Kita menghancurkan planet kita sendiri. Kitalah yang telah melakukannya, dan kita sedang melakukannya sekarang.
(halaman 120)
Manusia selalu berusaha hidup dalam kenyamanan. Obsesinya dalam memanfatkan apapun disekelilingnya untuk mencukupi kebutuhan hidup tidak pernah mencapai kata cukup. Keinginan memiliki kehidupan yang efektif dan serba praktis telah membawa manusia kejaman yang luar biasa. Kita selalu merasa percaya bahwa eksistensi kita sebagai manusia dapat diukur lewat perkembangan iptek semata. Kita telah membuktikan diri sebagai subyek yang paling berpengaruh dibumi. Di zaman yang serba modern ini banyak industri dan teknologi yang berkembang dengan pesat, hal ini yang banyak dipercaya sebagai tolok ukur keberhasilan kita. Kita terbiasa mengukur apapun lewat hal-hal yang bersifat materialis, dan sering mengacuhkan hakikat dan tanggung jawab sebagai manusia pada mestinya.
Sejak perkembangan filsafat ilmu, peradapan kita berusaha menjawab berbagai pertanyaan tentang kehidupan. Sayangnya kita kini berada dijaman kesombongan. Kita terbutakan oleh pragmatisme. Kita lupa bahwa masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam kehidupan. Bahkan kita telah menjadi malas untuk bertanya. Kita hanya ingin mengurusi hal-hal yang bersentuhan langsung pada keseharian kita. Efisiensi dan hal-hal praktis telah me-nina-bobo-kan kita. Akhirnya kita lupa bagaimana kita memaknai eksistensi kita seharusnya, apa yang menjadi tanggungjawab kita sebagai manusia. Setidaknya Jostein Gaarder mencoba menyampaikan pesan itu dalam novelnya Dunia Anna.
Setelah pernah menerbitkan karya Dunia Sophie (1991) yang sebelumnya mengajak pembacanya menerawang sejarah perkembangan ilmu, Jostein Gaarder kembali menyuguhkan hal-hal filsofis lewat karyanya Dunia Anna (2013). Berbeda dengan Dunia Sophie yang mengajak kita mundur kebelakang, Dunia Anna menyajikan petualangan mesin waktu kemasa depan. Kedua karya ini memiliki kesamaan dan keterkaitan satu sama lain yang menjadikan keduaannya sangat berharga bagi siapapun yang membacanya. Kesamaannya penulis kembali menanamkan pertanyaan akan kebenaran-kebenaran yang sering dilupakan oleh manusia. Sejak jaman awal kehidupan, manusia sering meyakini fakta-fakta yang ternyata jauh dari suatu kebenaran. Dalam Dunia Sophie, Gaarder menarasikan kehidupan para filsuf yang menyumbang pemikiran dalam mengkritisi kebenaran disetiap jamannya. Kita diajak menilik bagaimana pada jamannya, para filsuf membawa pemikiran akan kebenaran-kebenaran yang tidak benar-benar dipahami sebagai satu kebenaran pada masa itu. Sumbangan pemikiran mereka waktu itu dianggap bertentangan pada kebenaran dalam masyarakat waktu itu, bahkan beberapa dari mereka dianggap gila. Seakan-akan para filsuf ini tahu, pada akhirnya kita yang hidup di masa depanlah yang akan berterimakasih pada sumbangsih pemikiran mereka.
Sebagaimana semangat memperjuangkan kebenaran para filsuf yang di narasikan dalam Dunia Sophie, penulis mencoba membuat tokoh utama dalam Dunia Anna memiliki semangat yang sama. Anna, adalah tokoh utama yang memilki semangat untuk memperingatkan dunia akan kebutaan manusia pada kebenaran. Kebenaran bahwa perkembangan kehidupan manusia telah mencapai tahap yang membawa pada kehancuran lingkungan hidupnya sendiri. Anna yang akan berulang tahun ke 16 pada tanggal 12-12-12, memiliki penglihatan aneh akan masa depan. Dan yang tidak kalah aneh adalah bagaimana cara dia melihat masa depan, yaitu lewat mimpi. Mimpi aneh diamana dia menjadi cicitnya sendiri dalam mimpi tersebut. Nova cicitnya yang saat itu berulang tahun ke 16 pada tahun 2082, ditanggal yang sama dengan ulang tahun Anna sendiri. Saat bermimpi menjadi Nova, Anna melihat situasi dunia dalam keadaan kritis. Masalah lingkungan jauh lebih buruk dan pada akhirnya mengancam seluruh keberlangsungan hidup makhluk dibumi, tak terkecuali manusia sendiri. Bumi dimana Nova tinggal bukan lagi bumi yang cantik. Laut Arktik tak lagi menyisakan es. Sebagian pulau-pulau di Samudera Hindia telah tenggelam. Hanya ada tiang penanda di laut yang menunjukkan dulunya adalah sebuah pulau. Banyak peradaban yang telah hilang. Orang-orang dari bagian negara beriklim panas berbondong-bondong melakukan migrasi ke daerah yang lebih dingin, karena iklimnya tak mendukung untuk hidup. Beberapa spesies flora dan fauna masih bisa ditemukan, sisa-sisa dari kejayaan bumi masa lalu. Namun lebih banyak yang punah dan terancam punah.
Yang lebih ironis adalah Anna merasakan kebencian akan dirinya sendiri. Saat menjadi Nova dalam mimpinya, dia amat membenci nenek buyutnya yang tak lain adalah dirinya dimasa depan. Seakan-akan seluruh perkara ini ada dalam tangnggung jawabnya. Tanggungjawab sebagai generasi yang mewariskan bumi untuk generasi selanjutnya, bumi yang tak lagi cantik. Bahkan saat menjadi dalam mimpinya sebagai Nova, dia tampak sangat marah pada buyutnya. Penulis memperlihatkan hal ini lewat beberapa dialog yang menarik.
“Aku Cuma bilang kalau aku mau dunia tempat hidupku ini seindah dunia yang Nenek nikmati waktu seumurku. Tahu, kan kenapa? Karena itu utang pada generasi kami!”
“Diamlah, Nova!”
“Atau, Nenek mau aku usir ke hutan? Ayo, kembalikan dunia yang indah itu. Berikan padaku rusa-rusa kutub liar di Hardangervidda, di Jotunheimen, dan di Rondane. Ayo, penuhi permintaanku. Kalau tidak, lebih baik Nenek segera pergi saja.”
(halaman 50)
Pada akhirnya saat dirinya terjaga, Anna bersikeras mencegah agar hal itu tidak pernah terjadi. Anna merasa apa yang dilihatnya dalam mimpi akan terjadi, kalau dia tiak berbuat sesuatu. Setidaknya Anna meyakini mimpinya, dan berusaha berpegangan pada kebenaran tersebut. Dan kebenaran tersebut harus dipahami oleh masyarakatnya, agar hal buruk dalam mimpinya tidak akan terjadi. Tapi kebenaran macam apa ini? Hal ini hanya mimpi dari seorang remaja berusia 16 tahun. Nampaknya hal tersebut tidak akan mudah dipahami orang lain, hal tersebut lebih nampak seperti khayalan seorang remaja. Apakah dia mampu menjawab tantangan yang datang dari masa depan? Apakah Anna akan mewariskan bumi yang indah pada Nova?
“Manusia mungkin adalah satu-satunya makhluk hidup di seluruh jagat raya ini yang memiliki kesadaran universal-sebuah sensasi yang tak terperi atas keleluasaan dan kemisteriusan alam semesta tempat kita menjadi bagiannya. Jadi, menjaga kelestarian sumber kehidupan di planet ini bukan hanya sebuah kewajiban global. Itu adalah juga sebuah kewajiban kosmik.”
(halaman 102)
Pembaca karya ini akan disuguhi perjuangan Anna memaksimalkan perannya dalam masalah lingkunan. Ini yang menjadikan Dunia Anna menarik. Penulis menggunakan kepolosan Anna sebagai instrumen yang canggih dalam menyampaikan ide-idenya. Masalah lingkungan yang dilematis dapat dikemas dalam perspektif seorang remaja. Novel ini mencoba menggugah paradigma pembaca, penulis sangat kreatif dalam mendorong pembacanya berfikir. Penulis berusaha menggiring persepsi pembaca dengan cara yang manis, lewat kacamata tokoh Anna. Bahkan bagi kita yang malas berfikir, penulis tetap menyuguhkan sebuah cerita yang apik. Untuk para pembaca yang sekedar ingin menikmati sebuah cerita, novel ini tetap sangat menjanjikan. Namun tampaknnya siapapun yang membaca novel ini akan berfikir ulang, jika pada akhirnya tidak mempunyai sedikitpun pemikiran/pandangan dalam masalah lingkungan. Novel ini akan membuat kita bercermin dan merefleksikan diri untuk lebih memperhatikan kelestarian kehidupan di bumi. Karya yang sangat bermanfaat bagi pandangan kita yang hidup dijaman yang didominasi dengan pandanga pragmatisme.
Belum ada tanggapan.