delusi-korban-drakor

Delusi

Semua bermula sejak Zey terobsesi dengan beasiswa bergengsi Australia Awards Scholarships untuk pascasarjana, kesehatannya menurun drastis. Tania sahabatnya yang yang selalu ada untuknya, yang selalu memarahi Zey karena mengabaikan kesehatannya. Seperti saat ini, Tania memaksa Zey untuk medical check up hari ini.

“Inget Zey, gak baik terlalu terobsesi pada suatu hal. Lo ingat ceramah Rehan ‘apapun yang berlebihan belum tentu selalu baik’ gue begini karena khawatir sama lo. Tubuh lo drop drastis, pasrah saja apapun hasilnya. Lagian lo pintar pasti banyak beasiswa menanti lo selain AAS.”

“Lo ada ide agar gue bisa ngalihin obsesi gue?” Tania seperti berpikir keras. Zey menerawang sebelum Tania menjentikkan jarinya membuat lamunan Zey buyar seketika.

“Aha! mending lo nonton drakor, deh. Nanti gue kirim link-nya. Gak ada tapi – tapian, nurut sekali napa sih,” ujar Tania tak memberi cela pada Zey untuk membantah.

“Padahal itu bukan gue banget, masa gue ….”

“Nah, tuh dia. Lo harus hentiin tontonan lo yang bikin kepala mumet, makanya lo harus coba rutinitas kehidupan seorang Tania,” potong Tania sambil mengedipkan matanya sebelah. Sedangkan Zey hanya menghela napas pasrah.

Tania Sinting send links

Zey mengklik salah satu link, memutar episode satu drama Start Up yang membuatnya terjaga hingga pukul satu dini hari. Gila, Tania bikin gue ikutan sinting! batin Zey.

“Tell me! You did it, yes, yes, you are!” Tania memeluk Zey bangga. Akhirnya, dari sejuta ide Tania, drakor-lah yang berhasil menaklukkan kepala batu Zey. Mengkaji artikel internasional, info beasiswa, mendekam di perpustakaan dengan buku – buku programming, kini satu kegiatan terselip di jadwalnya ‘Drakor’.

Dalam kurun waktu tiga minggu, Zey berhasil menamatkan semua rekomendasi drakor dari Tania. Start Up, Uncanny Counter, Sisyphus: The Myth, Vincenzo, Peninsula, Sweet Home, Love alarm, True Beauty. Zey kembali menunggu rekomendasi drama selanjutnya dari Tania. Malam ini tidak ada jadwal begadang, Zey tidur lebih awal memimpikan para pemain drama bak dewa dewi yunani.

“Hei, bangun ….” Zey menggeliat menggapai ponselnya, terlalu pagi untuk bangun. Namun, suara itu kembali lagi bahkan lebih ramai. Zey mengerjapkan mata, terlalu kaget hingga dia tak sadar bahwa dia baru saja melompat dari kasurnya. Enam kepala menatapnya tersenyum melihat ekspresi kaget Zey.

“Sepertinya, mimpiku terlalu panjang.” Zey bangkit dari keterkejutannya, menatap tiap – tiap kepala.

“Kau kenal kami, kan?” Zey sangat mengenalnya. Namun, bagaimana mungkin ini terjadi. Zey menyiapkan diri ke kampus walau dia tak punya jadwal kuliah pagi. Tania yang menyadari gelagak aneh Zey namun Zey tak mungkin mengatakan kejadian tadi pagi.

“Aneh.”

“Aneh apanya? Ini kan makanan kesukaan lo!”

“Hah?” Zey tak sadar akan gumamannya. Tania sontak menempelkan tangannya di dahi Zey yang segera ditepis oleh Zey. Zey memutuskan untuk pulang tanpa mampir sana – sini.

“Kami menunggumu sedari tadi. Duduklah!” Zey hanya menurut, duduk di kursi kosong yang tersisa, memasukkan potongan daging di mulutnya. Rasanya lezat.

“Terasa seperti mimpi tapi terlalu nyata padahal ini hanya mimpi.” Zey tahu betul siapa ucapan ini. Zey mendongak, So Mun tersenyum padanya.

“Apa ini nyata?”

“Terasa nyata untukmu dan terasa mustahil bagi orang lain. Namun, kami benar – benar ada. Terserah kau ingin menyebutnya apa,” ujar Vincenzo dengan setelan jas booralro-nya. Diikuti oleh anggukan lainnya.

“Seo Dal Mi, Nam Do San, So Mun, So Hae, Han Tae Sul dan Vincenzo. Ini seperti kode kompleks yang tak bisa kupecahkan,” pikirnya. Zey menautkan alisnya, ada satu hal yang harus diperiksanya. Disinilah Zey mengamati penghuni baru di rumahnya.

“Kau benar – benar memiliki titik – titik penghubung Yung.” So Mun mengangguk, Zey membolak – balikkan tangan So Mun.

“Tanganmu sungguh besar, Do San. Pantas Seo Dal Mi memilihmu.”

“Eh, kenapa kalian tak mengajak Han Ji Pyeong? aku ingin mendengar dia mengataiku.” Sontak semua kepala mengarah pada Zey yang kini menebarkan cengirannya.

“Wuah, inikah aroma cologne-mu? Daebak, kenapa kau begitu tampan, consigliere?” Vincenzo hanya menghela napas membiarkan Zey meraba wajahnya.

“Sebuah kehormatan bertemu denganmu Direktur Han Tae Sul, kuharap kau bisa membantuku dalam menyelesaikan laporanku. Sebenarnya ada beberapa kode yang tak kupahami.” Han Tae Sul mengangguk dan menerima uluran tangan Zey.

“Kuharap kau tak lupa bahwa aku menang juara satu lomba CODA, aku bahkan berhasil menemukan password-nya saat perusahaan Cheongmyeong diretas. Kau masih ingat itu, kan?”

“Tentu. Aku tak melupakannmu. Algoritmamu luar biasa,” ujar Zey mengacungkan dua jempolnya. Zey melirik So Hae di samping Han Tae Sul.

“Apa itu pistol kosong?” So Hae memperlihatkan amunisinya. Zey meneguk ludah. Ini sedikit menakutkan.

“Apapun wujud kalian tapi aku sungguh senang, ” ujar Zey menerima kemustahilan ini. Namun, ini bagai hadiah lotre bagi Zey. Kecerdasan Han Tae Sul dan algoritma Nam Do San atau ide brilian Vincenzo, gabungan kehebatannya membuat karya ilmiah Zey yang menunggak dua hari selesai hanya dalam waktu satu jam. Zey yang bahkan mahasiswi IT, tak mengerti sebagian obrolan Han Tae Sul dan Nam Do San, Zey bahkan tak bisa mengartikan kode – kode kompleks Nam Do San. Hari ini dan esok akan jauh lebih baik, Zey bahkan merancang penelitian baru yang tentunya akan mudah dengan bantuan teman barunya.

“Lo napa?” tanya Tania yang sedikit bergidik ngeri melihat Zey yang senyum – senyum sendiri. Bahkan, dua minggu terakhir ini, Zey tak pernah heboh dengan beasiswa, bahkan dia tak menenteng buku tebalnya atau setidaknya mengeram di perpustakaan.

“Tania, apa lo pernah merasakan ini?”

“Maksud lo?”

“Terasa sangat nyata.  Lo tahu, imajinasi gue berubah nyata. Thanks Tania. Lo bagai tiket lotre yang baru saja gue menangkan. Lo yang anak desainer bahkan tak tahu kan bagaimana tekstur jas booralro, lo yang fanatik bahkan tak tahu kan aroma cologne Vincenzo, bahkan lo tak pernah mengamati betul amunisi So Hae, bahkan lo gak tau seberapa nyamannya tangan Nam Do San, atau bahkan lo gak tau betapa hebohnya Seo Dal Mi dengan tarian anehnya, lo bahkan tak tau rasanya berada di Yung.” Tania meneguk ludahnya. Apa gue baru saja memberikannya masalah baru? batin Tania. Tania bertanya lebih lanjut dengan senang hati Zey menceritakan awal kejadiannya. Tania diam membatu. Keesokannya, Zey lebih leluasa menceritakan kehebohan di rumahnya pada Tania. Tania hanya menghela napas berat. Rupanya Zey terkena delusi!

“Lo harus ikut gue!”

“Tidak. Kalian salah!” Zey memberontak mendengar penuturan psikiater itu. “Apa lo juga nganggap gue halusinasi?”

“Memang itu faktanya, Zey. Lo terlalu terobsesi dengan pemainnya,” tutur Tania meyakinkan Zey.

“Lo iri kan sama gue? lo bukan sahabat gue lagi,” ujar Zey meninggalkan Tania yang berusaha mengejarnya. Zey menyebrangi trotoar, setidaknya ia harus menjauh dari Tania. Zey menghapus cepat bulir air matanya, mengabaikan teriakan Tania.

BRAK!!

“ZEYNARAAAA!” Tania berlutut menyaksikan tubuh Zey tergeletak di tengah aspal. Warga mengerumuni Zey sedangkan Tania masih dalam keterkejutannya.

Tania menangis menggedor – gedor pintu ruangan Zey. Memaksa dokter agar Tania bisa masuk. Zey di operasi, kerusakan tubuhnya begitu parah, setidaknya empat tulang rusuknya patah. Penantian Tania hampir tujuh jam, akhirnya pihak medis mengizinkannya menjenguk Zey. Perban menutupi kepala Zey, jahitan yang memenuhi wajahnya dan kakinya, alat – alat medis menempel di sekujur tubuhnya. Tania membekap mulutnya sendiri, berlutut di samping ranjang Zey menahan tangisnya.

Seminggu berlalu, tak ada perubahan pada Zey. Tania bahkan membolos kuliah demi menemani Zey. “Gue bawa berita buruk buat lo” ujar Tania yang menengadah ke atap – atap, menahan tangisnya. Tania kembali tersenyum, mengelus tangan bebas Zey yang pucat.

“Lo ingat betapa semangatnya lo menyiapkan berkas administrasi beasiswa AAS? Lo ingat betapa pede-nya lo di depan Pak Rektor bahwa lo bakal lulus seleksi?” Tania menghela napas. “Lo harus bangun, Zey. Lo lulus, lo berhasil diterima di University of Technology Sydney.” Bahunya bergetar, Tania menangis.

“Lo harus bangun, Zey. Lo harus nepatin janji lo sama gue. Lo janji bakalan foto berdua dengan gue di hari wisuda nanti. Bangun, Zey. Lo harus bayar janji lo!” ujar Tania dengan suara seraknya. Tangisnya semakin pecah melihat garis lurus di monitor. Dunia Tania seketika runtuh, raung tangis Tania menggema. Zey benci Tania, Zey lebih memilih meninggalkan Tania. Tania pembunuh Zey. Tubuh kurus Tania semakin bergetar, isakannya semakin jelas

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan