hospital-i-am-in-love

Hospital I’m in Love

“Hati-hati, perhatikan langkahmu.” Aku berteriak sambil menarik pergelangan tangan seorang pasien yang sedang belajar menggerakan kakinya. “Tenang jangan takut, aku di belakangmu, kau tak akan terjatuh.”

Pasienku yang malang sebuah kecelakaan telah mengubah hidupnya, dan kini Ia menghabiskan sisa hidupnya menjadi penunggang kursi roda, apalah daya aku bukan dewa yang bisa menyembuhkan penyakit seseorang, atau menyihirnya untuk bisa kembali berjalan seperti semula, aku hanya seorang therapis, hanya bisa membantunya sebisaku, salah satunya mengajarinya cara berjalan, seperti bayi memang, tapi itulah yang dialaminya, kembali seperti bayi, belajar berjalan, belajar berbicara, bahkan belajar untuk mengenali orang-orang disekitarnya. Jika boleh meminta mungkin ia akan memilih mati saja dari pada hidup degan kesakitan yang entah sampai kapan.

Aku tak pernah tahu kenapa harus memilih pekerjaan ini, “Melelahkan….” Setiap hari hanya berkumpul dengan orang-orang yang mereka sendiri pun tidak tahu berada dimana, tidak tahu nama sendiri, bahkan tak sadar ketika para suster memasukan makanan lewat selang yang dipasang pada hidung mereka. mungkin aku hanya ingin melupakan sesuatu, atau lebih tepatnya lari dari sesuatu yang tak hentinya membuat air di mataku  mengalir, mengalir, dan mengalir.

“Aku lelah”  berhari, berbulan bahkan bertahun kutangisi sesuatu yang telah lama hilang, sesuatu yang selalu kunanti kehadirannya dan tak pernah kupercayai kepergianya.

“Gaza…..” Yah lelaki itu, lelaki yang telah jauh membawa hatiku, lelaki yang tak pernah lagi pulang menjengukku, mereka bilang Gaza tenggelam, mayatnya tak ditemukan, sungguh aku tak percaya, dan tak ingin percaya, Jika memang dia telah pergi maka aku ingin melihat jasadnya, dan pekerjaanku disini membuatku sadar, aku bukanlah manusia termalang di dunia ini, jika dibandingkan dengan keadaan mereka.  Tiba-tiba langkah pasienku terhenti kakinya tak mampu bergerak, sekuat tenaga aku menahan tubuhnya agar tak sampai roboh ke lantai. Tapi tanganku tak cukup kuat untuk menahan berat badannya yang memang melebihi kapasitas tenagaku,

“Bertahanlah, tegakkan kakimu”

Seseorang datang. “Hati-hati!”. dia menyangga pasienku, membantuku memapahnya ke ranjang, kubiarkan ia istirahat untuk sementara waktu. “Terima kasih” Ucapku sambil menundukan kepala. “Rueihan” Ucapnya, mengulurkan tangan “Reina” Kujabat tangannya

Pagi ini langit begitu pekat, memaksa mataku agar lebih hati-hati memegang kemudi, kota masih basah terguyur hujan tadi malam. mobil kuparkir tak jauh dari pintu masuk rumah sakit, seperti biasa kuluangkan 10 menit waktu untuk berdiri di jendela koridor.

“Masih sepi.”  Gumanku dalam hati, langit masih hitam mendung masih menggulung, seakan mentari masih pulas tertidur, enggang menampakkan sinarnya yang ranum.

“Pagi nona”  Seseorang menepuk bahuku

“Ruei…” Tatapku heran, sepagi ini dia sudah datang ke rumah sakit.

“Ini milikmu, kau menjatuhkannya kemarin”

Aku terperanjat, dia meyodorkan selembar foto , tentu saja sangat kukenali foto itu. Tampak gambarku sedang tersenyum manis bersama seseorang, kami terlihat begitu bahagia,  foto itu selalu kubawa kemanapun aku pergi. Selalu kuselipkan pada buku agendaku.

“ Dia kekasihmu?” Sudut matanya yang lancip mengingatkanku pada lancip sudut mata lain, tatapan yang sama, jenis tatapan yang mampu memompa jantungku berdetak lebih cepat, “Iya, dia Gaza kekasihku”  Semoga Ruei tak menangkap kegugupanku.

“Tampan” Sebilas senyum kusunggingkan untuknya.

“Di mana dia sekarang?”, Sambil meneguk segelas capucino bibirnya berucap cakap.

“ Di Surga,” parau, nyaris tak bisa kudengar suaraku sendiri ketika mengucapnya.

“Ough maaf, aku turut prihatin,” Terdengar nada bersalah dari suaranya.

Senyum hambar yang kupaksakan tersungging dari bibir beku miliku. Koridor kembali hening, pertanyaan Ruei seakan menyengat ingatanku pada Gaza,  dekapnya selalu memberi hangat pada kering jiwaku, tatapan mata yang begitu teduh namun mampu menembus dinding hati, bahu yang selalunya menjadi tempat bersandar saat aku terlalu lelah, penat bergelut dengan waktu.

“Sudah jam 9 ayo pasien kita menunggu,” Tanpa berbicara kakiku melangkah ke arah yang sama di belakang Ruei. Sejak hari itu hubungan kami semakin dekat, sifat humoris Ruei lelucon segar yang dia bualkan sedikit bisa mengobati rasa kehilanganku pada Gaza, pendapatnya tentang para pasien, dan dia selalu memanggilku semut kurus. Ada desir aneh ketika tatapannya menembus mataku, sudut matanya yang lancip mengingatkanku pada lancip sudut mata lain, yang sejak hari itu tak lagi bisa kulihat, tatap yang sama yang selalu membuat jantungku riuh bergemuruh, saat pandangan kami tertumbuk, tak dapat kuabadikan retakan-retakan kata yang mencuat dari dinding kepalaku, seakan semua menjadi dimensi yang entah dengan apa dapat kuhitung waktu yang sedang berputar, tak lagi kukenali malam dan dini hari, semua terlihat sama seperti sketsa tanpa warna.

Senja terlihat begitu ranum, sinarnya yang kemerahan membasuh wajahku yang kusut karena lelah bekerja seharian, entah kenapa aku lebih suka menghabiskan waktuku di sini, menikmati senja dari jendela koridor rumah sakit, “Kau sangat suka berdiri di sini, apa yang kau lihat?”  Suara Ruei membuyarkan lamunanku, entah sejak kapan dia berdiri di situ, “Hei kau mengagetkanku, sejak kapan kau berdiri di situ?” aku memekik kecil, Ruei hanya tersenyum menatapku

“Kau belum menjawab pertanyaanku”

“Aku hanya sedang menikmati senja”

Sekilas kuperhatikan wajah Ruei yang berdiri di sampingku. “kau sedang menikmati senja, atau sedang mengenang Gaza?” Aku tersentak, suara Ruei terdengar begitu berat dan tersendat seakan tidak yakin dengan apa yang diucapkannya tadi, tatapannya seakan menyelidik mencari jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Kenapa kau tanyakan itu?”

“Maaf bukan aku mau ikut campur urusanmu, aku hanya tidak ingin kau terus larut dalam kesedihan.” Tatapannya begitu tajam, seakan menghakimi rasa yang tak patut kupelihara. “Apa kau tidak perhatikan, banyak laki-laki yang ingin mendapatkan hatimu, banyak laki-laki yang ingin membahagiakanmu, berhentilah mengutuki dirimu sendiri, berhentilah untuk terus larut dalam kesedihanmu” aku tidak pernah melihat Ruei dalam sosok seperti ini sebelumnya, dia diam sesaat, nampak jelas dia sedang mengendalikan emosinya.

“Dari mana kau tahu?”

“Karena aku laki-laki”

“Lantas?”

Sejenak kulihat Ruei menarik nafas dalam-dalam kemudian berbalik menatap wajahku. “Karena aku laki-laki dan aku mencintaimu, aku ingin membahagiakanmu.” Ucapanya pelan tapi begitu jelas terdengar di telingaku, kali ini aku mematung lama, berusaha mencerna kata-kata Ruei yang rasanya sangat sulit dipercaya. Aku mengulang-ulang kalimat itu dalam hati. Karena aku laki-laki…. dan aku mencintaimu… aku ingin membahagiakanmu. Tidak menyangka Ruei menaruh rasa padaku, aku terpaku, kami hanya terdiam hingga senja berganti malam.

Semenjak hari itu, Ruei menghilang, administrasi bilang dia cuti untuk satu minggu, ada keperluan keluarga yang mendesak, pantas saja aku tak menemukannya di kantin, di ruang theraphy, bahkan di jendela koridor yang biasa kami habiskan untuk menikmati senja, jujur aku mulai kehilangan, apa aku mulai jatuh cinta entahlah, tapi bagaimana dengan Gaza? Tanyaku pada diri sendiri, semua pertanyaan berkecamuk, rasa kehilangan Gaza, kedatangan Ruei, ingin membuka hati untuk Ruei tapi aku masih berharap menemukan Gaza, ingin membuka hati untuk Ruei tapi terlalu takut untuk mencoba, mencoba mencinta semuanya nampak membingungkan.

“Kau tampak lebih gemuk Rein” goda Ruei  padaku setelah beberapa waktu menghilang “Kaupun tanpak lebih kurus, atau bajumu yang terlalu besar” balasku. Ruei tersenyum, dengan lembut dia menatapku. “Perlu banyak energi untuk berfikir bagaimana cara mendapatkan hatimu, sehingga menurunkan berat badanku”, pipiku memerah, kulihat dia menikmati tingkahku yang mulai gugup. Tatapannya kembali menggoyahkan hatiku,  “ Akh… Ruei akupun tak tahu dengan cara apa kita bersatu, bahkan untuk berfikirpun aku tak berani,” waktu menjadi hening, mengiringi semua kegiatan di ruang terapi.

Meski pengap, meski hingar bingar manusia di sekitar kami mampu memekakkan gendang telinga, namun semua senyap ketika kudapati sudut matanya yang lancip selalu mencuri pandang kearahku, saat mata kami beradu tatap, semua menjadi senyap, mendadak orang-orang di sekeliling kami seperti berhenti bergerak, suara gaduh berubah menjadi alunan musik klasik, jelas kutahu rasamu dalam tatap yang selalu memompa jantungku berdegup lebih cepat, dan jelas aku tahu rasa yang kumiliki sama denganmu, tapi aku terlalu pengecut, tak berani mengakui, tak berani bertindak lebih jauh, hanya mampu saling menumbuk tatap, tanpa mampu berjabat erat.

“Hei kau melamun lagi Rein” Ruei menepuk bahuku, membuyarkan lamunanku.

“Ada apa dengan mu?”

“Apakah kau sedang memikirkan Gaza?”

Tatapannya begitu menyudutkanku, mungkin dia benar tidak bisa dipungkiri Gaza masih mengisi hatiku. “Tidak” jawabku sambil menunduk, tak berani membalas tatapnya. “Baiklah akan kutinggalkan kau di sini bersama kenangan Gazamu, aku pergi dulu, sampai jumpa besok,” aku hanya menganggukan kepalaku, kusunggingkan sebias senyum untuk Ruei Kemudian dia membalikan badannya, kupandangi punggung Ruei hingga menghilang di tikungan koridor.

Malam ini bintang begitu banyak di langit pendarnya mengingatkan ku pada Gaza, pada pantai yang merenggutnya. Seakan kejadian itu kembali melintas di mataku. Tawa Gaza dan teriakan Gaza yang membuatku mengutuk diri. Aku mengutuki diriku sendiri pada pulau yang karangnya kau jadikan batu nisan, Gaza tenggelam, ombak membawanya pergi ketika sunami datang, dua tahun silam di Jepang. Aku begitu mencintai Gaza, kepergian Gaza benar-benar membuat jiwaku mati, aku seperti mayat hidup, hingga Ruei datang, tapi ketakutanku akan kehilangan membuatku tak mempunyai nyali untuk membuka hati dan belajar mencintai Ruei.

Sore hari di koridor rumah sakit, seperti biasa kunikmati pemandangan dari jendela koridor. Tampak mentari mulai redup dengan warna merah tembaga. “Kalau sore hari warna matahari jadi bagus yah”. Suara Ruei memecah keheningan, “Senja selalu membuatku terpana” timpalku. Kami kembali terdiam memandang langit yang mulai padam, karena mentari tak lagi terang. “Kau masih memikirkan Gaza?”. Tatap Ruei, seolah meminta kepastian untuk pertanyaannya tempo hari. “Maafkan aku Ruei”.  Ucapku lirihku “Bukan aku tak menyukaimu, tapi aku takut mencintaimu seperti aku mencintai Gaza, dan aku takut ketika rasa itu mulai menjadi, ombak akan membawamu pergi, seperti membawa Gaza dari sisiku, aku takut, sangat takut”. Tak sadar air mataku mulai mengalir, tak dapat kubendung air mata yang sudah lama kutahan, aku menagis….

Ruei merengkuh bahuku, dia memelukku “Menangislah, luapkan asamu Rein, cintailah aku semampumu”. Aku larut dalam pelukan Ruei, malam mulai menyelinap, langit mulai gelap. Ada bait kalimat yang tak dapat kuselesaikan pada paragraf kehidupan. Biarkan waktu yang menjawab apa dan bagaimana, saat ini aku hanya ingin terus berada dalam dekapan Ruei..

Cerpen Hospital I’m in Love ini kutulis untuk almarhumah Bayu Al Gaza, mintalah apapun padaNya kini kau lebih dekat denganNya. Dan untuk Ruei Han Hung terima kasih telah berbagi cerita denganku, di sana pada bias senja yang selalu kita nikmati dari jendela koridor.

, ,

Satu tanggapan ke Hospital I’m in Love

  1. willy 14 November 2014 pada 17:00 #

    Hei marina, terlalu banyak koma (,) membuat saya ngos-ngosan.
    tentang Gaza dan ombak yg menggulungnya di jepang, itu tidak sekadar fiksi’kan? kepedihanmu akibat kehilanganx belum terlalu tampak di sini. Ayolah, buat saya menangisi kisahmu

Tinggalkan Balasan