Di kalangan islam, nama Ibn Arabi bukanlah nama yang asing. Meski demikian, karya Ibn Arabi dan pemikirannya di Indonesia belum banyak dikenal. Buku karya Haidar Bagir bertajuk Semesta Cinta (2015) ini adalah buku yang berusaha dan berupaya memberikan pengantar singkat pemikiran Ibn Arabi. Sebagaimana dituliskan penulis dalam pengantarnya, bahwa buku ini hanyalah sebuah peta,sementara yang lain gambar panoramik. Dua-duanya tidak menggambar detail apa yang hendak ditunjukkannya (h.17). Hal ini wajar karena karya Ibnu Arabi tak sepenuhnya menggunakan bahasa yang lugas, tetapi lebih berupa simbolik dan luas.
Ibn Arabi lahir di Murcia Spanyol di tahun 1165 dan meninggal di tahun 1240. Sebagai intelektual dan ulama islam terkemuka, Ibn Arabi dikenal telah melahirkan 363 buku dan risalah. Salah satu karya terkemukanya adalah Al Futuhat Al Makkiyyah (penyingkapan –penyingkapan di Mekkah) Fushush Al Hikam (permata-permata kebijaksanaan) dan Syajarah Al-Kaun (kosmologi khazanah simbolisme Al-qur’an).
Pemikiran dan karya Ibnu Arabi dinilai sebagai suatu tafsir sufistik atas Al-qur’an dan hadist. Dengan kata lain Ibnu Arabi selalu berupaya mendasarkan pemikirannya pada dua sumber asasi ajaran islam ini (h.22). Hal ini penting, sebab sampai sekarang bahkan ada yang menganggap bahwa Ibnu Arabi sebagai seorang yang kontroversial bahkan kafir. Beberapa diantara kontroversi pemikiran Arabi adalah tentang diterimanya taubat fir’aun berkat kasih sayang Tuhan misalnya, yang banyak disalahartikan.
Buku ini juga memuat tulisan Ibnu Arabi yang berjudul Hal Pertama Apa Yang Seharusnya Diyakini dan Dilakukan Penempuh Jalan Sufi. Dengan membacanya, kita akan mengalami pengalaman membaca pemikiran dan pesan sufistik Ibn Arabi. Di dalam risalah ini pula kita akan menemukan bahwa jalan pemikiran Ibnu Arabi adalah jalan pemikiran yang berlandaskan syariah. Kita bisa mengutip kalimatnya dalam buku ini: “jalan kebahagiaan adalah yang dihamparkan oleh syariah, tidak oleh yang lain, tanpa syariah, seorang pejalan tasawuf akan terus berenang di samudera ambiguitas tanpa batas (h.126).
Haidar Bagir juga mengajak kita untuk mengenali bagaimana perkembangan pemikiran islam yang bersifat panteistik (tauhid wujudi) yang ada di Indonesia. Di nusantara terekam antara lain dalam Serat Cebolek yang digubah oleh Raden Ngabehi Yasadipura I, pujangga Surakarta yang hidup pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749M) dan Pakubuwana III (1749-1788M) serta Serat Centhini yang disusun sekitar 1814 M ataupun Wulangreh karya Pakubuwana IV (1768-1820M). Beberapa tokoh lain adalah Ki Ageng Suryomentaram putra Sultan Hamengku Buwono VII, dan Pangeran Diponegoro (h.113).
Penulis membuat garis merah bahwa gagasan dan pemikiran Ibn Arabi merujuk pada tafsir atas cinta. Sehingga di bab akhir kita akan menemukan kesimpulan penulis yang mengutip kalimat Ibn Arabi: Sesungguhnya tujuan satu-satunya penciptaan alam semesta oleh Allah adalah untuk memberikan kebahagiaan sejati kepada manusia, dalam bentuk pencapaian kesempurnaan hidup (h.287).
Sang Arif ini pun menyeru kepada kita “manusia memang membutuhkan ilmu yang mengurusi benar-salah, tentu juga moral yang mengurusi baik-buruk, tapi suatu kehidupan yang membahagiakan hanya bisa dikembangkan jika tabiat manusia yang penuh cinta dan rindu pada keindahan sejati terpuasi.”
Membaca buku ini bukan hanya membuat kita semakin takjub terhadap Rahman dan Rahim-Nya, sebagai pusat cinta, tetapi juga membuat kita mengalami pengalaman membaca dan memahami sedikit dari pemikiran ulama besar ini. Melalui buku ini penulis tak hanya mengenalkan Ibnu Arabi beserta karya-karyanya, tetapi juga memberikan kutipan dari karya Arabi berupa risalah do’a-do’a harian yang bisa kita amalkan bersama.
*)Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat SOLO, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.