Pendidikan selalu menjadi wacana menarik untuk terus dibicarakan. Itu pertanda bidang ini memiliki peran yang cukup penting dalam sejarah peradaban umat manusia. Mungkin saja ini dikarenakan sifat pendidikan yang cair. Cair dalam artian dia selalu mengikuti bentuk wadah tinggalnya. Sehingga pendidikan selalu menuntut pembaruan terus-menerus.
Buku ini ditulis oleh Stanislaus Kostka Sularto (St. Sularto). Beliau lahir di Bantul, Yogyakarta, 11 November 1951. Ia meniti jalan hidupnya sebagai penjual berita di harian Kompas sejak Februari 1977. Saat ini, pria yang menamatkan kuliahnya di STF Driyarkara pada 1985 menjabat sebagai wakil Pemimpin Umum Kompas.
Sudah banyak karya tulis yang dimunculkannya. Buku teranyarnya diluncurkan di Hotel Santika Premiere, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (13/5/2016) bertajuk, “Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas”. Acara perilisan buku itu dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, diantaranya mantan menteri pendidikan Indonesia, Anis Baswedan dan Daoed Joesoef. Dua tokoh yang disebut terakhir juga memberi kata pengantar dan sambutan di buku ini.
Buku setebal 256 halaman ini diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Sampulnya yang berwarna biru muda, membuat buku ini sejuk dipandang. Apalagi dibumbui sketsa wajah tiga pelopor dunia pendidikan Indonesia seraya mengantar pembacanya kepada seluruh isi buku.
Bacaan ini bercerita tentang tiga tokoh pemrakarsa pendidikan bagi rakyat bumiputra pada masa pendudukan Belanda. Mereka adalah Willem Iskander (1840-1876), Ki Hajar Dewantara (1889-1959), dan Engku Mohammad Syafei (1893-1969). Walau dipisah oleh tempat, uniknya, mereka senada dalam imaji tentang pendidikan.
Irisan dari gerak pendidikan yang mereka canangkan disimpulkan lewat tiga kata, yaitu kemandirian, kebebasan, dan kemartabatan. Pendidikan di tangan mereka adalah kendaraan perjuangan. Ujung dari pembelajaran adalah membarui situasi kemasyarakatan. Bagi ketiga perintis pendidikan pribumi ini, pengerjaan pendidikan harus selalu bersinggungan dengan keadaan khayalak banyak. Artinya ada tanggung jawab untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Pendidikan tidak semata dilihat untuk kepentingan diri sendiri. Sebaliknya, ada kewajiban besar di balik itu. Usaha mencerdaskan dipandang juga sebagai usaha pembebasan dan pemeradaban manusia. Kemandirian, baik sebagai makhluk perseorangan dan kemasyarakatan, adalah tujuan akhir dari kegiatan belajar.
Keadaan umum yang mereka hadapi adalah penjajahan Belanda. Kita semua tahu, penguasaan Belanda atas Indonesia mendatangkan banyak derita bagi rakyat Indonesia. Di seluruh bumi Nusantara, kepapaan menjadi pemandangan lumrah. Kemelaratan seolah sesuatu yang lazim dijumpai. Jerit rintih kelaparan seolah tembang yang acap didengar. Getirnya kesengsaraan rakyat inilah yang melatari perjuangan ketiga tokoh pendidikan Indonesia ini. Untuk mengentaskan permasalahan ini, maka pendidikan digunakan sebagai alat perjuangan.
Karya tulis ini sangat cocok untuk direnungkan jika melihat keadaan dunia pendidikan sekarang. Adalah rahasia umum jika sekolah sekarang ini sudah “bersih” dari rasa tanggung jawab pada masalah kemasyarakatan. Banyak lembaga pendidikan dibuat tak lebih hanya untuk kepentingan niaga. Pendidikan sekarang ini diperlakukan bak barang dagang. Semua tentang uang. Jadi tak heran rasanya jika banyak sekolah menawarkan rancangan belajar “cepat lulus” dan “cepat kerja” – pendidikan cepat saji. Di era persaingan sengit seperti sekarang, jarang menemukan lembaga pendidikan yang memiliki tanggung jawab pada kesejahteraan rakyat. Semua seolah sedang bergerak demi pemuasan nafsu pribadi.
Di tengah keadaan ini, setidaknya buku ini sebagai pengingat kemana seharusnya kiblat dunia pendidikan. Usaha untuk mencerdaskan rakyat pribumi awalnya ditujukan untuk usaha pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan, bukan sebaliknya. Lihat saja mahalnya biaya sekolah hari ini. Ongkosnya mencekik leher banyak orang tua siswa. Atau beban belajar yang ditanggungkan kepada para pelajar justru membuat kejiwaannya tertekan. Belajar, buat mereka, bukan lagi seperti di taman yang menyenangkan dan membahagiakan, seperti yang diidamkan Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya.
Karena ditulis dengan gaya wartawan, buku ini sangatlah kaku. Bahasa yang digunakan untuk memaparkan data sejarah sangatlah dingin. Akibatnya mudah diduga. Khususnya bagi mereka yang tidak tertarik bagi dunia pendidikan, buku ini akan terasa membosankan.
Tapi, data-data yang disampaikannya sangatlah akurat karena disertai dengan beberapa bukti, berupa gambar dan arsip-arsip penting. Penyelidikan yang dilakukan untuk menapak tilas sejarah ketiga tokoh ini kelihatannya dilakukan dengan menunjung tata aturan kewartawanan. Itu terlihat dari nara sumber yang diwawancarai sangat berimbang.
Yang paling menarik adalah disediakannya penilaian penulis terhadap bukti-bukti sejarah yang tersedia. Penilaiannya dikaitkannya terhadap teori dan penyelenggaraan pendidikan masa kini. Setidaknya ini membantu pembaca untuk memahami isi buku secara keseluruhan.
Pendidikan memang harus bergumul dengan keadaan lingkungannya. Dia tidak bisa terpisah dan mengambil dunianya sendiri. Sama seperti artinya, pendidikan harus bisa jadi suluh untuk menuntun manusia menuju pada keadaan yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan harus peka terhadap kebutuhan manusia, baik sebagai perseorangan maupun kemasyarakatan. Pendidikan harus menuntun peradaban menuju kemandirian, kebebasan, dan kemartabatan manusia.
Belum ada tanggapan.