kamu tahu, kemarin ibuku nanya kapan kita nikah. Ini pertanyaan yang udah puluhan kali kudengar. Aku bosan. Bahkan tetanggaku yang seumur hidupnya nggak pernah punya pacar mau nikah minggu depan. Kamu denger, dia nggak pernah punya pacar. Tapi apa? Dia tiba-tiba aja nikah.” Aku mengambil napas. “Ibu bilang lebih baik aku ninggalin kamu. Karena sekarang ada tetanggaku Budi yang nanyain aku. Keluarganya ngelamar aku. Dan kamu tahu, beberapa menit sebelum kamu datang, aku mikirin Budi. Dia ngajak aku ketemuan. Aku udah nggak bisa sama kamu. Karena kamu udah bikin aku bosan. Aku muak dengan alasan kamu. Aku bosan sama alasanmu yang nggak masuk akal. Aku mau nikah. Aku nggak mau jadi perawan tua.”

Aku ngos-ngosan. Dedi terdiam.

 “Jadi kamu milih diam?”

Dedi tidak menjawab. Ia hanya menunduk ke bawah memandangi pola karpet atau entah apa.

“Kalau kamu emang cuman bisa diam, lebih baik kamu pulang. Aku nggak pingin berantem sama kamu, aku capek.”kataku lagi. Aku sedikit minggir dari pintu, memberinya jalan untuk pulang. Tapi Dedi tidak menunjukkan pertanda untuk pergi.

 “Aku nggak percaya ini. Kenapa kamu nggak bilang kalau ada yang ngelamar kamu? Kupikir kita nggak boleh bohong satu sama lain.”

 Dedi bangkit dari sofa dan menghampiriku. Wajahnya marah. Aku merasa bersalah.

“Aku nggak marah kamu ngebahas masalah pernikahan ini, tapi aku nggak nyangka kamu bisa bohong ke aku kayak gini.”lanjutnya.

“Bohong? Aku bohong demi kebaikan kita.”

“Kebaikan apa? Kamu tahu Git, alasan kenapa aku nggak nikahin kamu? Karena kamu sering bohong sama aku.”katanya sedikit berteriak.

“Oh, jadi ini semua salahku, kamu sendiri sering marah – marah nggak jelas.”

“Kamu nggak sabaran.”

“Kamu nggak pernah peka sama perasaanku.”

Dedi menggaruk kepalanya. Aku ingin menangis sejadinya.

“Kayaknya kita emang udah nggak sepakat lagi.”

“Mending kita sampai di sini.”

sumber gambar : bustle.com

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan