“Jika ceritanya bukan seperti ini, mungkin aku tidak akan mengambil keputusan ini. Bukan karena aku tidak cinta, tapi rasanya perasaan orangtua harus lebih diutamakan. Mereka yang telah melahirkan dan merawat aku hingga aku seperti ini. Percayalah Dhira, kamu akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dari ini. Kamu akan mendapatkan lelaki yang sepadan denganmu. Maafkan aku.” Fadil kemudian pergi, tanpa memberi kesempatan pada Nadhira untuk berbicara lebih banyak.
Sepadan, kata-kata dari Fadil itulah yang membuat Nadhira merasa kecewa yang teramat dalam. Iya, benar. Nadhira akan mendapatkan lelaki yang sepadan dengannya, sebab dengan Fadil memang tak lagi sepadan. Dulu, mungkin iya. Ketika Nadhira masih merasa sebagai anak semata wayang Papa Tommy dan Mami Ira, keluarga Fadil begitu mengharapkannya sebagai menantu. Berulang kali mereka datang mengharap penerimaan dari Nadhira, tapi setahun setelah pertunangan tatkala tabir rahasia hidup Nadhira terungkap, Fadil dan keluarga memutuskan kembali ikatan itu. Fadil pun demikian, dulu ia kerap berkata bahwa apapun yang terjadi dia akan tetap bersama Nadhira. Tapi kemudian, kata-kata itu didustainya sendiri. Bagi Nadhira, Fadil tak ubahnya lelaki yang hanya mencinta karena kasta. Dia tak memiliki kesetiaan apalagi keikhlasan dalam mencinta. Dan kini dia berbicara tentang padanan, sebuah kata yang terasa sangat menyayat.
Beberapa tetes air hujan jatuh dari atap yang rapuh. Nadhira berusaha menarik jarik panjang yang dipakainya berselimut. Dia merasa kesusahan mencari tempat aman dari serbuan tetes air hujan. Gubuk tua ini memang tak layak disebut rumah sebab tak mampu melindunginya dari derasnya air hujan. Barangkali ini hanya bisa disebut sebagai tempat berteduh. Walau demikian, Nadhira mestinya bersyukur sebab gubuk inilah yang menyelamatkannya dari kejaran para preman saat dia bermalam di emper toko.
Nadhira bersembunyi di balik jarik tua milik Mak Tukinah, wanita pemburu barang bekas dan juga pemilik gubuk. Rasa dingin menyergap, hampir tak bisa dilawan. Mak Tukinah, yang kini tidur di sampingnya rupanya dia telah terbiasa dengan keadaan itu, bisa-bisanya dia terlelap. Padahal, beberapa tetes air hujan membasahi jariknya. Air mata Nadhira tak terasa menetes ketika mengingat apa yang telah menimpanya. Semingggu lalu sebelum dia sampai di gubuk tua Mak Tukinah, takdirnya tidak seperti ini. Nadhira masih punya kamar bagus dengan pendingin ruangan dan atap rumah yang kokoh. Nadhira punya selimut tebal yang bisa membuat tidurnya teramat nikmat. Nadhira masih punya Papa Tommy dan Mami Ira. Nadhira juga masih punya Fadil sang calon suami yang diketahui sebagai wirausaha muda yang sukses. Barangkali, waktu itu Nadhira akan punya nasib yang teramat cerah. Namun peristiwa menjadi terasa kelam ketika Nadhira tahu Papa Tommy tak berhak wali atas dirinya. Kenapa? Iya, pertanyaan itulah yang kemudian membuka tabir semuanya. Papa Tommy dan Mami Ira dengan terpaksa mengatakan bahwa Nadhira tidak pernah dikandung oleh Mami Ira. Nadhira berada di rumah itu sebagai anak angkat. Nadhira adalah bayi kecil yang tak berdosa yang diselamatkan Papa Tommy dan Mami Ira dari ketidakbertanggungjawaban orangtua yang tak diketahui rimbanya. Nadhira kemudian menemukan kehormatannya sebagai anak semata wayang pasangan pengusaha yang sudah sepuluh tahun pernikahannya tak jua dikaruniai keturunan. Bagi Papa Tommy dan Mami Ira, Nadhira adalah rezeqi luar biasa yang sengaja diturunkan Tuhan dari langit.
“Tidak tidur, dik?” Mak Tukinah tiba-tiba terbangun. Mungkin karena tetesan air hujan yang jatuh di atas jariknya sudah bertambah banyak maka dia baru menyadari kalau malam ini terasa dingin.
Nadhira menggeleng. Dengan sedikit sembunyi, air matanya diseka. Mak Tukinah memahami apa yang dirasakan gadis itu. Sebelumnya, Nadhira telah panjang lebar bercerita akan kisahnya.
“Mungkin Dik Dhira lebih baik kembali ke rumah Mama dan Papa. Mereka pasti merindukan Dik Dhira.”
“Tidak, Mak! Dhira gak ingin membuat Mama Papa malu. Keluarga Fadil sudah habis-habisan menghina Mama dan Papa. Mereka bilang bahwa Mama Papa pembohong karena dari awal pertunangan tidak terbuka akan masa lalu Dhira. Fadil merasa tak lagi sepadan dengan Dhira. Dhira fikir jika Dhira jauh dari Mama Papa itu lebih baik. Dhira yang buat Mama Papa dipermalukan.”
“Itu hanya perasaan Dik Dhira saja. Menurut Mak sepertinya Mama dan Papa Dik Dhira sedang bersedih karena kehilangan Dik Dhira. Bukannya Mak tidak mau menampung Dik Dhira lebih lama, tapi Mak hanya kasihan saja dengan orangtua Dik Dhira. Mereka akan sangat bersedih.”
“Mak benar juga. Tapi Dhira hanya akan kembali jika Dhira sudah bisa ketemu ibu kandung Dhira.”
“Lah, bagaimana bisa Dik Dhira bertemu ibu. Bukannya keberadaannya selama ini tidak pernah diketahui?”
“Memang tidak ada apapun yang ditinggalkan ibu untuk Dhira. Tapi Dhira yakin bahwa Dhira akan bertemu ibu.”
Percakapan dengan Mak Sukinah pun berakhir, seiring makin derasnya hujan dan malam yang makin menyergap………..
Kerongkongan Nadhira serasa akan pecah. Rasa haus ini seakan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Sudah jauh perjalanannya, meninggalkan rumah Mak Sukinah. Nadhira sempat kesulitan keluar dari gubuk Mak Sukinah, sebab perempuan tua itu rupanya sangat mengkhawatirkan keselamatannya. Terlebih tempo lalu dirinya sempat hampir menjadi korban kekejian para preman sebelum akhirnya diselamatkan Mak Sukinah dan membawanya berlindung di sebuah gubuk tua miliknya.
Nadhira kini menjadi seorang mushafir yang tak tahu tuju, meski dia bukan peminta-minta sejati. Nadhira hanya mengikuti kata hati, mengikuti langkah-langkah ibu jari. Mustahil memang, mencari seseorang yang bahkan namanya saja tidak dia ketahui. Nadhira hanya punya sepenggal kisah hidup tentang seorang anak buangan dari orangtuanya sendiri. Kisah itu akan disampaikan kepada setiap orang yang ditemuinya. Bukan ia mengharap iba, namun barangkali di antara mereka ada yang merasa menjadi bagian dari kisah itu.
Tak terhitung berapa jarak yang telah ia tempuh. Menyusuri jalan, gang, tempat para pencari rongsokan, hinggga ke tengah keramaian kota. Nadhira berteduh di bawah sebuah pohon rindang di pinggiran rel. Terbayanglah wajah-wajah orang yang mencintainya. Pada saat seperti inilah Nadhira ingin kembali pulang. Dia berputus asa. Dia lelah, sangat lelah. Ternyata hidup di luar jauh lebih kejam, lebih dari yang ia bayangkan. Perlu usaha yang tak sekedar cuma-cuma hanya sekedar untuk mengisi perut. Nadhira melihat bagaimana anak-anak kecil mengorbankan masa-masa bermainnya hanya demi membantu orangtuanya memungut barang bekas. Nadhira melihat bagaimana seorang berjuang berkeliling menjual jajanan dengan seorang bayi dalam gendongan. Nadhira bertemu manusia-manusia gerobak, Nadhira bertemu penjual koran yang telah tua renta. Semua keadaan itu nyaris tidak pernah ditemuinya tatkala masih bersama Papa Tommy dan Mami Ira. Dan kini, Nadhira tidak hanya sekedar melihat, tapi juga merasakan bagaimana dia berjuang melawan haus dan lapar yang dari tadi menyerbu perutnya.
“Boleh saya meminta segelas air putihnya?” Dengan berat hati Nadhira meminta bantuan seorang penjual kopi keliling.
“Boleh, kebetulan ada air dingin juga.” Ibu penjual kopi menyodorkan segelas air putih untuk Nadhira. “Habis dari mana, neng?” Lanjut ibu penjual kopi.
“Habis dari jauh, bu.” Jawab Nadhira pendek. Rupanya ia sudah tak tahan ingin segera meneguk habis air di gelas.
Ibu penjual kopi menatap dalam Nahira. Tiba-tiba timbul rasa kasihan melihat keadaaan gadis di depannya itu. Wajahnya pucat. Tidak hanya haus, dia juga lapar. Begitu fikir ibu penjual kopi.
“Ini ada sedikit nasi, tadi ibu bawa bekal. Ayo di makan!” Ibu penjual kopi menaruh nasi dan sedikit lauk di pangkuan Nadhira.
“Terima kasih, bu! Tapi saya sudah makan.” Nahira mencoba berbohong, walau pada kenyataannya dia memang sangat lapar.
“Ayolah, wajahnya neng terlihat sangat pucat. Ibu sudah kenyang. Ayo!” Ibu penjual kopi setengah memaksa. Nadhira pun tak mampu lagi beralasan.
Nadhira begitu menikmati nasi bungkus yang diberikan ibu penjual kopi. Sebuah hidangan yang apa adanya namun sangat membantunya menguatkan daya tahan tubuhnya yang hampir tumbang.
“Terima kasih, bu. Untuk membalas kebaikan ibu bagaimana kalau saya membantu ibu berjualan.” Nahira mencoba menawarkan tenaganya. Bagaimanapun dia tak ingin disebut sebagai seorang peminta-minta.
“Ah, tidak usah! Ibu ikhlas. Lanjutkan saja perjalanan neng. Sebenarnya neng mau kemana? Kalau tidak punya ongkos angkot biar ibu kasih.”
“Tidak, makasih. Saya tidak perlu angkot. Saya sedang mencari ibu.” Terang Nadhira pelan. Kesedihan menyeruak di dadanya.
“Memang ibunya kemana? Kabur karena sudah tua dan kena penyakit lupa atau gimana?” Ibu penjual kopi sedikit menebak-nebak.
“Bukan ibu yang kabur, tapi saya yang kabur dari orangtua angkat. Saya sedang mencari orangtua kandung.”
Penjual kopi terlihat kaget mendengar penjelasan Nadhira. Dia segera ingin tahu kisah sebenarnya dari gadis yang ada di depannya ini, “maksud neng apa? Ibu tidak faham. Coba ceritakan barangkali ibu bisa bantu.” Ibu penjual kopi terlihat semakin penasaran.
Nadhira kemudian mulai menceritakan tentang segala perjalanan hidupnya. Mulai dari ia ditemukan oleh Papa Tommy dan Mami Ira, putusnya hubungan pertunangan dengan Fadil, hingga kepergiannya dari gubuk Mak Sukinah. Sepanjang cerita itu Nadhira terus berurai air mata. Sedang di sisi lain, ibu penjual kopi hanya membisu. Dia tak mampu berkata apapun. Apa yang telah dikisahkan Nadhira seakan membawanya pada satu peristiwa dua puluh dua tahun lalu. Ibu penjual kopi menatap haru raut muka Nadhira. Lalu seketika rasa rindu terasa menekan hebat dadanya, ia ingin memeluk Nadhira. Tapi kemudian rasa bersalah datang membaluti perasaannya, dia merasa tak pantas menjadi seorang ibu. Ah, mungkin saja ini kebetulan. Nadhira barangkali hanya gadis yang memiliki kisah hidup yang sama dengan bayi mungil yang dahulu ia tinggalkan di emperan toko. Bukan ia tak sayang anak kandungnya, tapi karena lelaki biadab bernama Akri yang membiusnya dan kemudian menyetubuhinya dalam keadaan pingsan hingga ia harus melahirkan anak tanpa suami. Siapa yang sanggup melawan hukuman sosial yang datang dari cibiran masyarakat? Rasanya kemanapun melangkah, orang akan selalu bergunjing tentangnya, tentang wanita yang hamil di luar nikah. Ibu penjual kopi segera tersadar dari bayangan masa lalunya. Dia berusaha tersenyum, lalu memulai membuka mulutnya yang beku, “Kalau boleh tahu siapa nama neng?”
“Nadhira.”
Oh, Tuhan! Terkejutlah ibu penjual kopi. Nyatalah kisah Nadhira bukan sekedar mirip dengan kisah anak yang dibuang olehnya, melainkan dialah bayi kecil yang ia tinggalkan dulu itu. Lalu, bagaimana ibu penjual kopi ituyakin bahwa Nadhira adalah anaknya? Nadhira, ya nama itu adalah satu-satunya jejak yang ia tinggalkan. Dia tuliskan nama itu di atas secarik kertas yang diselipkan di pinggir bantal Nadhira kecil yang malang.
“Siapa pun yang merawat anak ini tolong beri nama Nadhira.” Begitulah kalimat yang ia tulis dua puluh dua tahun lalu.
“Apa Neng Nadhira masih berniat mencari ibu?”
“Tentu saja. Saya sangat ingin melihat wajah ibu kandung saya.”
Ibu penjual kopi menarik nafas panjang. Terasa sangat berat. Air mata hampir tumpah, tapi kemudian ditahan. Mulutnya hampir saja mengatakan bahwa ia adalah ibu kandung yang selama ini dicari Nadhira. Tapi, semua itu urung diungkap. Ada rasa bersalah jika harus mengatakan yang sebenarnya pada anak yang telah sengaja ia terlantarkan itu.
“Tapi menurut ibu lebih baik Neng Nadhira kembali ke rumah Mama dan Papa. Merekalah sesunggunya orangtua Neng Nadhira. Sebagai sesama perempuan, seorang ibu yang telah dengan sengaja membuang anaknya sama saja dengan orang lain yang tak pernah menyayangi kita.” Terpaksa ibu penjual kopi harus mengatakan kalimat ini.
“Tapi bagaimana jika ibu itu membuang anaknya karena alasan tertentu?” Nadhira merasa heran dengan ucapan penjual kopi.
“Jika rasa cinta terhadap anak di atas segala-galanya tidak ada alasan bagi seorang ibu untuk membuang anaknya, kecuali dia adalah seorang ibu yang gila. Neng Nadhira beruntung jatuh ke tangan orang yang baik, yang bisa mencintai Neng Nadhira layaknya anak sendiri. Lebih baik sekarang pulang ke rumah Mama Papa, dan minta maaflah karena telah membuat mereka bersedih.”
Nadhira terdiam. Tetiba hati kecilnya membenarkan perkataan ibu penjual kopi. Rasanya hanya sia-sia mencari seorang ibu yang telah dengan sengaja membuangnya. Bagaimana kalau dulu dia jatuh ke tangan orang yang salah, barangkali jalan hidupnya akan terasa miris. Ya, Nadhira akan pulang. Dia akan kembali kepada mereka yang telah menjadi Dewi Fortuna dalam hidupnya.
“Baiklah, bu! Saya pamit dulu pulang. Terima kasih atas makan dan minumnya.”
“Sebentar, ibu ada sedikit ongkos buat Neng Dhira. Hati-hati di jalan!”
Nadhira kemudian segera berlalu meninggalkan ibu penjual kopi sendiri.
“Cukuplah sudah aku menghukum diri sendiri. Anakku, jangan pernah kau panggil aku ibu. Sebab hari ini aku tahu betapa jahatnya aku.” Bisik hati ibu penjual kopi. Air matanya tumpah, menyesal tak bisa memeluk anak gadis yang berpuluh tahun ia rindui.
Belum ada tanggapan.