Kami hidup di sebuah istana, tepatnya istana lintah. Para lintah memperlakukan kami layaknya hewan ternak, setiap hari kami diberi makan tiga kali sehari, tentu saja bukan berupa Spagethi, Pizza, atau Makanan lezat lainnya. Makanan kami hanya nasi putih dan itupun berasal dari beras yang entah dari tahun kapan disimpan di gudang. Mungkin dari tahun kami lahir atau malah dari tahun nenek moyang kami lahir, yang entah berabad lamanya, tentu saja untuk makanan seperti itupun kami harus membayar mahal, memeras keringat, memeras darah, para lintah sering sekali memepekerjakan kami pada para saudagar di negeri seberang, kami menyebutnya negeri kesedihan, sebuah negeri yang tidak akan pernah kami temui keadilan di tanahnya. Di negeri kesedihan kami bekerja keras, ada yang meninggalkan anak, meninggalkan ibu, meninggalkan bapak, meninggalkan suami, meninggalkan istri, meninggalkan kekasih.
Setiap hari para Lintah memandori kami bekerja dan pada saat pembagian upah para lintah mengambil separuh dari upah kami. Tanpa memperdulikan kerja keras kami yang tidak tidur semalaman, bahkan tidak tidur berhari-hari. Selalunya raja lintah BERDALIH “Upah yang saya ambil adalah sebagai bayaran kalian atas makanan dan tempat tinggal selama berada di istana lintah, kalian paham itu!!!!!” tentu saja dengan suara garang, bahkan lebih garang dari ANJING pemburu BABI HUTAN.
Kami tak habis pikir padahal di negeri kesedihan ini pun ada lembaga, bahkan ada sebuah kerajaan yang lebih besar dari istana lintah, dan mereka lebih berkuasa jika dibandingkan dengan penguasa yang ada di istana lintah, namun apa daya kelicikan raja lintah membuat kami seperti sapi perah yang siap dikuliti kapan saja, bahkan tak jarang diantara kami dikirim ke rumah jagal untuk dipenggal jika tidak mau menurut dengan apa yang mereka tuliskan, dalam peraturan, tentu saja peraturan yang hanya ada dan dibuat di istana lintah untuk selalu, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari kami.
“Kami bekerja hampir tidak mendapat istirahat dalam sehari, tapi kenapa upah yang kami terima sangat sedikit jumlahnya” tentu pertanyaan itu hanya terucap dari batin kami, jika sampai raja lintah mendengar desas desus yang akan mengancam istananya, akan dengan mudah dia menyuruh prajuritnya mengambil salah satu dari kami, menculik kami, dan para prajurit lintah tidak segan-segan untuk mencambuk kami, menguliti tubuh kami, para lintah benar-benar telah menghisap darah kami. Sungguh bayaran yang sangat tak sepadan, para lintah mengambil separuh upah kami dan mereka hanya memberi kami makan nasi putih sepa tanpa rasa. “Biadab kau lintah” teriak salah seorang dari kami, tanpa di sangka para prajurit lintah langsung menyeretnya, mencerca, dan mengulitinya di depan kami, sungguh miris, “Ada lagi yang mau coba melawan!!!!” bentakannya sungguh memekakan telinga, “Jika kalian menurut kalian dapat uang, dan jika kalian melawan bersiaplah untuk mati telanjang!!!!” sungguh pedih batin kami, tidak hanya raga kami yang sakit, bahkan hati yang sejak lama terbelit, dan kami tidak pernah tahu, kapan keadilan itu akan datang, masih adakah keadilan untuk manusia-manusia seperti kami, manusia yang sedang berjuang untuk merubah nasib, dan ternyata merubah nasib hanyalah istilah saja selalunya nasib ditentukan oleh yang berkuasa bukan yang bekerja. ”Kalian harus ingat dengan perjanjian yang sudah kalian buat, semua sudah kalian tanda tangani untuk menyerahkan separuh upah yang kalian dapat, jadi jangan coba-coba untuk melawan!!!!!” suasana hening tak ada yang berani membantah ultimatum itu. Wajah-wajah polos tertunduk tanpa daya, dalam istana lintah nyali mereka dipasung dalam lembaran-lembaran bisu yang ditukar dengan nasib mereka, menurut berarti lanjut, membantah berarti binasa.
Dimuat di Majalah Idola (Majalah berbahasa Indonesia di Taiwan) sebagai Juara 3 Lomba Flash Fiction 2013.
yg berkaitan dgn TKW memang miris. tulislah lebih gamblang lagi marina, suaramu bisa menolong mereka