Namaku Silvya. Silvya Serlianty Cahyani. Ibuku seorang single parent yang hebat, perempuan yang sangat kukagumi. Ayahku, menurut pengakuan ibu, seorang pria hitam manis dengan bola mata seteduh telaga.
Kedua orang tuaku lahir dan dibesarkan di sebuah kampung kecil di pedalaman Manggarai Timur. Tahun sembilan belas sembilan puluh satu, ketika menginjak masa awal dewasa, keduanya jatuh cinta, bermesraan, lalu lahirlah aku.
Ibu bilang, aku adalah buah cinta orang-orang bebas, bebas dari belenggu adat-istiadat dan kerumitan aturan perkawinan Gereja. Bagi orang-orang sekampung, aku ini aib, gadis beraib ganda. Terlahir di luar perkawinan Gereja, buah dari inses. Ayah dan ibuku sepupu dekat. Dalam aturan adat kami, sebenarnya ayah tidak boleh mengambil ibu sebagai isteri.
Belum genap setahun umurku, ayah dan ibu diusir secara adat dari kampung halaman. Demi melindungi kampung dari amarah leluhur, ayah dan ibu tidak diperkenankan untuk kembali dan dilarang bersua lagi dalam situasi apapun.
Begitulah. Ayah diusir ke arah matahari terbenam. Terakhir kudengar dari ibu, ayah tinggal di Labuan Bajo dan menikah tiga tahun kemudian. Ibu dan aku, yang saat itu masih balita, mengembara menuju matahari terbit. Maka tibalah kami di kota ini, kota terindah yang pernah kulihat. Maumere of Flores.
Di kota ini aku dibesarkan oleh seorang ibu yang hebat. Berawal dari nol, ibu membangun sebuah keluarga yang nyaris sempurna. Kami berdua bahagia, berlimpah dalam cinta, mapan secara ekonomi. Dua puluh enam tahun adalah waktu yang dia butuhkan untuk membangun semua ini. Termasuk mendidik dan membesarkan anak tunggalnya menjadi seorang perempuan dewasa yang sudah siap mengepakkan sayap.
Setelah menyelesaikan S1 fisika di salah satu perguruan tinggi di kota ini, aku diterima mengajar di salah satu Sekolah Menengah Atas di pusat kota. Hari-hariku dipenuhi kesibukan sebagai seorang ibu guru muda. Aku mencintai profesiku, rekan-rekan guru, dan anak-anak didik. Aku mencintai sekolah ini, aku mencintai hidupku.
Di sekolah inilah kisahku bermula. Tentang dia yang membawaku pada tujuan yang dikejar-kejar semua manusia. Bahagia.
“Selamat siang.”
“Siang.”
“Ibu guru baru?”
“Iya.”
“Tinggal di mana, bu?”
“Pasar Bongkar.”
“Kebetulan satu arah. Mau numpang?”
“Tidak. Terima kasih.” Aku tersenyum, menggoyang-goyangkan kunci kontak motor matic yang kugenggam dengan tangan kananku.
“Oh. Duluan, ya.”
Hari itu, hari pertamaku mengajar. Segala sesuatu berjalan dengan baik dan menyenangkan. Guru-guru seniorku begitu ramah dan bersahabat. Atmosfer ruang kelas hangat dan nyaman. Matahari bersinar cerah, angin laut menghembus, sejuk.
Hari itu aku melihatnya untuk pertama kali. Dia bilang jalan pulang kami satu arah dan dia menawarkan tumpangan. Belakangan aku tahu dia tinggal satu blok lebih jauh. Dia juga guru baru di sekolah ini, satu bulan lebih dahulu dariku. Namanya Mario, guru bahasa dan sastra Indonesia.
Berbulan-bulan kemudian, kami merasa begitu akrab satu sama lain. Sebagai guru muda, banyak waktu kami lewatkan bersama dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler bersama anak-anak. Dia baik, hangat, bertanggungjawab dan penuh pengertian. Sebagai teman seprofesi, bagiku dia seorang rekan kerja yang baik.
“Saya dengar, ibu berdarah Manggarai.”
“Jangan panggil saya dengan sebutan ibu. Tolong.”
“Kenapa?”
“Sama sekali tidak terdengar akrab.”
“Oh.”
“Ayah ibuku orang Manggarai Timur. Bertahun-tahun lalu kami berpindah, menetap dan menjadi warga kota Maumere.” Ketika mengatakan itu, muncul ketakutan yang aneh dari kedalaman hatiku.
“Saya juga orang Manggarai.”
“Saya tahu.”
“Tahu dari?”
“Logat.”
“Hahaha sial.”
Masih segar dalam ingatanku tentang sore itu, sore yang segar di pertengahan bulan ke lima aku mengajar di sekolah ini. Dia mengundangku makan malam di Nian Tanah, sebuah rumah makan high class yang terletak kira-kira sepuluh kilometer arah barat kota. Kuputuskan menerima undangannya itu dengan satu kali anggukan kepala dan sebuah senyuman.
“Sedang merayakan sesuatu?” Tanyaku penasaran.
“Tidak. Sekali-sekali bolehkan, makan malam di luar?”
Aku ber-Oh sambil tersenyum mengiyakan.
“Saya jemput enu jam enam tiga puluh, oke?”
“Oke.”
Dia menyiapkan makan malam romantis dengan lilin-lilin merah menyala hangat. Sedikit pengalaman memberitahuku bahwa Mario adalah seorang pria melankolis sempurna. Dia menyiapkan segala sesuatu dengan sangat baik dan membenci ketidakteraturan. Makanya saya sama sekali tidak heran dengan makan malam yang terasa sangat istimewa dan sempurna ini.
Kami berbicara tentang banyak hal, mulai dari obrolan-obrolan ringan tentang rutinitas sekolah, suka duka menjadi guru honorer, Labuan Bajo dengan alamnya yang indah, Maumere yang istimewa, sampai pada percakapan-percakapan hangat sepasang pria dan wanita.
“Enu…”
“Iya…”
“Coba senyum?”
Ada dorongan spontan dari dalam hatiku untuk tersenyum. Aku tersenyum, sebuah senyuman paling tulus yang pernah kuberi. Entah mengapa, rasa bahagia yang tidak kukenali meletup-letup dalam dada. Sebuah guntur gemuruh yang teramat asing, kilatan cahaya yang menyilaukan kesadaran. Aku tersenyum dan aku tahu itu senyum tertulusku.
“Molas…”
“Hahaha gombal…”
“Enu tahu tidak, apa beda molas dan cantik?”
“Saya kira keduanya sama…”
“Tidak. Keduanya tidak sama.”
“Apa bedanya?”
“Level kecantikan yang didefinisikan oleh kata molas berada beberapa tingkat di atas tingkatan kecantikan yang ada dalam batasan kata cantik menurut kamus bahasa Indonesia.”
“Hussss ilmiah sekali.”
“Hahaha ‘yang molas’ jauh lebih cantik dari yang sekedar cantik.”
“Jadi?”
“Kata cantik tidak cukup menjelaskan kecantikannya enu. Harus gunakan kata molas.”
“Oh…”
“Dan molas itu hanya milik enu-enu Manggarai.”
“Hahaha dasar guru bahasa Indonesia.”
Dia menggenggam kedua tanganku. Dengan cara yang hampir ajaib, pandangan kedua bola matanya jatuh tepat di kedua mataku. Jika saat itu diperkenankan berpendapat, saya akan bilang bahwa itu adalah kedua bola mata terindah yang pernah kulihat. Teduh, menenangkan dan sedikit membuatku mabuk. Ada sesuatu di sana, semacam kenyamanan yang sama sekali tidak asing, kenyamanan yang sangat dekat, hangat dan menentramkan. Saat itu aku membeku, menanti kata-kata yang akan meluncur dari mulutnya.
“Enu… Ada kenyamanan yang tidak dapat kupahami ketika aku berada dekatmu. Secepat cahaya, hatiku terpaut padamu, dengan cara yang sedikit mustahil. Entah mengapa pada sua pertama, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa kau begitu tidak asing bagiku. Aku merasa kita begitu dekat. Aku benar-benar mengenalmu, pernah mencintaimu, pada waktu dan tempat yang sama sekali berbeda. Pada pandangan pertama, hatiku langsung jatuh mencintaimu. Enu, bolehkah aku tinggal di suatu tempat di hatimu, sebagai seorang kekasih?”
Saat itu aku merasa seperti telah berbulan-bulan terkunci dalam kotak es. Beku. Walaupun sudah kuduga bahwa ini akan terjadi, aku merasa belum siap menghadapinya. Apa yang dia utarakan barusan, juga kurasakan. Aku merasakan kenyamanan yang sama. Namun di sinilah aku mematung, terpaku pada kedua bola matanya yang begitu teduh.
“Beri aku waktu seminggu.” Akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulutku.
“Oke, akan kutunggu. Kamu suka warna apa?”
“Biru. Tapi kalau menyangkut pakayan, aku suka perpaduan hitam-biru laut.”
“Warna yang paling kamu tidak sukai?”
“Merah.”
“Hari Sabtu depan beri aku jawaban. Jika jawabannya adalah iya, kenakan perpaduan hitam-biru laut dan jika tidak, kenakan baju merah, oke?”
“Oke.”
Malam itu dia mengantarku pulang. Masuk rumah, memberi salam pada mama, mengucapkan terima kasih lalu pergi. Anaknya baik, kata mama sambil memelukku dan berbisik, “Kamu sudah dewasa, sayang.” Aku mengucapkan selamat malam pada mama, mengecup keningnya lalu masuk kamar. Telepon genggamku bergetar. Pesan masuk dari Mario.
“Selamat tidur, sayang. Amapu benjer.”
Keesokkan harinya aku bangun seperti biasa. Melakukan rutinitas harian, pergi sekolah, mengajar, pulang, masak untuk mama, belanja di pasar, jalan-jalan, mandi, siapkan materi mengajar, doa malam lalu kemudian terlelap dalam tidur.
Di akhir pekan, dengan penuh rasa percaya diri seorang wanita dewasa aku pergi sekolah mengenakan baju yang paling kusukai, perpaduan warna hitam-biru laut. Aku tahu, aku telah jatuh cinta pada seorang lelaki.
***
Dua tahun berlalu sejak malam di Nian Tanah itu. Segala sesuatu berjalan seperti biasa, sebagaimana pasangan kekasih pada umumnya. Ada bahagia, canda, ciuman, tawa, tangis, amarah, sedih, kadang luka, tentram, nyaman. Sering kami habiskan waktu berdua, menyanyi, bercerita dan berbahagia. Kadang ada perbedaan pendapat, ada pertengkaran yang berakhir dengan pelukan hangat dalam kata maaf. Semua itu kami jalani demi sebuah proses pengenalan satu sama lain.
Aku mencintainya begitu rupa. Setiap hari aku bangun dengan keinginan memeluknya hingga senja berlalu. Dan ketika malam datang selalu ada kerinduan menyediakan makan malam romantis dengan lilin-lilin merah yang hangat. Kadang aku berimajinasi tentang rumah sederhana yang kami bangun di pinggir pantai, tinggal berdua, bertiga dengan laut yang selalu cemburu. Aku selalu membayangkan dia terlelap di sampingku, dan sebelum dia benar-benar dibuai mimpi-mimpinya sendiri, aku ingin menyelimutinya dengan kecupan kening yang menentramkan dan membisikkan cinta ke telinganya. “Tidurlah sayang, Amapu benjer.”
Pada suatu sore yang segar dia mengajakku pergi ke Taman Doa Nilo. Di hadapan Sang Ibu Agung kami bertelut dalam doa yang hening. Sepanjang doa dia menggenggam tanganku begitu erat, seakan ini adalah sebuah genggaman perpisahan.
“Apa intensimu?” dia berbisik lirih.
“Biarkan hanya Tuhan dan aku yang tahu.”
“Silvya…”
“Iya, Na…”
“Kamu harus tahu ini.”
“Apa?”
“Kamu adalah nama yang selalu kubicarakan dengan Tuhan dalam doa.”
Sesuatu berdesir dalam darahku. Jantungku bergetar hebat. Dengan manja, kucubit lengannya, mesra. Kulihat dia tersenyum penuh kemenangan. Aku bahagia.
“Maukah engkau menjadi isteriku?” Dia begitu tiba-tiba, spontan dan tak tertebak. Hampir saja aku membeku, sekali lagi. Namun kali ini aku sudah siap, benar-benar siap.
“Na…Aku mencintaimu. Aku tidak memiliki alasan untuk berpaling.”
“Terima kasih sayang.”
Dia memelukku erat. Kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku. Kami berpelukan begitu lama, merasakan getaran cinta yang mengguncang hati kami masing-masing. Aku nyaman, sungguh nyaman. Poros dunia seakan berhenti berputar, waktu enggan beranjak. Semuanya terasa abadi. Ingin aku tinggal selamanya dalam dekapannya yang nyaman.
“Minggu depan ayah datang bertemu keluargamu.”
“Iya, akan kuberitahu mama.”
Benar kata Kitab Genesis, tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Dia membutuhkan penolong yang sepadan. Aku merasa, untuk itulah aku diciptakan, sebuah takdir yang akan selalu kusyukuri. Bagiku dia adalah hadiah terindah Tuhan. Aku mencintainya dengan seluruh keutuhan diriku sebagai seorang wanita.
Seminggu kemudian, dia dan ayahnya datang hendak melamarku di depan ibu. Aku masih ingat baik segala sesuatu yang terjadi pada malam ketika mereka datang. Mereka tiba pukul 07. 31. Hujan mengguyur kota Maumere tanpa ampun. Jalanan sepih, orang-orang enggan beraktivitas di bawah hujan. Mereka lebih memilih diam di rumah dan menikmati kehangatan bersama keluarga.
Ketika mereka memasuki rumah, aku sudah menunggu di ruang tamu, sementara ibu berada di dapur.
“Selamat sore,”
“Mari om, silahkan duduk.” Keduanya duduk di ruang tamu.
Tidak lama berselang, ibu masuk ke ruang tamu. Sebelum sempat duduk, tiba-tiba dia mematung di sampingku dengan muka sepucat kapas. Ayah Mario juga berdiri dengan kekagetan yang tak mampu kugambarkan. Mukanya juga sepucat kapas.
Sebelum sempat bertanya mengapa, tiba-tiba suatu kesadaran yang aneh muncul dari dalam pikiranku. Aku merasa mengenal laki-laki ini. Dialah orang yang sering diceritakan ibu, seorang pria hitam manis dengan mata seteduh telaga. Ayahku.
Keterangan:
Enu: Panggilan untuk Nona Mangggarai
Na: Berasal dari kata Nana, panggilan untuk anak laki-laki Manggarai. Na populer di antara sepasang kekasih, panggilan kesayangan seorang perempuan untuk kekasihnya
Amapu benjer : Tuhan memberkati
Molas : Cantik
Tommy Duang, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere. Tinggal di Nitapleat
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.