masa-krisis-majalah-konfrontasi

Krisis dan Awal Konfrontasi

Apakah kemenangan politik Indonesia atas Belanda pada tahun 1949 menyebabkan kita mengalami krisis kebudayaan dan krisis sastra? Apakah majalah Pudjangga Baru telah kehilangan relevansinya atas perubahan konteks sosial yang terjadi di Indonesia hingga harus diganti dengan majalah baru yang lebih relevan?

Dua pertanyaan tersebut berusaha dijawab oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Sudjatmoko dengan menerbitkan majalah baru dengan konsep dan spirit baru bertajuk “Konfrontasi”. Konfrontasi adalah majalah sastra dan budaya yang disuguhkan pada pembaca untuk merespon perubahaan situasi politik dan budaya di Indonesia. Dalam pengantar nomor pertamanya, edisi Juli – Agustus 1955 Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan bahwa:

majalah-konfrontasi

Judul: Konfrontasi
Redaksi: Sutan Takdir Alisjahbana, Acdhiyat Kartamihardja, Beb Vuyk. Hazil Tanzil
Penerbit: Kebangsaan
Tahun Terbit: Juli – Agustus 1955
Jumlah Halama: 48 Halaman
Sumber: Koleksi Pribadi

“Bukan sadja rupa redaksi madjalah baru ini berbeda benar dari jang lama,tetapi hal itu lebih² lagi tentang tjara ia bekerdja. Ber-sama² dengan redaksi madjalah Konfrontasi ini akan serta bekerdja pula sebuah studieclub, yang tiap² bulan meminta dari anggotanja atau seseorang dari luar untuk memberi uraian tentang suatu soal atau sebagian dari suatu soal, jang dibitjarakan ber-sama² se-luas²nja. Dengan tjara demikian Konfrontasi berharap akan dapat mengumumkan pemandangannja tentang ber-bagai² soal dimsajarakat kia sekarang”.

Uraian tersebut menjelaskan pandangan dan strategi “Konfrontasi” dalam menghadapi tantangan zaman. Konfrontasi tidak ingin menjadi bagian pasif dalam semangat revolusi Indonesia yang berkobar. Konfrontasi tidak ingin hanya sekedar menerima dan menerbitkan tulisan yang sesuai dengan selera budaya redaksi, namun juga memberi warna dan arah bagi kemajuan kebudayaan dan kesastraan Indonesia di masa mendatang. Hal tersebut dilakukan dengan cara menyelenggarakan diksusi rutin oleh anggota redaksi atau orang luar yang dipandang redaksi mampu mengupas persoalan yang sedang berkembang di masyarakat. Hal tersebut berarti, Konfrontasi berperan sebagai insinyur sosial yang berusaha membentuk tatanan sosial masyarakat ideal yang sesuai ideologi redaksi.

Pada nomor pertamanya, Konfrontasi memuat uraian Sudjatmoko tentang pentingnya peran Konfrontasi sebagai media bagi perkembangan dan kemajuan kebudayaan Indonesia. Sudjatmoko memilih judul provokatif untuk uraian tersebut yakni: “Mengapa Konfrontasi?” Selain itu Konfrontasi juga memuat uraian panjang Sutan Takdir Alisjahbana tentang pertentangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah pada konteks masa tersebut. Sutan Takdir Alisjahbana membahas mengenai fenomena menguatnya penggunaan bahasa Indonesia dan mengecilnya penggunaan bahasa daerah di negeri ini. Fenomena tersebut menurut Sutan Takdir menimbulkan kegelisahan kecil orang-orang daerah tentang eksistensi bahasa daerah mereka.

Orang-orang di daerah merasa khawatir akan ada masa dimana masyarakat daerah akan lebih menggenal bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya. Hal itu menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan untuk menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sekolah ditingkat sekolah dasar sampai tiga tahun. Setelah tahun ke-empat guru baru boleh mengajar menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Strategi ini dianggap Sutan Takdir lebih adil untuk tetap melestarikan bahasa daerah

Tulisan Usmar Ismail pada bagian akhir membahas mengenai minimnya apresiasi film di Indonesia menjadi pamungkas dari majalah Konfrontasi. Sebelumnya, Konfrontasi juga memuat puisi-puisi yang dianggap lebih maju secara teknik dan isi dari puisi pudjangga baru. Puisi menjanjikan yang dianggap redaksi memuat spirit zaman baru adalah 4 sajak karya Mohammad Ali dan 3 sajak dari Rossidhy.

Keseriusan redaksi Konfrontasi untuk memajukan kebudayaan dan kesastraan Indonesia dibuktikan dengan upaya menerbitkan majalah Konfrontasi secara berkala per dwi wulan. Konten-konten Konfrontasi pun diseleksi dengan ketat untuk mejawab persoalan yang ada. Tidak heran jika nama-nama besar seperti Sutdjatmoko, Sutan Takdir, dan Usmar Ismai-lah yang mengisi halaman-halaman redaksi. Kualitas mutu sepertinya menjadi prioritas dalam penerbitan Konfrontasi.

Membaca Konfrontasi sama halnya dengan membaca episode bersejarah tentang perkembangan kebudayaan dan kedusastraan Indonesia. Konfrontasi adalah majalah transisi perkembangan sastra dan budaya Indonesia era penjajahan ke era semangat revolusi. Konfrontasi adalah saksi dari gelora semangat revolusi masyarakat dibidang sastra dan budaya.

Membaca ulang Konfrontasi hari ini berarti mengingat dan mengenali kembali semangat awal pendirian bangsa ini. Semangat dan gelora yang hilang untuk memajukan budaya dan sastra bisa dihidupkan dengan menekuni huruf-huruf di dalam majalah Konfrontasi.

Penulis adalah pengamat media sosial dan pecinta buku-buku langka.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan