Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Seringkali kita memandang, bahwa kehebatan cerita terdapat pada dalamnya pesan atau makna yang ada di dalamnya. Tetapi pada kenyataannya, kehebatan cerita tak hanya ditentukan oleh dalamnya pesan, tetapi juga karena kelihaian pengarang membawa kita kepada dunia yang musykil, dunia yang susah kita percaya. Saat itulah kita menemukan ada perasaan penasaran, keterpukauan kepada cerita.
Melalui buku Negeri Senja, Seno Gumira Ajidarma benar-benar menunjukkan sebagai seorang pencerita yang ulung meski dengan kerendahan hatinya ia justru menampik pendapat itu. Kita bisa simak bagaimana ia menampik pendapat tersebut di novel ini : “Maklumlah aku bukan seorang penulis berbakat, bukan pencerita yang memikat, dan sangat tidak mempunyai kemampuan menggambarkan segalanya dengan tepat. Namun meskipun aku hanyalah seorang musafir lata, aku tetap ingin mencatat pengalaman, barangkali saja dikau akan membacanya suatu ketika di suatu tempat entah kapan” (h.128).
SGA sengaja membawa kita kepada dunia yang ada dalam pikirannya, tanpa fakta sedikitpun. Karena itulah, ia begitu betah berkisah kepada kedua sosok Alina dan Maneka. Kita pun tak mengerti dan tak mendapat penjelasan lebih terang mengenai dua tokoh ini. Tetapi kita bisa berandai-andai, bahwa seolah-olah Alina dan Maneka itu adalah kita, pembaca novelnya. Dunia cerita yang dibangun di novel ini memang tampak benar sebagai dunia yang nyata. Ada kehidupan para tokoh, ada kisah dan ilustrasi mengenai penguasa dan pengembara, sampai kepada para pemberontak yang ingin berebut kekuasaan.
Negeri senja seperti lanskap yang tak utuh dari imajinasi pengarang. Negeri senja memang tak membawa kita kepada konflik besar sebagaimana yang dikisahkan di buku ini antara penguasa negeri senja (Tirana) dengan para pemberontak seperti komplotan pisau belati atau rajawali muda. Tokoh dan cerita itu hanya dibantah dengan kalimat pendek yang ditulis SGA sendiri dengan mengatakan “konon, dan memang hanya konon”.
Bila Negeri Senja digerakkan oleh pikiran dan khayalan pencerita, bagaimana kita akan mempercayai kisah yang ada di dalamnya? SGA seperti sudah menyadari pertanyaan-pertanyaan pelik dari pembaca. Ia menjawab singkat di dalam buku ini dengan menuliskan kalimat pendek : Negeri senja adalah negeri yang sulit diterima akal, negeri ini seperti puisi, hanya bisa difahami jika dihayati (h. 83).
Melalui pengisahan tentang Negeri Senja yang konon penuh dengan kejahatan, kemiskinan dan penindasan. SGA membuat sebuah metafora kecil mengenai pencarian tentang senja dengan pencarian kebenaran. Di novel ini, pengembara sang tokoh utama dikisahkan sebagai seorang yang tak betah berada di satu tempat, ia kerap mengembara dan tak tinggal lama, tetapi di Negeri Senja, sang pengembara memiliki kesan lain. Kita bisa menyimak pengakuan sang tokoh utama melalui kalimat berikut : Aku sudah lama mengembara dan aku sudah menjelajahi berbagai sudut bumi untuk mempertimbangkan senja, dan aku tahu serumit itulah pertanyaan tentang kebenaran (h.35).
Ilustrasi dan gambar yang ada di novel ini hanya membantu kita menemukan gambaran tentang tokoh dan karakter yang ada di novel ini. Tetapi gambaran para tokoh itu tak sepenuhnya mampu mengungkap misteri Negeri Senja yang dikisahkan oleh SGA. Negeri Senja seolah hanyalah sebuah dunia rekaan yang murni dibangun dari imajinasi pengarang. Kisah ini seperti sebuah metafora kecil dari seorang pengembara yang menghindari kesedihan dengan mengembara.
Negeri Senja adalah sebuah metafiksi yang ada dalam dunia imajinasi SGA. Kita dibuat hanyut dan masuk ke dalam ceritanya. Kita tak hendak berpretensi dan mengurusi makna yang ada di balik kisah itu. Kita seolah dibuat menjadi kanak-kanak yang mendengarkan cerita. Melalui novel Negeri Senja itulah, kita diajak untuk menyimak baik-baik cerita dari pengarang.
*)Penulis adalah Pengasuh MIM PK Kartasura, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.