Sunyi menemaniku dalam nestapa. Awan hitam bergelayut yang warnanya nyaris serupa dengan langit begitu kekal membentangkan sayapnya. Mereka seolah-olah mengerti jiwaku yang kalut ditebas pengkhianatan. Ya, malam mendendangkan irama penyayat yang mampu merobek dinding langit sehingga air pun menetes ke bumi bagai balita mengadu pada bunda.
Aku tidak mengerti lagi, sudah terlalu banyak cinta yang kuberikan pada gadis itu. Silma. Gadis belia yang usianya terbentang lima tahun denganku. Kita sudah berjalan sejauh tiga tahun merajut benang cinta. Awalnya manis seperti mencecap kembali gula-gula setelah lama lidah ini merindu. Rasa manis yang awalnya bagai oase berubah menjadi sesuatu yang memuakkan bila dijilat terus menerus. Atau, kapasitas perut bila dijejali makanan tiada habisnya. Ada kalanya sesuatu terasa nikmat bila kita sudah lama tak mencicipinya, tetapi ada kalanya juga sesuatu yang nikmat akan terasa menjijikkan jika kita mencicipinya tiada henti. Rupanya, analogi itu sama dengan cinta yang kualami.
Entah mengapa, rasanya rasa cintanya padaku kian hari kian meluntur. Aku tidak lagi mencecap manisnya cinta seperti saat aku mengejarnya. Meski aku telah berhasil mendapatkan cintanya, namun hal itu tak berlangsung lama. Cintaku mulai pudar. Begitu juga dengan dia. Sifatnya yang manis dan memesona, tergilas bagai kertas dilalap api.
Pertemuan kita yang terkesan biasa saja ternyata bisa berkembang menjadi buih cinta. Tiga tahun lalu kami bertemu di suatu komunitas yang memiliki hobi yang sama, travelling. Usianya masih sangat belia, bahkan ia menjadi anggota termuda di kelompok kami. Tidak ada yang istimewa dari fisiknya, kukira sama seperti perempuan seusianya pada umumnya. Rambut panjang, tubuh tinggi, langsing, proporsional, bentuk wajah tirus, bibir kecil, alis tebal, suka warna pink, suka dandan, dan lain-lain. Ia sama dengan remaja putri lainnya yang sedang dalam masa pubertas. Bahkan aku sempat bersumpah kalau aku tak akan jatuh cinta pada anak ABG. Kurasa tidak mungkin.
Seperti kata pepatah, “senjata makan tuan” perlahan mulai muncul rasa ketertarikanku padanya. Teman-temanku menertawaiku yang kelabakan menghadapi kenyataan kalau aku jatuh cinta pada anak ABG! Makin hari Silma terlihat menawan di mataku. Tingkahnya yang lucu selalu membuatku tak ingin jauh darinya. Wajahnya yang ayu membuatku betah berlama-lama menatap wajahnya bahkan saat ia menyadari, aku tak memalingkan muka. Tuhan menciptakan keindahan yang nyata dalam sosok Silma.
Aku pun memberanikan diri untuk mendekatinya. Balasannya ramah, kupikir dia orang yang baik. Waktu semakin bergulir, kedekatan kita semakin bertambah. Kami mulai merapat menjadi sahabat. Aku tahu, remaja akil balig seperti Silma memang butuh teman curhat. Pergolakan yang terjadi secara internal maupun eksternal tak mungkin bisa ia hadapi dengan sendirian. Aku membuka tanganku lebar-lebar untuk memberikan pelukanku ketika tangisnya meledak.
Kami saling bercerita. Tidak ada sekat diantara kami. Kami sudah saling lepas bernarasi seperti layaknya kakak adik. Aku bercerita tentang masa-masa sekolahku yang tak jauh berbeda dengan Silma, dan Silma pun demikian. Ia bahkan tak sungkan untuk menceritakan laki-laki yang ia sukai. Hal itu seperti menghujam jantungku. Sakit. Tetapi aku tak gentar, aku masih ada peluang untuk memacarinya.
Lima bulan hubungan pertemanan kami semakin akrab, sampai aku merasa Silma juga merasa demikian. Ia menyukaiku. Setiap kali kita bertemu, Silma tak sungkan mencium pipiku seperti mencium orang terkasih. Peluk sana peluk sini. Seolah ada lem yang mengikat tangan kita untuk terus bergandengan tangan. Aku tak menyangka gadis secantik Silma yang kupikir tak mungkin bisa kujadikan pacar, merasakan hal yang sama denganku.
Karena aku sudah yakin, kuberanikan diriku untuk menyatakan cinta padanya. Meskipun rasanya terasa aneh.
“Sudah sejak lama aku menyukaimu,”kataku sambil berlutut dan menyerahkan setangkai bunga mawar putih.
Silma terharu. Mungkin aku adalah orang pertama yang memberinya bunga mawar sambil berlutut. Pipinya berubah semu memerah.
“Kamu mau jadi pacarku?”pintaku penuh harap. Aku menatap bening mata Silma.
Silma mengambil bunga itu tanpa berucap. Ia kemudian menarikku berdiri. Tinggi kami hampir sejajar. Namun, sesuatu membuatku tersontak. Silma mengecup bibirku tanpa aba-aba.
“Aku juga suka sama kamu, May,”ucapnya berbinar. Aku tak ragu untuk menatapnya lebih lama. Pancaran sinar dalam bola matanya terlihat bercahaya seperti mentari di pagi hari.
“Jadi, kita bisa pacaran?”kataku lagi menandak-nandak. Silma mengangguk pasti sambil sesekali tersenyum padaku.
Jadilah tanggal 14 bulan kedua kami meresmikan hubungan kami sebagai sepasang kekasih. Meski orang-orang memandang kami dengan tatapan jijik, kami sama sekali tak menghiraukannya. Kami menganggap cemoohan orang-orang seperti anjing menggonggong.
Dua tahun hubungan kami berjalan, ternyata orang tua Silma tidak mengetahui hubungan ini. Ia merahasiakannya agar tak disangka orang tidak normal. Memang usianya baru menginjak 15 tahun. Kedua orang tuanya melarangnya untuk pacaran sebelum usianya 18 tahun. Ternyata masih ada orang tua yang over-protektif seperti itu. Alasan yang biasa mereka berikan: belajar dulu yang rajin baru cari pacar.
Silma tetap tidak ingin orang tuanya tahu tentang hubungan ini. Sekalipun aku bujuk, ia bersikeras tidak mau mengatakannya. Biarkan hubungan ini berjalan begitu adanya, tanpa usah diumbar-umbar, macam aurat saja yang diumbar-umbar. Ia berjanji untuk selalu mencintaiku, tetapi tidak ingin berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Ia ingin mencintaiku dengan tetap menjalin hubungan asmara seperti saat ini.
Aku percaya sepenuhnya pada ucapan Silma. Ia begitu sungguh-sungguh saat mengucapkannya. Tak tebersit dalam benakku ia selingkuh atau menduakan cintaku kepada yang lain. Aku percaya Silma setia. Dia mencintaiku. Sangat mencintaiku.
Namun ketika usia hubungan kami sudah menginjak tahun ketiga, aku merasakan hal aneh terjadi pada Silma. Ia menjadi enggan untuk aku temui. Bahkan, sesekali teleponku ia reject, macam teleponku adalah telepon orang menyebalkan. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku tak bertindak kasar, tidak juga berkata-kata seperti pisau. Aku baik-baik saja. Tapi kenapa dia berlaku aneh macam aku ini seseorang yang terus menganggunya.
Aku minta kejelasan darinya tentang hubungan ini. Kutelepon beberapa kali, jawabannya tetap sama, “Maaf aku sibuk.” Aku tahu ini caranya berkilah, menghindar dari kejaranku yang tiap hari meronta-ronta seperti pengemis. Apa aku serendah pengemis sehingga ia merasa seolah-olah jijik padaku? Kenapa tiba-tiba persepsinya berubah? Aku tidak mengerti. Atau jangan-jangan dia punya kepribadian ganda.
Untuk satu kali waktu aku memintanya untuk bertemu. Beberapa bulan tak bersua, Silma menjelma menjadi sosok putri yang cantik jelita. Dia sudah bukan lagi ABG labil yang dulu kukenal, yang tingkah lucunya selalu menghiasi lubuk duniaku yang usang. Pertambahan usia tampaknya juga mempengaruhi perkembangan otaknya. Ia sudah melepas seragam abu-abunya. Tak lama lagi ia memasuki dunia perkuliahan.
Ia menyapaku seperti orang asing. Apa salahku wahai putriku? Kenapa kau memandangku seperti orang rendahan? Aku merasa tak punya kesalahan apa-apa padamu.
“Kita putus,”katanya, langsung menancap dasar jurang hatiku.
Aku merutuk.
“Sebuah kesalahan besar aku pernah pacaran sama kamu. Aku sudah temukan orang yang lebih pantas dari kamu,”ucapnya, kemudian melesat pergi tanpa kata perpisahan.
Aku memandangi punggungnya yang tersibak-sibak helaian rambutnya, melesat menjauh sampai sosoknya tak terlihat lagi di mataku. Aku tak mengerti. Kata-katanya sangat menusuk, bahkan lebih tajam dari pisau asahan. Gadis manis nan lucu yang dulu kutemui sekarang berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sosok yang angkuh. Satu kalimatnya yang membuatku sangat terpukul Sebuah kesalahan besar aku pernah pacaran sama kamu. Aku pun mulai mengerti.
Langit gelap itu kini terlihat sedang menaburkan serbuk-serbuk bintang yang berkerlap-kerlip. Sunyi ini terasa abadi karena hanya ada aku seorang yang menunggunya. Sepoi angin menaburi mukaku dengan lembut seperti sentuhan seorang ibu. Aku begitu damai berkawan dengan kegelapan. Dunia sama kesepiannya denganku. Tidak ada yang mengkhianati dan dikhianati di sini.
Masih jelas terekam di otakku bagaimana Silma mengucapkan kalimat Sebuah kesalahan besar aku pernah pacaran sama kamu. Suara, jeda, intonasi, semua masih terekam di kepalaku. Aku pun menyadari bahwa Silma adalah gadis normal. Ia menyukai pria sebagaimana mestinya. Ia tak mungkin menyukaiku dengan sepenuhnya seperti ia menyukai seorang laki-laki karena aku seorang…
Lesbian.
Entah kenapa, awal membaca aku kok berpikir ini adalah tokoh perempuan??
dan ternyata bener “D