Tertawa tak hanya menyangkut urusan pengurangan beban psikologis, refleks, tapi juga menyangkut urusan politik. Tertawa adalah medium untuk mengatasi gejala politik yang tak karuan, dunia konflik yang tak kunjung usai, hingga alat untuk membuat “jeda” dalam dunia modern yang serba sesak ini. Itulah barangkali alasan mengapa tertawa, atau humor menjadi marak di negeri ini. Perkara humor adalah upaya merayakan “tawa“.
Tertawa adalah milik kita bersama, entah untuk menertawai diri sendiri, lingkungan hingga menertawai kawan. Itulah mengapa negeri ini berbanjiran acara humor dan tawa hampir tiap harinya di stasiun televisi kita, barangkali masyarakat kita memang memerlukan –tertawa-. Tertawa yang dicipta untuk melepaskan beban psikologis masyarakat ini. Kita mengenali kisah Abu nawas yang menjadi tukang cerita raja di masanya, yang tak hanya memberikan kisah-kisah yang penuh pelajaran tapi juga menggunakan politik humor. Humor jadi obat, resep, tapi juga tak kehilangan pelajaran berharganya yakni untuk menyadarkan kemanusiaan kita.
Lalu bagaimana jika “humor“ dikaitkan dengan gambar, dan “kata-kata“. Disinilah ciri khas dari “kartun“. Melalui kartun inilah penelitian dalam buku ini -Antara Tawa dan Bahaya-,ia tak hanya membicarakan relasi antara gambar, kata-kata hingga beban makna yang ditanggung oleh kartun itu sendiri. Kartun tak hanya sekadar alat untuk menawarkan represi, tapi juga merupakan agresi yang tak sadar-meminjam Freud-. Freud memandang lelucon ada dua macam yakni lelucon tendensius, jenis ini tergantung pada ungkapan tak langsung tentang permusuhan atau dorongan seksual. Yang kedua adalah lelucon lugu, pada jenis ini tergantung kepada kecerdikan verbal, suatu kategori yang akan memasukkan permainan kata dan teka-teki.
Efek Sosial
Kartun bila ia dicipta tidak dalam lingkup sosial, maka bisa kita pastikan bahwa kartun hanya berefek secara individual semata. Sedang kartun bila ia memasuki ruang publik atau media, maka jelas ia akan memberikan dampak yang cukup luas kepada pembaca kartun itu sendiri. Seno gumira ajidarma dalam buku ini mengurai bagaimana politik humor dimainkan dalam ideologi masing-masing koran. Sebut saja koran KOMPAS yang lebih memainkan ideologi yang santun, ia lebih cenderung sebagai koran yang mengkritik tapi tak langsung. Maka bisa kita lihat, komentar dari GM sudarta kartunis dari koran tersebut yang mengatakan : “Pokoknya jangan to the point itu saja“. Barangkali inilah yang dimainkan oleh kartunis GM sudarta yang menggunakan kekritisannya melalui kartun.
Seno memandang bahwa ‘politik humor‘ yang dimainkan oleh para kartunis tetap tidak lepas dari bagaimana ideologi media itu bekerja. Sebut saja koran POS KOTA yang memiliki tokoh kartun “doyok“ yang digambar oleh Keliek siswoyo. Doyok dalam kartun ini menggambarkan historiografi tempat rakyat kecil, dan identik dengan kerakyatan. Berbeda dengan KOMPAS yang rata-rata dibaca kelas menengah, yang menerapkan self-cencorship.
Dari relasi sosial antara media dan masyarakat inilah ‘kartun‘ berbicara tak hanya tentang dirinya. Ia tak hanya mengurusi peristiwa sosial, kisah satire dan humor-politis. Maka dari itu, sering kali efek dan beban makna yang dikandung oleh kartun itulah yang membuat para politikus, pejabat hingga para tokoh yang merasa disindir atau dikritik melalui kartun itu geram.
Berfihak
Sebagaimana ungkapan Henri Bergson– tawa kita adalah selalu tawa suatu kelompok-, maka kartun pun demikian. Bila kartun sudah memiliki efek dan ruang sosialnya, maka kartunis pun menunjukkan keberfihakan itu. Seno mencatat hampir para kartunis indonesia yang diungkapkan dalam buku ini menangkap realitas sosial di masanya. Sebut saja GM Sudarta yang memilih jalur kritik yang elegan melalui Oom pasikomnya, atau GunGun yang bicara kenyataan bali yang tragis melalu I Brewoknya. Buku ini mengurai dan menangkap perkembangan kartun dan identitas para kartunisnya dari koran lokal hingga nasional. Yang setiap kartun memiliki beban makna yang memberikan efek pada para pembaca.
Meskipun buku ini menguraikan lanskap para kartunis dan kartunnya yang ia telusuri dari surat kabar di negeri ini. Ia pun mengakui buku ini memang memiliki kekurangan yakni masih berupa tambal-sulam antara laporan jurnalistik, dan catatan-catatan ringan. Tapi disitulah letak dari keunggulan buku ini, ia mampu menguraikan dan membuktikan relasi antara politik humor dan kartun yang ada di negeri ini. Yang ia tak hanya memberikan efek sosial tapi juga menerapkan –politik humor- di dalamnya.
Melalui buku ini, kita akan mendapatkan suguhan tak hanya sejarah kartun yang ada di surat-kabar di negeri kiita, tapi kita juga disuguhi sepenggal biografi dan catatan kecil mengenai dunia kartunis-kartunis di negeri ini. Sebagaimana yang diuraikan dalam buku ini, para kartunis itu berbicara secara tak langsung melalui kartun yang mereka buat. Kartun itu pulalah yang merupakan representasi dari surat kabar ataupun representasi suara para kartunis nya. Ia tak hanya membawa suara masyarakat, realitas sosial, hingga lingkungan di sekitar kartunis.
Kesemua itu menunjukkan bahwa ‘kartun‘ tak bisa dianggap remeh, apalagi ketika ia sudah berurusan dengan perkara tafsir dari pembacanya. Sebagaimana kartun nabi Mohammad yang digambar Kurt Westergaard yang menggemparkan dunia. Barangkali kartun yang serupa di surat kabar di negeri ini belum sedemikian gemparnya, tapi setidaknya kita memandang bahwa melalui kartun itu pula para kartunis berbicara perkara-perkara penting di negeri ini yang tidak bisa kita remehkan efeknya. Melalui kartun itu pula metode perlawanan sebenarnya menemui alternatifnya, yang tak harus dimainkan melalui demonstrasi, melalui protes, tapi melalui gambar yang dimainkan oleh para kartunis kita.
*)Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.