Kayanti mengerutkan dahi, merasa tidak percaya dengan apa yang telah dilihatnya hari ini. Di depannya Mak Asih telah terbujur kaku, sang pemilik warung itu telah meninggal shubuh tadi. Mak Asih memang sudah tua, tapi dia sangat sehat. Kemarin, ketika ia berbelanja beberapa bumbu dapur di warungnya, Mak Asih sempat menggodanya, ” Rahmannya kemana, Yan?” Kayanti biasanya tidak menyahut, hanya senyum malu-malu. Sekarang wanita tua yang selalu menggodanya telah tiada, mendadak! Tapi baginya yang membuat tidak percaya adalah tentang kata hatinya kemarin hari, tepat selepas dia berlalu dari warung Mak Asih bahwa pada waktu itu hati kecilnya berkata, ” Andai Mak Asih meninggal, siapa orang tua yang akan menggodaku lagi dan akan selalu menyebut nama Rahman di hadapanku?” Dan nyatanya hari ini pengandaian itu menampakan buktinya.
Kematian Mak Asih kini meyakinkan Kayanti tentang apa yang selama ini selalu dielaknya, bahwa semua terjadi karena kebetulan! Tapi, kenapa kebetulan itu selalu terjadi berulang-ulang? Kenapa setiap kali hatinya berkata ” andai dia mati” maka tidak lama kemudian maka terjadilah hal itu.
Kayanti merinding, merasa takut dengan dirinya sendiri. Berapa banyak orang yang diketahuinya meninggal sesaat setelah pengandaian hatinya itu.
Mungkinkah masih dikatakan kebetulan tatkala hari ini ia mengandaikan tentang akhir hidup seorang artis yang hanya diketahuinya lewat televisi, maka tidak disangka besok paginya berbagai media mengabarkan tentang kematian artis tersebut. Hal serupa pun terjadi kepada wanita paruh baya yang menjadi tetangganya, kepada gadis ABG adik dari guru ngajinya, sampai kepada Bu Nur yang tak lain adalah guru sekolahnya. Jika dihitung, akan lebih dari sepuluh jari pengandaian kematian dari hati kecilnya itu terbukti.
Kayanti merasa takut kalau hal itu terjadi kepada keluarganya. Dan benar saja, di bulan puasa yang lalu sang nenek tiba-tiba meninggal, beberapa hari setelah hatinya mengucapkan pengandaian yang sama, mati!
Kayanti memang tidak menyalahkan dirinya atas kematian mereka. Dia menyadari betul bahwa maut adalah takdir Tuhan yang mutlak. Apa yang dialaminya semata karena kepekaan batinnya saja. Setiap orang dianugerahi kelebihan panca inderanya, hanya saja tingkat kepekaan yang membedakannya. Dan ia adalah bagian dari sedikit orang yang memiliki kepekaan bathn setingkat lebih tinggi.
Lama Kayanti menatap wajahnya di depan cermin. Dia berusaha mengenali dirinya. Selama ini dia merasa aneh, kenapa setiap cermin atau kaca rumah selalu menampakan sisi wajahnya yang tidak sama. Terkadang ia tidak menyadari kalau wajah cantik yang ada di dalam kaca rumah yang dilewatinya ketika dia hendak ke pasar adalah wajah dirinya. Lalu di lain waktu, dia melihat wajahnya di cermin dalam keadaan pucat. Kenapa pula hatinya bisa berkata dengan dua kalimat berbeda secara bersamaan? Kenapa dia sering terjebak pada de javu? Dan kenapa sebagian mimpi dalam tidurnya di kemudian hari menjadi kenyataan? Pertanyaan-pertanyaan itu memang sulit menemukan jawabnya. Ia hanya bisa memendamnya seraya berusaha meghempaskan rasa takut akan dirinya sendiri.
Sambil meraba wajahnya, Kayanti merasa ada “sesuatu” yang lain dalam dirinya. Memang, dia tidak melihat wujud lain di cermin itu selain wujudnya. Tapi entah kenapa, tiba-tiba keberaniannya menciut tatkala wajahnya tampak pucat tanpa darah. Kayantipun segera menjauh dari depan cermin itu, dan kemudian berwudhu.
” Kayanti, apa bapak ada?” Tanya Rahman pada suatu hari tatkala berpapasan di dekat mushola desa itu.
” Ada, Kak! Ada perlu apa?”
” Tolong sampaikan nanti ba’da ashar datanglah ke rumah, ada syukuran kecil-kecilan.” Jelas Rahman seraya melempar senyum ramah.
” Baiklah, kak!” Kayanti mengangguk.
” Ya, sudah! Kakak balik dulu rumah.”
Mata Kayanti mengikuti langkah Rahman hingga lenyap di tikungan gang. Rahman terlihat sangat ganteng jika mengenakan peci dan sarung. Pemuda itu selalu melaksanakan ibadah sholatnya di mushola berukuran sedang itu. Hatinya bergetar, bahagia luar biasa jika Rahman menyapanya seperti barusan. Cintanya bertahun-tahun tak tersampaikan, dan entah sampai kapan.
Selain seorang mahasiswa, Rahman pun dikenal sebagai seorang pemuda sholeh di kampungnya. Banyak gadis yang berjuang untuk mendapatkan hatinya. Namun rupanya Rahman berkomitmen hanya akan melakukan proses ta’aruf jika telah bekerja. Dan pasangan itu adalah wanita yang akan dijadikan istrinya. Mengetahui hal itu, Kayanti pun selalu berdo’a dan berharap agar kelak dialah yang akan menjadi tulang rusuknya Rahman.
Dan di kemudian hari setelah melewati waktu yang panjang, di mana Kayanti telah menyelesaikan sekolahnya dan Rahman telah bekerja, do’a Kayanti terkabul adanya. Tidak lama menjalani proses ta’aruf , ia resmi di nikahkan bapaknya kepada pemuda bernama Rahman.
Satu tahun pernikahan, Kayanti dianugerahi nikmat yang luar biasa. Kini, di janinnya ada segumpal daging yang sebulan lagi yang Maha Kuasa akan meniupkan ruh kepadanya dan mencatat qodo dan qadarnya. Ia tengah hamil muda, tiga bulan!
” Aku pergi kerja dulu, Yan! Jaga kandunganmu. Jangan mencuci baju! Biar aku saja setelah pulang dari kantor.”
” Tidak apa-apa. Yang kecil-kecilnya saja.”
” Baiklah, aku berangkat dulu.”
Kayanti mencium tangan suaminya, Rahman. Tidak lama kemudian Rahman memacu motornya setelah sebelumnya dia melambaikan tangan ke arahnya.
Betapa sayangnya Rahman kepada Kayanti. Sebagai suami, Rahman telah sepenuhnya melaksanakan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Tidak hanya menafkahi lahir bathin secara penuh, tapi juga kewajiban dalam mendidik istri. Karena didikan Rahmanlah pengetahuan agama Kayanti bertambah luas. Karena Rahman pula ia yang dulunya meledak-ledak menjadi lebih sabar. Intinya, banyak kebaikan yang di ajarkan Rahman. Hal itulah yang kemudian membuatnya merasa takut kehilangan Rahman. Secara tidak disadarinya kemudian hatinya berkata, ” Andai Rahman meninggal, rasanya aku tak sanggup menanggung kesedihan yang akan menimpaku.” Tapi kemudian Kayanti segera sadar dengan apa yang telah diucapkan hatinya. Dia menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengelak dari kata bathinnya. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa Rahman akan panjang umur, sekalipun pada kenyataannya Kayanti merasa takut bahwa pengandaian kata hatinya itu akan menampakan buktinya.
Hari sudah semakin sore dan hujan pun telah turun dengan lebatnya, namun Rahman belum sampai juga ke rumah. Kayanti merasa khawatir luar biasa. Berkali-kali dia menghubungi nomor ponsel suaminya itu, namun ternyata tidak aktif. Beberapa temannya yang dihubungi mengabarkan bahwa Rahman telah keluar kantor sejak jam dua siang tadi.
Hati Kayanti bergetar tatkala jarum jam sudah menunjuk jam sembilan malam. Hujan tak jua reda, sedangkan Rahman tak nampak juga batang hidungnya. Kemudian Kayanti teringat kembali kepada orang-orang yang meninggal setelah kata hatinya mengucapkan ” andai dia mati”, dan bagaimana kalau sekarang ini terjadi pada suaminya? Tidak! Tidak akan terjadi. Itu bukan firasat! Rahman baik-baik saja. Kayanti menjerit dan menjambak rambutnya. Dia membenamkan wajahnya di bawah bantal dan menangis.
Pada saat Kayanti tengah bergulat dengan kekacauan hatinya, tiba-tiba suara pagar di depan rumah berderik. Kayanti segera mengintip dari balik tirai, dan di antara lebatnya hujan itu nampaklah Rahman menuntun sepeda motornya. Kayanti menarik nafas lega, suaminya tampak baik-baik saja. Dia segera membukakan pintu dan membawakan handuk untuk suaminya itu.
” Aku merasa cemas, aku takut terjadi apa-apa.” Kata Kayanti seraya menaruh segelas teh hangat di hadapan suaminya.
” Maafkan aku. Ponselku mati. Aku tadi di suruh Pak Rehan untuk ke kantor cabang.” Timpal Rahman seraya menyeruput teh hangat kuku.
” Pantas saja beberapa temanmu bilang kalau Mas Rahman sudah keluar kantor sejak jam dua sore.”
” Iya, selanjutnya aku bertemu kawan lama dulu di rumahnya. Sampai akhirnya hujan lebat. Aku memutuskan menunggu, tapi rupanya sampai malam hujannya tak berhenti juga.”
” Ya, sudah! Mas Rahman istirahatlah pasti capek. Aku juga sudah ngantuk.”
Kayanti bergegas ke kamar dan merapikan tempat tidur. Tidak lama kemudian Rahman menyusul. Kayanti berbaring di samping kanan suaminya, mepet ke tembok.
” Aku merasa takut, mas!”
” Takut kenapa?”
Kayanti terdiam. Matanya seolah menerawang sesuatu ke arah langit-langit kamar.
” Yanti, kamu gak usah takut. Tadi memang salahku tidak mengabarimu karena ponselku mati.” Rahman kembali menjelaskan.
” Bukan itu, mas!”
” Lalu?”
” Aku takut kehilanganmu.”
” Wajar saja, kamu kan istriku. Setiap istri pasti merasa takut kehilangan suaminya.”
Rahman meraih kepala Kayanti dan menyimpannya di salah satu pundaknya. Sejenak keadaan hening, tinggallah gemercik suara hujan.
” Sepertinya besok akan banyak tamu ke rumah kita. Alangkah lebih baik jika kursi di ruang tamu itu di pindah ke teras biar di dalam lebih luas.” Rahman kembali memulai percakapan.
” Lah…emang ada acara apa, mas? Kok aku gak tahu.”
” Entahlah!” Tidak jelas jawaban Rahman. Dia malah memenjamkan matanya dan tertidur lelap.
Cuaca pagi di hari Jum’at ini terasa sangat cerah. Hujan lebat pada malam hari rupanya telah membersihkan awan-awan mendung di langit. Tumbuh-tumbuhan nampak hijau bersih. Sisa-sisa hujan masih menggenang di antara dedaunan. Udara pun terasa begitu segar.
” Yan, jangan lupa kursinya di pindah ke teras. Sehabis sholat Jum’at akan banyak tamu ke sini.”
Tanpa sempat Kayanti bertanya lebih jauh tentang tamu-tamu itu, Rahman telah berpamitan lebih dulu kepada istrinya untuk pergi ke kantor. Dan seperti biasa pula ia mengantar keberangkatan suaminya itu dengan banyak do’a: semoga dia selamat dalam perjalanan hingga kembali pulang, semoga sehat, dan semoga panjang umur.
Selepas suaminya berangkat ke kantor, dengan dibantu seorang pesuruh Kayanti segera memindahkan kursi-kursi di ruang tamu ke teras rumah seperti yang telah di pesankan Rahman.
Jam sebelas pagi Rahman telah kembali ke rumah. Kayanti merasa heran, bukankah sekarang ini masih jam kantor tapi suaminya kini pulang duluan.
” Kok sudah pulang, mas?”
” Aku minta izin. Badanku agak tidak enak. Rasanya kangen juga pengen sholat Jum’at bersama tetangga di sini. Bosan di mesjid sekitar kantor terus.”
Mendengar penjelasan sang suami Kayanti bergegas menyiapkan sarung dan baju koko pavoritnya.
” Yan, jangan koko yang itu. Yang putih aja, sarungnya juga yang putih.”
” Yang putih yang mana, mas?” Yanti merasa bingung, karena sebenarnya dia tidak hafal baju suaminya satu per satu karena sangat numpuk.
” Itu lo, Yan! Yang pemberian almarhum ayah. Yang ada bordir warna ijonya sedikit. Hmm..di sininya…di ujung lingkar tangannya.” Rahman mencoba menjelaskan tentang baju itu. Tampak ia mengingat-ingat.
” Owh ya..ya…aku ingat! Kayaknya disimpan di lemari yang kecil itu deh!” Ucap Kayanti seraya menuju ke lemari kecil di pojok kanan kamarnya.
Rahman tampak sangat berbeda mengenakan baju dan sarung serba putih itu. Ada pancaran cahaya yang tak biasanya dari wajah Rahman. Dia melangkahkan kakinya menuju ke arah mesjid, dan pandangan Kayanti mengikutinya dari belakang. Semakin Rahman menjauh, entah kenapa tiba-tiba kesedihan yang tak beralasan menyeruak di hatinya. Padahal Rahman hanya pergi ke mesjid, tapi Kayanti merasa kalau dia akan di tinggal jauh oleh suaminya itu. Ah, tidak! Itu hanya perasaan yang berlebihan saja, mungkin karena Kayanti sangat cinta pada suaminya itu. Kayanti terus mengelak dari kekhawatirannya itu. Tapi semakin dia mengelak, semakin besar pula rasa khawatir itu.
Tepat pukul satu setengah siang, nampak Rahman telah kembali dari mesjid. Kayanti segera menyambutnya dan mencium tangan suaminya itu.
” Tehnya, mas!” Kayanti membawakan segelas teh hangat untuk Rahman.
” Makasih.” Rahman menyeruput teh hangat itu, begitu nikmat.
” Bagaimana badannya, masih tidak enak?” Kayanti bertanya penuh kekhawatiran.
” Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tidur saja.” Terang Rahman dengan wajah datar.
” Baiklah, akan kurapikan dulu tempat tidurnya.”
Tidak lama setelah Kayanti merapikan tempat tidur, Rahman berbenah untuk tidur siang. Sepertinya dia sengaja tidak melepas setelan sarung, baju koko dan pecinya yang serba putih itu. Melihat suaminya telah tertidur lelap, Kayanti bergegas ke luar kamar dan meninggalkan suaminya itu sendiri.
Waktu ashar telah berkumandang dari segala penjuru. Ia pun segera kembali ke kamar untuk membangunkan suaminya itu. Dengan lembut Kayanti berucap,
” Mas…bangunlah sudah ashar!”
Tampaknya Rahman sangat nyenyak, sehingga dia tidak mendengar panggilan istrinya itu.
” Mas, sudah ashar lo…”
Rahman rupanya masih tidak mendengar, dia terlalu nyenyak. Ia mencoba menggoyangkan tubuh Rahman, barangkali dengan begitu dia akan terbangun.
” Mas…”
Kayanti mencoba memanggilnya kembali. Dia membalikan tubuh suaminya yang tidur menyamping. Dan…. tampaklah wajah Rahman yang pucat tanpa darah. Kemudian ia menyadari kalau tubuh suaminya itu dalam keadaan dingin bagai es. Tak nampak naik turun nafas di dada dan perutnya. Kayanti menempelkan telunjuknya ke kedua lubang hidung Rahman. Dan terkejutlah dia, mendapati Rahman telah tiada. Seketika ia menjerit histeris, menutup mukanya dan kemudian memeluk tubuh Rahman yang kini tanpa ruh. Rahman meninggal saat tertidur…
Maka, penuhlah rumah Rahman dengan banyak tamu, pelayat. Mungkin Rahman telah mengetahui perihal kematiannya yang telah dekat. Dia menyuruh Kayanti mengeluarkan kursi ke teras karena akan banyak tamu. Lalu dia sengaja bersholat Jum’at di sekitar rumahnya karena merasa rindu. Diapun ingin mengenakan setelan putih mulai peci hingga sarung. Wajah Rahman yang memancarkan cahaya yang tak lain dari biasanya. Sesungguhnya semua itu adalah pertanda atas akhir hidupnya. Hanya saja ia tidak menyadari, kecuali setelah Rahman tiada.
Dan tak ada hal yang paling dibenci Kayanti, selain pengandaian kata hatinya tentang sebuah kematian seseorang kini kembali menunjukan kebenarannya. Tidak jauh-jauh, sekarang hal ini terjadi pada orang yang paling di kasihinya, Rahman!
Belum ada tanggapan.