Di Surakarta, muncul sesorang dengan label “Haji” tapi ia berbeda dengan “Haji” pada umumnya kala itu, yaitu Haji Muhammad Misbach. Walau tak sepopuler Tjokroaminoto dan Soekarno, Misbach adalah sosok yang berperan penting dalam sejarah pergerakan Indonesia. Misbach mendapat pendidikan pesantren, namun ia juga pernah merasakan pendidikan Bumi putra Angka Dua. Ia tidak mengerti bahasa Belanda dan tidak punya kawan-kawan dari Belanda. Ia justru fasih berbahasa Arab.
Dimulai dari Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan mas Marco Kartodikromo pada 1914, lalu ia bergabung dengan Sarekat Islam. Sifatnya yang pandai bergaul membuatnya mudah diterima di lingkungan yang baru sekalipun. Pengalaman bersama IJB menghantarkan Misbach untuk menerbitkan media massa bercorak Islam yang kritis terhadap kondisi sosial di Hindia Belanda. Pada 15 Januari 1915 ia menerbitkan suara kabar tersebut dan dinamai Medan Moeslimin. Pada 1917, ia juga menerbitkan surat kabar bernama Islam Bergerak. Bahkan pada 1918 sikapnya menjadi tampak revolusioner.
Pemikiran Misbach berubah pada awal abad ke-20. Faktor utamanya adalah situasi sosial-politik di Hindia Belanda. Abad ke-20 bisa disebut sebagai abad kemajuan, khususnya dalam politik kolonial, yaitu zaman etis. Pemerintah kolonial melakukan perluasan pendidikan gaya baru. Hasilnya, pendidikan bergaya barat meluas pesat. Pendidikan Belanda sepertinya telah mempengaruhi beberapa lapisan masyarakat. Tanpa disadari, lambat laun rasa nasionalisme mereka pun tumbuh.
Hadirnya Misbach dalam Kongres PKI, 4 Maret 1923 di Bandung, ia memberikan uraian dengan menunjukkan ayat-ayat Al-Quran. Ia juga menegaskan tentang peranan Islam dan komunisme dalam melawan kaum kapitalis. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai mubaligh komunis yang selalu berpropaganda tentang komunisme dan Islam. Menurutnya, “Bagi orang yang dirinya mengaku Islam dan Komunis yang sejati, ia akan suka menjalankan apa yang telah diwajibkan oleh agama Islam dan Komunis. Hal ini dapat dimaknai sebagai wujud keberpihakannya terhadap komunis yang sebelumnya dijauhkan dan disingkirkan oleh Tjokroaminoto.”
Walau ideologi komunis yang dipropagandakan itu ditolak oleh golongan SI Putih dan Muhammadiyah, Misbach tetap sangat mempercayai komunisme dan Islam. Menurutnya, agama dan budi pekerti manusia dirusak kapitalisme. Namun, kader-kader komunis mempercayai bahwa pemikiran Islam harus ditransformasikan supaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Keberhasilan Revolusi Bolshevik di Rusia merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri oleh umat islam bahwa Marxisme mampu menjadi Spirit gerakan rakyat. Menurut Misbach dan kaum santri revolusioner Surakarta, komunisme adalah cara umat islam untuk mengekspresikan keislamannya, terutama dalam membela kaum lemah dan melawan kapitalisme.
Pada 1919 Misbach ditangkap oleh polisi dengan tuduhan sebagai provokator dan penyebar kebencian terhadap pemerintah. Para aktivis pergerakan memprotes penangkapan itu yang tidak disertai dengan bukti dan saksi yang jelas. Setelah melalui persidangan pemerintah kolonial tidak menemukan bukti-buktiyang kuat terkait tuduhan Misbach. Akhirnya ia dibebaskan pada 22 Oktober 1919. Pada 16 Mei 1920 Misbach kembali tertangkap dengan tuduhan sebagai provokator pemogokan. Jaksa menuntut atas dakwaan bersalah karena sudah menghasut masyarakat, atas dakwaan itu Misbach divonis bersalah dan dibui di Pekalongan.
Suasana tenang di Surakarta mulai hilang pada Juni 1923. Bukan karena Misbach mengorganisasi rapat-rapat umum dan pertemuan, tetapi karena pengawasan ketat oleh kepolisian. Dalam situasi sulit itu Misbach akhirnya melakukan propaganda di luar Karesidenan Surakarta. Ia menyerahkan penerbitan Islam Bergerak kepada Partoadmodjo. Lantas Misbach melakukan tur propaganda ke berbagai tempat, seperti Nganjuk, Madiun, Magelang, Yogyakarta, Kebumen, dan lain-lain. Hal penting yang menunjukkan Misbach sebagai pemimpin PKI di vonstenlanden dan sekitarnya adalah Islam Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak dan bersatunya organ PKI Yogyakarta ke dalam Ra’jat Bergerak pada 1923. Pergantian nama ini juga menunjukkan bahwa perhatian Misbach meluas bukan hanya mengenai Agaman Islam tetapi juga rakyat. Ia bahkan mengubah gayanya dalam berbusana. Ia tetap memakai jaket putih, celana putih, dan sepatu. Namun ia mengganti peci putihnya dengan ikat kepala gaya Jawa. Ini membuktikan bahwa ia adalah orang Jawa yang beragama Islam. Pada saat yang sama situasi di Surakarta semakin memanas. Muncul berbagai sabotase dan aksi radikal yang mendorong pemerintah berindak tegas dengan menangkap pelaku utamanya. Pada 23 Oktober 1923 Misbach bersama teman-temannya divonis hukuman pembuangan ke Manokwari, Papua. Hukuman itu menjadi pukulan telak bagi PKI Surakarta karena Misbach adalah tokoh utamanya. Penangkapan atas Misbach tidak hanya berdampak pada PKI Surakarta tetapi juga pada hoofbesteur PKI Semarang dengan ditangkapnya Aliarcham dan Boedisoetjitro.
Selama di pembuangan, Misbach dalam rentang 1924-1926 tetap aktif menulis dan artikel-artikelnya dimuat di Medan Moeslimin. Pada masa itu Manokwari memang sedang terjadi wabah TBC. Misbach dan keluarganya terserang penyakit itu. Pada 1925 ia meminta izin kepada pemerintah untuk berobat ke Belanda. Di saat itu pula Partai Komunis Belanda bermaksud memasukkannya dalam kandidat anggota parlemen dalam pemilu. Tapi pada 24 Mei 1926 Misbach terserang malaria dan akhirnya meninggal dunia. Sejumlah anggota SR Manokwari menguburkan jasad Misbach di samping jasad istrinya. Sesudah itu anak-anaknya dipulangkan ke Surakarta dengan ditemani oleh Sakimin.
Dengan melihat sosok, riwayat personal, dan aktivitasnya di dunia pergerakan, pantaslah kiranya kita menyebut Misbach sebagai keunikan dalam sejarah pergerakan nasional. Ia seperti “tersingkir” dari lingkugan Islam di masa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial karena ide dan sikapnya yang mendukung komunisme. Pada saat yang sama ia mengkritik keras orang-orang yang mengaku beragama Islam tapi lebih mementingkan menumpuk kekayaan daripada membela rakyat. Tak pelak, ia seperti kata Marco, “Harimau didalem kalanganja binatang-binatang ketjil, karena dia tidak takoet lagi menjela kelakoeanja orang-orang yang mengakoe Islam tetapi selakoe mengisep darah temen hidoep bersama”.
Kegelisahan Misbach atas buruknya kondisi rakyat di bawah kekuasaan kolonial telah mendorongnya untuk memasuki dunia pergerakan. Dan ia tetap menyandarkan kesadarannya itu pada agama yang dianutnya, yaitu Islam. Menurut Marco, Misbach sejak aktif di IJB sudah berniat menyiarkan keislaman dengan cara “membikin soerat kabar Islam; sekolahan islam; berkoempoel-koempoel meremboek Igama Islam dan hidup bersama”. Artinya, ia memang menyadari pentingnya media sebagai alat penyampai gagasan tentang kemajuan dan pengayaan wawasan publik. Ia lantas mewujudkannya dengan menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin. Edisi perdananya bertitimangsa 15 Januari 1915. Inilah langkah pertamanya berpropaganda melalui tulisan. Misbach juga menjadi sosok yang mengkombinasikan cara propaganda lisan dan tulisan. Ia bahkan mewujudkan muara dari kombinasi tersebut dalam aksi dan praktik konsolidasi rakyat di berbagai tingkatan. Hal ni tampak ketika ia membentuk SATV, menyumbang dana kebutuhan PKBT, dan menjadi komisaris penyelidik wabah pes. Ia adalah seorang yang mau terjun langsung ke masyarakat untuk mengetahui kondisi umat Islam, lantas berusaha mengatasi persoalan di dalamnya.
Misbach telah meruntuhkan klasifikasi klasik tentang tiga faktor dominan pendorong pergerakan rakyat anti-kolonial : nasionalisme, Islam, dan Komunisme. Menurut Shiraishi, gagasan propaganda dan aksi-aksi Misbach adalah peringatan kepada kita akan pandangan tersebut. Jika kita membuang klasifikasi itu, maka pergerakan nasional akan tampak khas. Di zaman pergerakan, pemimpin pegerakan berfikir, menulis, dan berkata serta bertindak sebagai orang pertama. Dicerahkan oleh kata-kata dan perbuatan mereka, rakyat melihat dunia dan bergerak. Akhirnya kita sekarang dapat melihat dunia mereka dengan mengikuti kata dan perbuatan yang tergores dalam tulisan-tulisan mereka.
Buku ini menyatukan berbagai tulisan dan propaganda Misbach di surat kabar yang didirikan serta di kelolanya. Setidaknya ada sejumlah hal pokok yang tampak dari tulisan-tulisan tersebut sehingga kita dapat menyebutnya sebagai sosok yang khas dalam pergerakan nasional. Ia adalah orang yang tanpa segan mengkritik keras setiap pihak yang menurutnya tidak sejalan dengan aturan Islam,semmangat komunisme, dan kemerdekaan rakyat Hindia.
Misbach mengecam bagian Internal Islam di Tanah Hindia. Ia tidak menyerang ajaran Islam melainkan mengkritik orang-orang Islam yang bersikap dan menjalani hidup tanpa mengikuti ajaran Islam. Ia megajak umat Islam untuk taat kepada Allah SWT, mengasihi sesama, dan menjadi manusia yang baik. Kemerdekaan dari penjajahan tidak mungkin diraih bila umat Islam mengabaikan ajaran Islam. Di titik ini pula ia mengecam sikap sejumlah pemuka agama Islam yang menurutnya tidak memperdulikan kondisi umat, hanya menupuk kekayaan, dn menginginkan kekuasaan. Kita bisa menyaksikan hantamannya itu dalam sikapnya ketika bergabung dengan TNKM-nya Tjokroaminoto dan membentuk SATV. Lalu ia segera berbalik menyerangnya dan Muhammadiyah yang menrutnya “tidak peduli lagi” pada pergerakan rakyat dan “melembek” terhadap pemerintah kolonial. Tulisan “Semprong Wasiat”, misalnya bisa mewakili sikap Misbach mengenai hal tersebut.
Misbach juga menyerang feodalisme Jawa yang bersekutu dengan kekuatan kolonial dan sekadar ingin memperpanjang kedudukannya di pribumi. Dalam cara pandangnya bedasar aspek keagamaan, semua manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan. Tidak ada manusia yang superior diantara manusia yang lain. Kekuasaan dominan, baik kolonial asing maupun elite feodal-lokal, harus diakhiri. Kemerdekaan adalah medan tanpa kekuatan penjajah yang menindas rakyat. Sikap Misbach ini menarik perhatian kita karena ia semasa kecil berada di lingkungan pejabat keagamaan kraton di Surakarta.
Teks-teks yang tersaji dalam buku ini juga dapat mendorong kita untuk berusaha melampaui pelabelan simplistis atas dirinya yang sekian lama dianggap sebagai “Haji Komunis” belaka. Ia adalah pejuang sejati yang menolak penindasan, darimana pun penindasan itu bermula.
Belum ada tanggapan.