Esai selalu menggoda. Menggoda manusia untuk singgah, merenung atau bahkan menggoda untuk menengok sekejap. Godaan esai tak hanya terletak pada permainan bahasa esai melainkan juga maksud apa yang sebenarnya ingin disampaikan dari sebuah esai itu sendiri. Meski esai hanya berawal dari sebuah coba-coba sebagaimana yang diungkap oleh pemikir perancis Michel de Montaigne, akan tetapi perkembangan esai lebih dari sekadar praktek mencoba.
Oleh karena itu buku kumpulan esai ini diberi tagline “esai-esai seni dan estetika”. Bukan hanya karena esai-esai yang disampaikan oleh sang resi semiotika ini penting, tapi juga patut kita renungkan. Esai memang mengundang suluh sejarah dan membuka mata kita akan pentingnya kembali pengetahuan yang terkadang belum tersampaikan dan tersembunyi. Kita bisa menemui esai yang bernuansa historis-yang dikemas dengan bahasa naratif pada esai bertajuk ‘’(seni) tradisi lisan dilihat kembali, sebuah catatan tentang budaya nasional dan humanisme revolusioner di indonesia‘’. Bahasa sang resi memang bisa dibilang lentur dan renyah. Ia tak mau memakai bahasa-bahasa yang terlampau akademis dan njlimet apalagi berputar-putar.
Meski memakai bahasa atau format esai, ST sunardi tak mau terjebak pada persoalan bentuk semata dan tak mempertimbangkan isinya. Justru yang dilakukan oleh ST Sunardi sebaliknya, ia menempatkan gagasan yang jelas dan menerangkan apa yang hendak disampaikan dengan sangat jelas dan terang. ST Sunardi pun menggarap tema-tema yang tentunya berkaitan dengan bidang kajian dan studi yang selama ini ia geluti dibidang kebudayaan dan humaniora juga kesenian.
Pengalaman dan Intimitas
Esai tak hanya ditulis dengan mengandalkan personalitas, meski keunggulan esai terletak pada kelihaian dan pendapat yang menggoda, mengajak, menyeru atau bahkan mencemooh. Esai-esai seni dan estetika yang terangkum dalam tiga kata kunci (keywords) yakni vodka, berahi dan nabi tak mengajak kita ke arah sana. Esai-esai ST Sunardi mengajak pembaca untuk mencoba menyimak dan mendengarkan pemikiran yang ditulis dengan pengalaman dan intimitas yang kuat. Kita pun menduga kuat, tak mungkin sang resi menulis dengan waktu yang cukup singkat. Sebagaimana pengakuannya dalam pengantar “dokumentasi ini penting untuk melihat jejak-jejak yang sudah saya teliti serta temuannya –walaupun sangat sederhana”.
Kita bisa menemui esai yang ditulis yang penuh dengan intimitas dan pengalaman yang intens melalui esai yang berjudul noda di Jakarta 2039 yang mengomentari panjang lebar tentang karya Seno Gumira Ajidarma. Melalui esai ini ST Sunardi mengajak kita mendalami dan merenungi dunia komik yang juga merupakan dunia yang dicipta ke dua kali. Begitupun autokritik yang coba ia tampilkan sebagai seseorang yang memiliki iman akan agamanya. Ia menuliskan betapa religiusitas kini sudah makin hilang dihadapan budaya pop. Ia lihai mengamati fenomena natal yang kalah dengan kultur pop dan bersinggungan dengan budaya pasar. “esai berjudul “kesunyian pohon cemara dalam budaya pop natal”.
Disamping itu, kita juga bisa menemui pengalaman dan pergumulan penulis yang intens dengan dunia pameran rupa dan juga sastra. Esai bila kata menjadi peristiwa, yang mengisahkan pengalaman dan intimitasnya yang mengamati perkembangan karya sastra yang mampu menghasilkan kajian yang lebih luas tentang ilmu sosial dan kemanusiaan. Begitu juga dengan pengalaman penulis yang menonton pameran komik yang menghasilkan esai berjudul ruang publik boleh langka, asal jangan ruang komik. Konon sebagaimana pengalaman yang pernah dikatakan ST Sunardi ketika melihat wayang “ dengan menonton wayang saya merasa hidup saya ini nyata bukan fiksi “. Begitupun ketika ST Sunardi mengalami pengalaman ketika menonton dunia seni dan dunia rupa hingga sastra, ia pun mengatakan : Seni setidaknya memiliki tiga fungsi yakni menanamkan pendidikan nilai, sebagai hiburan dan juga sebagai sesuatu yang bernilai kapital.
Ekstase dan Birahi Nabi
Kedua kata ini memang seperti merefleksikan apa yang hendak disampaikan ST Sunardi secara keseluruhan. Kumpulan esai-esainya hendak mengingatkan bahwa ada ruang yang sebenarnya bisa kita masuki secara khusyuk di tengah arus modernitas dan gelombang pasar yang begitu deras sebagaimana yang diungkapkan dalam esai yang berjudul “karawitan menagih janji jepang se abad kelahiran pengrawit Ki Tjokrowasito”. Esai ini seperti menjadi pengingat bahwa kita memiliki pengrawit dan tokoh kesenian yang mempelopori penciptaan gendhing-gendhing yang hidup di jaman orde lama dan orde baru yang berjasa dalam menciptakan lagu-lagu dan bertekun dalam dunia karawitan.
ST Sunardi pun mengajak kita dalam birahi seorang nabi yang menjadi pengkhotbah dan penyampai yang fasih termasuk dalam menyampaikan dan mengupas buku-buku secara tuntas dan mendalam. Penulis buku ini menunjukkan bukan hanya orang yang menguasai dan mampu membaca buku tapi juga menafsir buku. Beberapa essai ini mengungkapkan hal tersebut. Sebut saja essai Vodka dan birahi seorang nabi yang mengupas dan mengantar buku puisi Arahmaiani “roh terasing” (2004), tujuh hari di labirin pengantar buku the name of the rose karya umberto eco (2003), dan “waktu Zarathustra” mengupas dan memberi ulasan pada buku Zarathustra.
Dengan demikian kumpulan esai-esai ini bisa dilihat dari cara pandang seorang nabi yang merenungkan, khusyuk hingga sampai pada ekstase pemikiran sebelum menuliskannya. Selain itu, ST Sunardi menunjukkan posisinya sebagai penulis yang penuh dengan birahi dan semangat kerja intelektual yang intens mengingat peranannya dalam dunia akademik dan dunia masyarakat. Sebagaimana judul esai ini vodka dan birahi seorang nabi. Semoga kita tak mabuk dalam ekstase pemikiran yang ada dalam buku ini melainkan sebaliknya kita menjadi semakin mewarisi “birahi” seorang nabi. Untuk apa?, Meminjam ungkapan ST Sunardi “untuk penawar racun yang senantiasa kita butuhkan saat kita meneguk air kehidupan yang kita ambil dari mana-mana”
*)Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.