Di Kereta Senja Menuju Yogyakarta

Siapa kamu?

Bolehkah kau kuhampiri dan mengenalkan diriku?

Kamu. Ya, kamu.

Kamu yang duduk sendirian di kursi panjang gerbong paling belakang. Matamu tak mau lepas memandang keluar jendela. Membiarkan cahaya penghujung sore meresap mendamaikan dirimu, dalam perjalanan kereta senja yang terlalu sunyi ini.

Kita hanya berdua. Hanya ada kita di gerbong paling belakang. Aku duduk di sini sambil terus menarikan pensilku di secarik kertas putih. Menggambar apapun yang mampu kugambar, karena, mungkin kau ingin tahu, menggambar adalah nafasku. Nyawaku. Membuatku tak merasa sendirian di tengah dunia yang kurasa sedang mengasingkanku.

Dan kau, duduk di pojokan sana. Rambut hitam panjangmu yang kau kuncir kuda. Tas ransel hitammu yang kau sandarkan di kedua kakimu. Kaos putih polos dan celana jeans kumal yang membalut tubuhmu. Dan garis-garis yang mengisahkan rasa kesepian, yang menghiasi wajah murungmu.

Jarak kita terlampau jauh. Terpisahkan oleh lorong panjang yang dingin membisu. Kau di ujung sana, aku di tepi sini. Kita hanya berdua di gerbong paling belakang kereta senja yang menuju Yogyakarta. Kita hanya berdua, tapi tak saling menyapa. Tak saling bicara. Tak saling tahu nama masing-masing dari kita.

Tapi perlukah kita saling sapa? Perlukah kita saling sebut nama? Mungkin saja kau yang tak mau diganggu oleh kehadiranku di sampingmu. Mungkin saja kau yang enggan sepi-sepi yang menggaris di wajahmu itu rusak oleh kedatanganku.

Dan matamu. Sepasang mata yang memantulkan senja dari luar jendela itu…tak sadarkah kau bahwa matamu itu begitu sayu? Terpancar begitu pucat dan lelah? Bahkan aku mampu merasakannya dari sini. Dari dudukku di tepi sini. Bahkan aku tahu, kau sama sekali tak menikmati merahnya senja yang sedari tadi kau amati.

Siapa kamu?

Siapa namamu?

Di mana rumahmu?

Kemana akhir perjalananmu?

Apa yang usai terjadi padamu…hingga rasa sepi yang perih itu begitu terlukis di setiap inci tubuhmu?

Perjalanan inikah yang telah melukaimu?

Atau malah luka itu yang menjadi alasanmu berada dalam perjalanan senja ini dan terjebak dalam satu gerbong bersamaku?

Aku mengerti. Aku amat mengerti. Betapa rasa sepi begitu membuat lelah jiwa dan hati. Betapa rasa terasing memaksa kita untuk membenci. Merenggut rasa percaya yang dulu sempat kita miliki dan membekukan hati kita. Menjadi beku. Menjadi kebas seutuhnya.

Sekali saja, kucoba mengalihkan pandanganku ke arah luar jendela. Mencoba melihat apa yang kau lihat. Mencoba meresapi apa yang kau coba resapi. Dan kereta ini terus menderu. Suara berisiknya terus bergetar di telingaku. Di luar sana, persawahan nan menguning tertimpa cahaya senja.
Dan matahari nyaris tepat berada di depan pintu peraduannya. Melepas lelah setelah seharian menghujani bumi dengan sinarnya.

Apakah kau sedang melihat hal yang sama? Apakah panorama di balik jendela itu juga sedang kau hayati? Aku kembali melirikmu diam-diam. Tapi tak ada yang berubah darimu. Kesepian itu masih menggelayut di muramnya wajahmu.

Oh…andai aku berani menghampirimu, aku akan menanyakannya…

Seperti sepikukah, sepi yang kau miliki?

Tapi ternyata aku tak cukup berani. Aku hanya punya nyali untuk berharap kau sedetik saja menatap mataku. Tak apa walau hanya sekilas dan tanpa sengaja. Karena aku yakin, kau akan menemukan kesepian yang sama dengan yang kau rasakan, di kedalaman mataku. Kau akan merasakan rasa keterasingan yang sama dari pancaran jiwaku.

Dengan begitu, mungkin kau akan merasa punya seorang kawan. Dua insan yang terkatung karena kesendirian. Dua makhluk yang menghabiskan hidup dalam suatu perjalanan karena dunia terasa berjalan terlampau cepat meninggalkan. Dua wajah yang meredup karena kelelahan melawan sesuatu yang tak mungkin bisa dikalahkan. Seorang diri.

Dua anak manusia yang hidup dalam kesunyian maha pilu. Duduk bersama di gerbong terakhir sebuah kereta senja.

* * *

Kita mungkin sama. Mungkin saja.

Aku seorang tukang gambar penderita paranoia yang memutuskan berhenti berharap pada nasib baik. Dan kau gadis introvert yang terlalu banyak kehilangan mimpi yang bahkan belum sempat kau miliki.

Ah, aku terlalu jauh mengandaikan dirimu. Mungkin aku terlampau lancang…tapi matamu berkata demikian. Sepasang mata yang tak ada bedanya seperti cahaya lilin di saat-saat terakhir. Nyaris padam. Nyaris menyerah. Tinggal menunggu detik tersapu habis oleh waktu yang hanya mau bersahabat dengan mereka yang tak pernah membau udara beku kekosongan.

Senja di luar jendela semakin redup dan gelap malam mulai merangkak hendak menguasai langit.

Kau mungkin ingin tahu, aku adalah seorang yang lupa bagaimana rasanya bermimpi. Seorang penyendiri yang selalu menganggap bahwa setiap orang yang berjalan melewatiku, akan berbalik sambil menusuk-nusukkan sebilah pisau ke punggungku.

Maka jangan tertawa, jika kuceritakan bahwa aku selalu membenci berada di tengah keramaian. Jangan pula kau menjadi sedih, jika kuceritakan bahwa hari-hariku hanyalah tentang kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan.
Aku seorang paranoid. Setidaknya begitulah kata seorang psikiater yang sebenarnya juga tak pernah bisa kupercaya. Aku tak pernah bisa percaya pada siapapun. Bahkan kepada diriku sendiri.

Pada malam-malam kelam, seringkali aku berfikir bahwa suatu saat diriku sendirilah yang akan menjadi pengkhianat terbesar dalam hidupku. Salah satu sisi dalam jiwaku akan berbalik arah, dan membiarkanku tersesat sendirian dalam kotornya dunia hingga aku mati perlahan. Karena itu, aku tak pernah punya cermin. Aku benci bercermin dan aku menghindari menatap mataku sendiri. Kilatannya akan melukaiku.

Sejak aku sadar akan hal itu, aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku pergi dari satu kota ke kota lain. Naik dari satu kereta ke kereta lain. Menghindari kecemasan. Menjauhi ketakutan.  Menikmati wisata kesendirian.

Hingga…entahlah…hari ini aku duduk di sini. Berada di gerbong ini. Bertemu denganmu, gadis kesepian bermata sayu. Dan ajaibnya, aku tak lagi merasa cemas. Aku tak lagi merasa takut. Aku tak lagi berfikir, kau akan menyerangku dengan sebilah pisau, ketika aku sedang larut dalam goresan gambarku.

Aku malah merasa tak lagi sendirian. Sungguh. Setelah sekian lama, aku kembali yakin bahwa aku bukanlah satu-satunya yang diasingkan oleh dunia ini. Bahkan, tanpa tahu namamu dan mengenalmu, aku sudah merasa dekat begitu dekat denganmu. Begitu hangat. Begitu akrab.

Tapi…

Apakah kau merasakan hal yang sama?

Mungkin tidak. Bahkan, aku tak yakin kau tahu bahwa aku ada di tepi sini. Karena kau tak pernah memandangku. Matamu tak jua beralih dari situ. Tak henti memandang keluar jendela. Memandang senja yang kini genap musnah dari horizon barat.

Oh, kau rasakan jugakah kereta ini mulai melambat? Sebentar lagi Stasiun Kutoarjo, Purworejo. Stasiun terakhir sebelum Yogyakarta. Kota dimana kakiku akan kuinjakkan.

Apakah kau juga akan turun di sana? Tampaknya tidak. Kulihat kau angkat tas ranselmu dan kau peluk dengan erat. Untuk pertama kalinya, matamu tak lagi memandang ke arah luar jendela. Kau hanya tertunduk. Diam. Dan…mulai terisak lirih.

Apakah kau sedang menyembunyikan tangismu? Kenapa kau tersedu? Aku tak tahu. Aku tak punya cukup nyali untuk menanyakan padamu.

Tapi jelas, kau menangis. Kau tertunduk, terisak dan dengan pilu semakin erat kau peluk tas ranselmu.

Jujur kukatakan, aku bergetar melihatmu seperti itu. Aku merasakan ngilu menatapmu menumpahkan air matamu dalam kelirihan yang menyakitkan. Tapi aku tak mungkin menghampirimu. Memelukmu dan menghapus air matamu. Aku tahu aku tak berhak. Bahkan aku tak tahu siapa namamu.

Walaupun aku sudah menganggapmu menemaniku sepanjang perjalanan.
Kereta semakin melambat. Makin melambat. Hingga akhirnya berhenti sepenuhnya. Kita sampai di Stasiun Kutoarjo.

Dan kau, gadis kesepian yang duduk tertunduk sambil memeluk ransel di ujung sana, menghela nafas dalam-dalam. Berulang kali. Seakan mencoba menguatkan hati. Lalu, kau berdiri. Menatap kosong ke arah depan sambil memasukkan tali tas ransel ke kedua lenganmu.

Akhirnya, kau melangkah juga. Begitu rapuh kau menapaki lorong menuju pintu gerbong yang kini terbuka. Bahkan, di mataku, pijakanmu nyaris terseok. Hingga kau melewatiku, yang bergetar hebat tanpa berani menatapmu. Aku hanya tertunduk. Pura-pura menatap secarik kertas dengan sebuah gambar yang setengah jadi.

Setelah yakin kau benar-benar telah melewatiku, kuberanikan mengintip sedikit ke arahmu. Tak lagi mampu kulihat wajah murammu atau sepasang mata sepimu, yang tadi habis dibasahi oleh air mata. Aku hanya bisa menatap punggungmu, tas ranselmu, rambut hitammu yang dikuncir kuda dan langkahmu…yang terseok. Yang rapuh melangkah menuju pintu keluar.

Dan pada akhirnya, seperti yang seharusnya, kita berpisah. Kau melompat keluar kereta, berjalan menyusuri stasiun dan lalu hilang…tenggelam ke tengah lautan manusia yang lalu lalang.

Hingga kini aku sadari, hanya tinggal aku seorang yang duduk di gerbong ini. Sendiri. Pilu. Sesak. Kesepian. Kehilangan.

Kuucapkan selamat tinggal kepadamu, gadis sepi yang tak henti memandang senja di luar jendela.

 

– “Bagi hati yang telah mati, tujuan dan jawaban bukanlah akhir dari segala sepi.” –

Yogyakarta , 2 September 2012

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan