Keluarga dalam masyarakat Tiongkok amat sangat penting. Di Tiongkok, keluarga merupakan kesaksian sebuah riwayat, status sosial hingga menempel pada nama atau yang sering kita kenali sebagai warga. Kedudukan keluarga tak hanya penting berkaitan dengan relasi kepercayaan dan religiositas. Keluarga menentukan bagaimana kelak seorang akan dipertimbangkan di kemudian hari untuk mencapai status sosial, ekonomi, dan politik. Ikatan keluarga seolah menentukan nasib seseorang dalam kehidupan mendatang.
Novel Mimpi Paviliun Merah karya Cao Xueqin ini merupakan novel klasik Tiongkok. Novel ini mengisahkan bagaimana kehidupan keluarga di Paviliun tempat keluarga kerajaan. Cerita diawali dari kisah seorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kerajaan tetapi bernasib kurang mujur. Daiyu, seorang yatim piatu ini harus menghadapi konflik dan ketidakbiasaan dengan gaya hidup kerajaan yang identik dengan bersenang-senang dan kemewahan. Di sana hanya tampak kemewahan yang begitu jauh dari gambaran desa dimana Daiyu sebelumnya tinggal. Daiyu dikisahkan sebagai perempuan yang kerap melampiaskan kesedihan dan kesepiannya melalui puisi. Ia kelak menemukan perasaan bangkit ketika tinggal di Paviliun ini saat melihat Jia Baoyu, lelaki dan pangeran kerajaan.
Kehidupan di Paviliun adalah gambaran bagaimana kehidupan feodalistik dan penuh keningratan muncul. Di Paviliun ini jelas tergambar bagaimana sistem kekeluargaan memainkan peranan yang sangat penting. Disini, kita akan menemukan karakter perempuan yang sering digambarkan rendah dalam masyarakat Tiongkok namun akhirnya digambarkan sebagai sosok perempuan yang ikut berpengaruh dan menentukan dalam kehidupan kerajaan. Ibu Suri misalnya, ia digambarkan sebagai sosok penyayang dan tak mau melihat konflik dan masalah di dalam keluarga dan anak-anaknya. Selain itu, kita juga akan menemukan kisah perempuan seperti Xifeng yang digambarkan sebagai sosok perempuan licik dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Kisah ini diakhiri dengan Jia Baoyu sang pangeran di Paviliun merah yang menjadi pujaan para gadis di Paviliun pada akhirnya memilih menjadi biksu. Jalan menjadi biksu ini seolah menolak anggapan bahwa Jia Baoyu adalah seorang lelaki yang hanya pandai merayu wanita dan menikahi banyak perempuan. Kenyataannya Bao yu justru memilih untuk hidup menjadi seorang yang kelak menemukan makna hidupnya. Sebagaimana syair yang ditulis di kala sebelum ia pergi: Aku tinggal di Puncak Bukit Biru/ Tapi aku menjelajahi kekuatan hampa/ Siapa yang mau menemaniku/ Ketika aku kembali ke Limbah Besar yang Tak Terhingga?. Baoyu yang semula dikisahkan berasal dari Batu Giok seperti kembali ke asalnya sebagai batu pengembara.
Melalui buku Mimpi di Paviliun Merah kita juga mengerti betapa Klan Jia She atau ikatan keluarga menentukan bagaimana pengaruh, kekuasaan baik dari sisi sosial dan politik di Tiongkok. Novel ini mampu memberi gambaran dan karakter perempuan yang rumit dan cerdik. Melalui Daiyu kita akan melihat betapa perempuan dihadirkan sebagai sosok yang lemah namun mampu memberikan pengaruh besar terhadap Baayu. Sedang melalui karakter Xifeng kita bisa mengerti gambaran perempuan sebagai perempuan yang licik dan penuh siasat.
Betapapun gemerlap dan keindahan serta status keluarga yang digambarkan dalam novel ini, membuat kita mengerti bahwa kisah ini seperti mengajarkan kita akan kelicikan, ketamakan dan nafsu membuat manusia tiada berarti apa-apa. Justru dari sebuah batu Giok yang menjelma sebagai Baoyu yang digambarkan feminin dan menjadi pujaan perempuan kita ditunjukkan ada makna hidup yang ingin disampaikan. Bukan sekadar kekuasaan dan gemerlapnya kemewahan, tetapi juga sisi lain dari sebuah seni, cinta dan penghayatan makna hidup.
Novel Mimpi Paviliun Merah juga memberikan potret tentang sebuah keluarga dan klan di Tiongkok di masa itu. Selain penuh dengan persoalan betapa rumitnya konflik internal dalam sebuah klan, novel ini juga memberikan gambaran yang lain peran perempuan dalam keluarga di Tiongkok masa itu.
Belum ada tanggapan.