Oleh: Budiawan Dwi Santoso
Jerusalem. Di situ, tempat bermukimnya orang-orang dari kalangan Yahudi, Muslim, dan Kristiani. Jerusalem adalah tempat—menurut Alkitab—Abraham mengorbankan Iskak, dan tempat Muhammad menjejakkan langkah terakhirnya di bumi—menurut tradisi Muslim. Dan, orang-orang Yahudi menyebut daerah itu Gunung Bait Suci. Dimana, Bait Allah Yahudi pernah berdiri di situ dan menjadi janji-Nya untuk memberikan Tanah bagi orang-orang Yahudi.
Masing-masing dari mereka memercayai bahwa Jerusalem menjadi kota suci dan saling mengklaim bahwa tanah bernama Palestina menjadi tanah air aslinya, khususnya dari pihak Yahudi dan Arab. Di situlah, menjadi salah satu titik awal terjadinya konflik yang berlangsung hingga sekarang.
Bagi Amy Dockster Marcus, penulis buku Jerusalem 1913, menyatakan bahwa awal dan akar konflik ini terjadi pada era Ottoman. Dimana, era itu muncul tokoh penting, seperti Theodor Herzl, Noah Sokolovsky, Arthur Ruppin, Albert Antebi menjadi pelopor dan pengerak adanya Zionisme. Adapun, tokoh penting lainnya yang bersitegang terhadap Zionisme adalah dari kalangan Muslim Arab, seperti Wasif Jawhariyeh, Ruhi Khalidi, dan Khalil Sakakini.
Theodor Herzl, satu-satunya orang Yahudi, pelopor, dan mempengaruhi orang-orang Yahudi lainnya dengan gerakan Zionis. Mereka beranggapan, dengan adanya gerakan Zionis, maka ia dan kaumnya bisa mencicipi Tanah yang dijanjikan Allah di Gunung Bait Suci.
Buku berjudul The Jewish State (1897) dan peluncuran novel Herzl berjudul Old-New Land (Tanah Lama-Baru) di tahun 1902 menjadi sebuah visi imajinatif tentang Palestina di kemudian hari. Karya tersebut turut memberi andil dalam membentuk cara pandang orang Yahudi pada masa itu. Film dari Noah Sokolovsky berjudul The Life of the Jews (Kehidupan Orang-orang Yahudi) yang dibuat pada tahun 1913 memberi sumbangan kuat bagi orang-orang Yahudi untuk memiliki semangat nasionalisme tinggi.
Untuk mewujudkan impian mereka, maka para pelopor Zionis itu mulai mendatangkan dan meyakinkan orang-orang Yahudi dari belahan dunia untuk melakukan imigrasi ke Palestina. Salah satu upaya, yakni dengan membentuk dan mengadakan acara Kongres Zionis setiap tahun sekali—dimana, acara tersebut turut melahirkan gagasan tentang pembangunan rumah dan jual-beli tanah bagi para imigran Yahudi.
Gagasan mulai terealisasi ini semakin membuat cemas dan khawatir bagi Kerajaan Ottoman yang menguasai dan memiliki kewenangan penuh terhadap Palestina serta para tokoh Muslim Arab, salah satunya Ruhi Khalidi. Mereka takut bahwa upaya para Zionis itu nantinya akan melibatkan kekerasan dan tindakan militerisme lainnya.
Untuk meredam kecemasan itu, Herzl memberikan balasan kepada Khalidi begini: “Sebagaimana Anda katakan sendiri, tidak ada kekuatan militer di belakang orang-orang Yahudi. Sebagai sebuah bangsa, mereka sudah lama kehilangan selera untuk berperang. Mereka adalah unsur yang secara keseluruhan bersikap tenang dan sepenuhnya merasa puas jika dibiarkan dalam damai. Oleh karena itu, sama sekali tidak beralasan untuk merasa takut terhadap imigrasi mereka” (hal. 69).
Namun, seiring dengan waktu terus berlalu, apa yang dicemaskan oleh pihak Kerajaan Ottoman dan tokoh Muslim Arab itu, sedikit demi sedikit mulai tampak. Dan, lewat perspektif Marcus kecemasan itu sebenarnya tidak hanya dialami oleh mereka saja, tetapi dari pihak Yahudi juga.
Ketakutan yang dialami masing-masing pihak justru memunculkan inisiatif untuk membuat benteng pertahanan, pembelaan diri, dan berujung pada perang. Di saat itulah ketegangan-ketegangan semakin meruncing.
Pihak Yahudi-Zionis mulai sadar diri bahwa untuk memperkuat pertahanan (meliputi identitas dan eksistensi), hal utama dan pertama adalah menghidupkan dan mengajarkan bahasa aslinya, yakni bahasa Ibrani. Untuk berkomunikasi, membuat, dan menyebarkan surat kabar, karya sastra, film, maupun buku-buku lain, semuanya harus menggunakan bahasa Ibrani. Bahasa Arab yang dulunya dipakai sedikit demi sedikit mulai dipupus.
Mereka tahu bahwa bahasa adalah penggerak utama nasionalisme dan memperkuat identitas sekaligus eksistensi Yahudi. Di sinilah, sebenarnya perang sudah mulai. Marcus menamakan sebagai perang bahasa. Untuk memperkuat semua itu, simbol Zionis—Bintang Daud, bendera, dan stempel memuat gambar Herzl dan Mark Nordau juga disebarluaskan, khususnya pada kaum Yahudi sendiri. Berbagai strategi dilancarkan kaum Yahudi-Zionis itulah, yang kemudian diadopsi oleh kalangan orang Arab Palestina juga.
Pada saat perang bahasa telah termulai, di saat itu juga masing-masing dari mereka semakin tidak saling mengerti dan pengertian. Orang Yahudi mulai tidak mengerti dengan bahasa Arab. Begitu sebaliknya, orang-orang Arab tidak paham dengan bahasa Ibrani. Padahal, bila ditilik secara geografis mereka saling hidup berdampingan.
Bermula dari kekaguman, lalu muncul gagasan, dan sampai perang bahasa, akhirnya, perang fisik pun tak bisa terkendali. Maka, keadaan dilematis di Jerusalem itulah yang ditangkap oleh seorang penyair Yehuda Amichai dalam puisinya berjudul Seven Laments for the War Dead (Tujuh Ratapan untuk yang Mati Dalam Perang) dengan ungkapan, pembaca nukilkan begini: “Dan segala sesuatunya berlangsung dalam tiga bahasa: Ibrani, Arab, dan Kematian”—yang menurut pembaca, hal itu menjadi salah satu ‘…jantung persoalan, baik dari zaman mulainya gerakan Zionis hingga zaman kita sekarang ini’.
Belum ada tanggapan.