Sukarno dengan kutipan khasnya yang dibawakan pembawa acara seminar-seminar kepemudaan bilang, “Beri aku 1000 orang tua maka aku cabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda untuk menguncang dunia”. Anies Baswedan pun bilang, “Anak muda memang minim pengalaman, karena itu ia tak tawarkan masa lalu. Anak muda menawarkan masa depan !”
Nah, yang jadi pertanyaan di sini adalah, sebetulnya kita kaum muda menawarkan apa untuk masa depan yang bahkan mengguncang dunia ? Dan tawaran yang seperti apa yang diagung-agungkan kaum muda? Sebetulnya juga kapan tawaran itu muncul dan kapan akan terkikis oleh seiring berjalannya umur ? Ah mungkin itu hanya sebuah majas hiperbola dari orang tua yang baru senang melihat anaknya mengalami pubertas !
Belakangan ini saya bising dengan kata-kata “Sukses Muda” dan “Masa Muda yang Sukses”. Sebetulnya apasih yang menjadi indikator dalam kesuksesan masa muda? Rajin belajar, Usaha Lancar, Nurut orang tua, atau jangan-jangan kita patuh dengan semua yang ada lantas kita menikmati hasilnya lalu dikatakan sukses ? Wah mungkin agaknya Tuhan menciptakan robot jika demikian bukan manusia yang punya naluri dan hasrat.
Sedikit apa yang diceritakan Puthut EA dalam bukunya itu, saya menganggap bahwa sukses itu nomer 2 yang penting bisa mencicipi kebebasan yang bersifat fana di masa muda. Toh, tidak banyak mereka yang sekarang ini sudah tua dan kaya raya itu menikmati masa mudanya dulu, apalagi mempunyai sahabat-sahabat yang gila yang di dunia ini hanya 1 : 1juta teman. Mereka yang menganggap dirinya sukses karena jerih payahnya di masa muda seakan lupa jika ada sejumput surga kebebasan yang bisa dinikmati kaum muda. Hidup bebas, hidup jauh dari aturan dan orang tua. Orang – orang yang seperti inilah yang nantinya banyak cerita atau ingatan di masa muda mulai darih senang sedih hingga konyol dan bodoh. Karena ia sadar, memori tak akan bisa dibeli sedangkan uang suatu saat akan habis dan tidak berguna dibandingkan cerita-cerita masa muda.
Akhirnya buku ini agaknya bisa melegakan saya yang notabene mencari kebebasan waktu masa muda. Dan saya tidak akan menyarankan bagi mereka yang masa mudanya diisi dengan kegiatan – kegiatan yang monoton tidak membaca buku ini, karena jika membacanya saudara-saudara akan mencemooh si Puthut dan kawan-kawannya. Karena naluri empati kalian sudah mati semenjak muda bung !
Bagi mereka yang hendak mengalami dan ingin mencoba atau sekedar mengangguk-angguk kepala karena pernah mengalami peristiwa dengan Puthut yang ada dalam bukunya ini, agaknya menjadikan buku ini sebagai refleksi atau perenungan seseorang agar mengambil pelajaran dari setiap apa yang terjadi. Salah satunya ketika sahabatnya bagor yang suka ndrawasi kalau bicara mungkin pembaca bisa mengkontekskan tentang kehidupan pembaca itu sendiri bahwa segala sesuatu tidak bisa langsung diterima dengan telinga dan di iyakan lewat mulut. Lewat si Bagor inilah yang nantinya pembaca di bawa kepada suatu momen dimana ketika ada rangsangan dari luar, itu merupakan sebuah awal dari proses dialektika yang nantinya seakan – akan kita mengerjakan soal logika dalam tes SBMPTN yang seringkali kita sulit membadakan mana yang premis mana yang bukan.
Tidak hanya bagor, teman Puthut yang kini telah mendapat gelar almarhum juga memberi nilai kehidupan kita bahwa orang tua dan harta fana, sahabat beserta kenangannyalah yang abadi. Membaca buku ini juga merupakan sesuatu autokritik bagi saya, karena buku ini mengajarkan kebebasan bisa di raih selagi kita melewati masa muda. Ya, seperti contohnya mereka bebas dari sekad pembatas antara yang kaya miskin, jurusan sastra filsafat dsb dan bebas dari pengaruh orang tua serta bebas tidak mau tau mengenai aturan yang ada. Hal yang tidak akan bisa kita lewati jika kita tidak melewati masa muda.
Puthut sendiri pun dalam hal ini menyampaikan kisah kegilaannya sewaktu muda dengan sahabatnya dengan penuh emosi, keberaniaan, serta bahasa –bahasa yang hanya melekat pada persahabatan yang erat bisa dibaca dengan gambling disini. Hal yang membuat pembaca bisa berimajinasi seakan menyaksikan kebodohan para kaum muda yang tak mau melewatakan proses seumur hidup yang mereka anggap bahagia.
Terakhir, jika kita tidak bicara keberuntungan dan hasil yang didapat Puthut EA dkk sekarang, kita mungkin agaknya akan mempertimbangkan ; hidup layaknya pemuda, atau hidup layaknya bajingan. Entah mana yang dibutuhkan oleh soekarno dan bangsa. Yang jelas, setiap manusi itu unik dan setiap keunikan pasti mempunyai sejarah tersendiri. Dan perlu dicatat bahwasannya sahabat –sahabat didik kini ada yang mendapat jabatan penting di BUMN, perusahaan swasta, pengusaha dsb sedangkan Puthut sendiri kini mendeklarasikan diri sebagai penulis. Jadi, pertanyaannya, masih mau melewatkan masa mudamu dengan mematuhi dogma –dogma yang kamu ketahui ? ketahuilah, Albert Camus bilang, “Aku memberontak, maka aku ada !”.
Belum ada tanggapan.