Lahang meloncat dari truk bak terbuka, lalu menatap kantor Kepolisian Sektor Maesan berlama-lama. Pandangannya menyapu sepetak sawah di samping gedung, sementara tangan kanannya menggenggam plastik hitam berisi kembang. Hingga akhirnya memutuskan berjalan ke arah makam yang berada di tengah sawah. Meski kurang terawat ditambah beberapa pohon kamboja, tulisan di nisan masih bisa terbaca. Djamelah Birne. Lahir 30 Juni 1845 dan meninggal 14 April 1908.
Ini adalah makam istri Gerhard David Birne. Sepupu George Birne, warga Belanda pertama yang mendirikan usaha tembakau di Jember. Kontur tanah yang cocok, menjadikan George Birne memperoleh hak erfpacht atau hak guna usaha dalam jangka waktu 75 tahun. Konon katanya, kantor polisi ini adalah rumah keluarga Birne. Jika benar begitu, sungguh kaya orang satu ini. Apalagi, ia mendatangkan banyak pekerja dari Blitar dan Madura. Menjadikan Jember memiliki dua etnis terkemuka. Sekaligus menasbihkan Jember sebagai pemasok tembakau berkualitas ke Eropa.
Seperti yang lalu-lalu, tiap kali menaburi kembang, air mata Lahang tak pernah henti mengalir. Ia kemari, bukan menyekar orang yang sudah menjajah negeri. Lahang ke sini, bermaksud menengok ayahnya yang belum ditemukan hingga kini. Sebagai saudara tertua, ia paham betul peristiwa yang menimpa sang bapak. Seorang petani yang tidak memiliki afiliasi politik tertentu, nyatanya bisa raib juga.
Tak lagi sekadar rahasia, jika tahun 1965 adalah awal mula kepekatan sekaligus ketakutan orang-orang di desa. Sa’di, bapaknya bukanlah lelaki bersuara lantang. Ia hanya petani yang lebih suka arit dan cangkul nyata daripada simbol bendera belaka. Namun, hari itu. Saat menemui seorang pegawai kecamatan yang memborong sayur-mayurnya di sebelah kantor polisi, Sa’di tak pernah pulang. Usia Lahang bisa jadi waktu itu masih lima belas tahun. Tetapi, ia mafhum mengapa Sa’di hanya meninggalkan sehelai pakaian yang terdapat noda merah, tergeletak di atas nisan Djamelah Birne.
Begitulah kebiasaan Lahang usai berjualan di Pasar Tanjung. Maesan adalah kecamatan di Bondowoso yang berbatasan langsung dengan Jember. Pada masanya, Maesan tak memiliki pasar besar seperti sekarang. Hanya Pasar Tanjung yang menjadi ikon Jember. Inilah penyebab mengapa banyak orang di luar Jember amat senang jika berkunjung ke pasar tradisional ini. Selain mempertemukan penjual dan pembeli, Pasar Tanjung juga menerima beragam kisah manusia dari berbagai lini.
Maryam, ibunya, adalah janda beranak dua. Ditinggal mati suami ketika ia melahirkan anak ketiga. Sebagai punggung keluarga, ia tak mau hidup sia-sia. Berbekal sawah peninggalan sang suami, ia bertani lalu menjualnya sendiri ke Pasar Tanjung. Kala itu, jalanan masih lengang. Tak banyak kendaraan. Hanya truk dengan bak terbuka yang lewat tiga kali dalam sehari. Ya, hanya kendaraan ini yang bisa mengantarnya ke tengah kota dengan hasil tani yang agak banyak jumlahnya.
Mula-mula, Lahang hanya bermodal menemani. Mengamati ibunya berkata manis, sebab pedagang harus pandai bermain kata-kata. Lamat-lamat ia terbiasa. Bukankah, menjadi pedagang harus bermodal dua? Jujur dan piawai merayu. Ada waktu menahan harga, ada pula saatnya menawarkan barang yang lain, siapa tahu si pembeli yang awalnya tak tertarik, justru terpikat manis ucapannya. Jadilah ia membeli apa yang sebetulnya tak dibutuhkan.
Tengah malam, Lahang berangkat membawa buntalan kacang panjang, terong, ketela, dan sayur mayur lainnya. Enam puluh menit perjalanan tidaklah lama. Ia menikmati langit malam penuh doa. Bukan apa-apa, isu manusia yang hilang tiba-tiba adalah ketakutan bagi setiap manusia. Ini adalah mimpi terburuk yang pernah dirasakan. Pernah suatu malam, di setiap kecamatan yang ia lalui, truk yang ditumpangi diperiksa banyak lelaki. Katanya, mereka mencari ‘ninja’. Meski mereka tak menangkap siapa-siapa, ini adalah pengalaman pekat yang membuat jantungnya berdegup cepat.
Pukul dua pagi, Pasar Tanjung ramai pengunjung. Seolah-olah, mereka tak tidur demi mengejar rezeki. Memang begitu. Sebab usai subuh, dagangan mulai menipis karena diborong tengkulak. Saat matahari terbit, aktivitas jual beli tak seramai sebelumnya. Umumnya, mereka terdiri dari ibu-ibu rumahan.
Setelah memastikan dagangannya tak ada yang rugi, Lahang menghabiskan banyak waktu dengan beragam aktivitas. Truk yang membawanya pulang akan datang pukul dua belas siang. Bersama Samin, tetangganya yang juga berjualan di Pasar Tanjung, mereka mengelilingi banyak tempat.
“Jangan sekali-kali mandi di Kali Bedadung. Kecuali kamu mau menetap di Jember.”
Lahang terkekeh. Tak percaya apa yang didengungkan Samin.
“Aku bakal percaya kalau sudah mandi.”
Jawabnya lalu mencemplungkan diri ke area kali yang tak terlalu dalam. Samin hanya menggelengkan kepala. Dulu, sungai yang membelah tengah kota ini masih jernih dan sepi dari rumah apalagi sampah. Melenggangkan siapa pun yang ingin mandi. Sialnya, jika ia pendatang, tak ada ruang untuk meninggalkan Jember sebab Kali Bedadung akan membawanya kembali. Begitulah mitos yang kini dipercayai banyak orang.
Kebiasaan Lahang membersihkan badan di Kali Bedadung berubah seusai bertemu pelanggannya. Jika ada tengkulak hendak memborong, ia was-was. Cemas perempuan berambut sebahu itu pindah langganan sebab barang yang dicari sudah terjual. Nyatanya, perempuan itu tetap berbelanja. Dan Lahang membuntutinya.
Ia tak menyangka, ternyata perempuan berambut sebahu itu bertempat tinggal di tepi Kali Bedadung. Maka, sepulang berdagang, ia memiliki alasan berbeda selain sebagai penjual dan pedagang. Bagai pucuk cinta ulam pun tiba, perempuan itu menyambut. Keduanya menjalin hubungan lalu memutuskan ke pelaminan.
Tak ada masalah serius yang dialami Lahang. Meski meninggalkan Maesan, ia tetap berjualan di Pasar Tanjung dengan sistem bagi hasil dengan sang ibu. Namun, petang itu, hujan turun begitu lebat. Petir menyambar memekik telinga. Orang-orang tak ada yang tidur. Berjaga-jaga, takut Kali Bedadung mengamuk.
“Bukankah, kita tak pernah membuang sampah ke sungai. Lantas mengapa kita takut banjir?”
“Kadang musibah datang bukan karena ulah manusia. Tapi karena takdir,” jawab sang istri yang tengah membongkar isi lemari. Lahang ikut menata baju-baju ke dalam kardus. Lalu menaruhnya ke atas lemari. Menaruh barang-barang berharga ke tempat yang lebih tinggi. Takut sungai yang memiliki banyak batu cadas ini melepas diri.
“Baju ini belum pernah dicuci, kah?”
Lahang terkejut. Ia langsung merampas sebuah baju yang memiliki noda merah dari tangan istrinya. Tetapi naas. Sebuah kain bersimbol palu dan arit jatuh dari saku baju. Tepat di hadapan sang istri.
Tanpa banyak bicara, istrinya berdiri dan pergi ke arah pintu. Lahang menarik lengan sang istri dan menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi. Berulang kali ia ceritakan kalau dirinya adalah korban keberadaan partai komunis. Tetap saja istrinya tak percaya.
“Aku tak menyangka akan bersuami pembunuh ibuku sendiri.”
“Aku bukan komunis. Bapakku juga tidak. Kami adalah korban, Laksmi. Sama seperti ibumu.”
“Lalu, kain itu? Kamu pikir aku bisa ditipu?”
Laksmi pergi tanpa membawa sang anak. Lahang mengejar, anaknya meraung-raung di kamar. Kali Bedadung memang tak jadi banjir. Bahkan hujan cepat reda dan petang menghadirkan senja yang amat memukau. Sayangnya, senja itu tak pergi-pergi. Tetap di situ, tak tenggelam, tak mati-mati. Hingga kini, Lahang dicap kiri.
Belum ada tanggapan.