Tembangmu, Tuhan, datang memanjang
Sebelum kami tenggelam dalam remang
(Mario F. Lawi)
Mario F. Lawi, penyair kelahiran Kupang, Timor, pernah menjadi sorotan publik, terutama di kalangan penyair dan kritikus sastra di tanah air ini. Perhatian ini tak lepas dari puisi-puisinya yang kerap mengisi di pelbagai rubrik lembaran sastra koran nasional. Buku kumpulan sajak pertamanya, yakni Memoria, beberapa tahun lalu juga menjadi salah satu buku yang masuk dalam daftar buku terbaik pilihan Tempo. Dan, ia pernah diundang untuk menghadiri sejumlah festival sastra bertaraf nasional dan internasional.
Sekelumit biografi itu membuat penasaran pembaca, sehingga harus mengetahui dan membaca lewat karya-karyanya. Salah satu buku kumpulan puisinya berjudul Ekaristi (2014).
Adapun dari membaca buku ini, pembaca merasa telah memasuki pintu menuju dunia Tuhan-nya Mario F. Lawi lewat kata-kata puitis. Dan, tentunya, dunia tersebut tak hanya milik si penyair. Sebagai pembaca, kita akan memasuki ruang-ruang bernuansa religi, teduh, bening, dan terkadang abstrak tanpa menghilangkan metafor dan ironi. Dimana, metafor dan ironi yang digunakan si penyair ini, justru memberi petunjuk bagi pembaca, bahwa itulah keunggulan yang dimiliki si penyair, di samping memiliki unsur biblikal dengan warna-warni alam dan dongeng lokal khas daerahnya.
Hal ini sejalan dengan pengakuan si penyair yang tersaji dalam buku ini. Ia mengaku bahwa kehadiran puisi-puisinya diambil dari khazanah biblis (tepatnya, memanfaatkan kitab Injil) dan kisah-kisah ritual tradisi dari Sawu dan Sabu—tempat yang lebih dikenal karena kekhasan tenun ikatnya berkat kemauan baik sejumlah perancang busana dari Jakarta seperti Oscar Lawalata (hal. ix).
Pengakuan tersebut dapat ditilik lewat salah satu puisi-prosa berjudul Gela, yang saya nukilkan ini: “Kita akan berpindah dari ladang ke ladang selama batang lontar masih terlalu licin dan lumut-lumut di atas batu pijak belum dibersihkan. Pagi belum usai mengusap mata dan meregangkan badannya. Lekaskan pekerjaan ladang ini, agar sebelum petang memanjangkan bayang-bayang, isi ha’ba yang tak akan lagi sempat mengepulkan asap dapur dapat kauganti dengan arakan bebunga dan dedaun di atas benang-benang panjangmu. “Ana appu ya de tape wede pa loko pa da’i ta mahhe ri mone b’aga”.”
Dan lebih lanjut, dari kata-kata yang tampak asing tersebut, penyair memberi keterangan bahwa itu merupakan salah satu jenis permohonan dalam salah satu bagian Dab’a. Sebuah ritus inisiasi kaum Jingitiu suku Nappu Pudi, Desa Pedarro, Kecamatan Hawu-Mehara, Kabupaten Sabu-Raijua, Nusa Tenggara Timur.
Dari pengakuan, puisi, dan keterangan si penyair, tentu akan semakin meneguhkan pembaca untuk mengkhatamkan atau setidaknya menelisik puisi-puisinya lebih lanjut. Dan, ini yang menghasilkan beberapa komentar dari pembaca karyanya, tak hanya saya saja, bahwa dari khazanah yang ia ambil dan disajikan ke dalam sajaknya, ia memberi nilai kelangkaan, dimana, corak puisi-puisinya jarang dipakai, diikuti, atau dimiliki oleh penyair-penyair lainnya.
**
Puisi-puisi Mario F. Lawi, yang tergolong naratif (mengandung unsur cerita) ini juga memberi pancingan terhadap pembaca untuk senantiasa berpikir dan mengingat Tuhan. Dimana, dalam beberapa hal, terkadang Tuhan dalam sebuah teologi tiap masyarakat modern ini kerap dicampakkan (dipinggirkan).
Pencampakan tersebut akan terbukti dan terasakan oleh publik pembaca Ekaristi ini. Pembaca yang mencampakkan Tuhan dan agama, akan merasa asing, tidak akrab, atau justru kesulitan memasuki ‘dunia Tuhan’ yang disuguhkan Mario F. Lawi. Barangkali, ketika membaca, ia (pembaca) juga lupa atau hanya ingat sepintas akan kisah nabi yang disuguhkan penyair, beberapa di antaranya, seperti Nabi Adam, Zakharia, Yusuf, dan Nuh, yang nama-namanya dijadikan judul puisi.
Meskipun demikian, pembaca juga perlu mengingat bahwa rasa asing, tidak akrab, dan kesulitan memasuki ‘dunia Tuhan’ dari Mario F. Lawi, bukan berarti pembaca mencampakkan Tuhan dan agamanya. Tetapi, ini bisa juga disebabkan biografi dan geografi si penyair yang berbeda dengan biografi dan geografi pembaca.
Tentu, alasan ini bisa mendorong bagi pembaca agar tak merasa minder dan bersalah ketika membaca Ekaristi. Pembaca boleh membaca dan menilik puisi-puisinya lebih lanjut. Dari aktivitas ini, pembaca akan dapat mengetahui dan menerima ‘tanda dan sarana keselamatan’ yang disuguhkan penyair. Atau malahan, dari membacanya—dengan menggabungkan nukilan frasa puisi dalam Kami Pun Bertanya Ketika Aroma Anggur dan Rekah Cawan Bertabrakan—barangkali akan didatangi Tuhan, sebelum telanjur ‘tenggelam dalam remang’. Siapa tahu?
Belum ada tanggapan.