Dalam sejarah ilmu pengetahuan kita mengenali istilah marxisme, leninisme. Ia sering diartikan sebagai aliran dalam ilmu pengetahuan yang berasal dari adopsi pemikiran seseorang. Begitupun ketika kita melihat orang yang fanatik dengan Soekarno dan menamakan mereka sebagai Soekarnois, atau Soehartois. Perilaku tokoh, pemikir, presiden dan tokoh publik ikut mewariskan apa-apa yang tokoh perbuat. Ia bisa berwujud pemikiran, identifikasi perilaku, hingga ideologisasi dan pandangan yang dianut oleh tokoh tersebut. Fenomena ini wajar dalam kehidupan manusia, hal ini ikut pula membentuk kebudayaan yang ada di dalam masyarakat kita. Sifat inilah yang disebut oleh Dawkins sebagai memetika. Dalam pandangan Darwin, gen ikut mempengaruhi kebudayaan. Ia menyebut dengan istilah simpati. Kita bisa melihat contoh ini dalam pola perilaku warisan dari orangtua kepada si anak. Anak memiliki kecenderungan mewarisi sikap ayah atau ibunya. Dari sinilah, kemudian pola dan perilaku diwariskan melalui gen maupun kebiasaan dan intimitas.
Dimensi yang unik pada manusia adalah terjadinya evolusi kebudayaan di samping evolusi genetis. Evolusi genetis telah membentuk otak manusia sebagai perangkat berkesadaran yang pada akhirnya secara kualitatif membedakan manusia dengan spesies lainnya. Melalui perangkat inilah manusia dan kehidupannya mengalami evolusi kebudayaan—menciptakan symbol, mempertukarkan, dan memperbaruinya. Dawkins memperkenalkan istilah meme sebagai satuan informasi budaya terkecil yang berevolusi mengikuti pola genetis, yakni replikasi (h.116).
Melalui buku ini, Eko Wijayanto mencoba merumuskan dan menggambarkan bagaimana pola memetika ini bisa berlangsung dalam ranah kebudayaan. Sejarah kebudayaan kita di negeri ini menunjukkan adanya hal itu. Tidak hanya di dalam ranah kebudayaan fisik seperti candi, tapi juga kebudayaan kita yang berupa perilaku. Baik pola atau bentuk candi bisa ditelisik bagaimana pola atau bentuk itu diwariskan dari generasi ke generasi. Begitupun dengan kebudayaan yang berwujud non fisik seperti tarian, bahasa, adat-istiadat hingga kebiasaan manusia lainnya. Eko menuliskan ini dengan kalimat sederhana : “dalam pandangan memetika yang membedakan manusia dengan spesies lainnya adalah kemampuannya melakukan imitasi (h. 108). Setiap perilaku menyebar dari satu orang ke orang lain melalui proses imitasi merupakan meme, termasuk bahasa, praktek-praktek sosial, dan kebiasan personal”. Contoh yang paling kentara dari fenomena meme adalah ketika kita secara membabi buta mengadopsi pola pemikiran ekonomi liberalistic yang mengurangi subsidi dan memberikan kebebasan pada pasar. Apa yang kita ikuti dalam sudut pandang ekonomi ini adalah perilaku replikasi kebijakan dalam bidang ekonomi yang meniru barat. Begitupun ketika bahasa inggris, hingga kebudayaan barat merangsuk melalui cara berpakaian, hingga gaya hidup. Melalui film, sinema, hingga pertunjukan budaya, sebenarnya telah terjadi persaingan untuk menunjukkan survivalitas mana yang menang. Antara kebudayaan luar (barat) dengan kebudayaan kita. Setiap personal ikut pula memberikan pengaruh bagi eksistensi meme dalam lingkup kebudayaan. Sebagai elemen dasar dalam seleksi alam , gen berfungsi sebagai replikator, sementara manusia hanyalah wahana survivalitas baginya(37). Gen yang egois harus melakukan segala upaya agar ia lestari tanpa batas. Hal inilah yang membuat evolusi terus berjalan. Menurut Dawkins, meme mampu bereplikasi dalam kehidupan manusia karena manusia memiliki otak yang mampu berfungsi sebagai “ mesin imitasi”.(43). Dalam pemikiran dawkins, meme digunakan untuk menggambarkan bagaimana prinsip Darwinian menjelaskan penyebaran ide dan fenomena budaya. Gen merupakan replikator biologis, sementara meme diturunkan melalui proses pembelajaran budaya (imitasi) atau mimesis(55).
Meski awalnya buku ini adalah buah karya akademik (disertasi), akan tetapi buku ini ditulis dengan gaya yang renyah. Buku ini mengurai, bahwa sebenarnya apa yang kita alami adalah bagian dari mimesis terhadap apa yang diturunkan oleh masyarakat dan keluarga kita. Itulah mengapa selalu ada pertentangan dan survivalitas untuk menunjukkan dan memenangkan dalam pertarungan kebudayaan. Bila kita menyinggung kebudayaan kita pun demikian halnya. Kebudayaan daerah sekarang lebih cenderung menghilang dan semakin tak kelihatan eksistensinya ketimbang kebudayaan barat. Hal ini dikarenakan anak muda sekarang justru melakukan replikator dengan kebudayaan barat. Sehingga baik bahasa, tarian, kesenian daerah, sampai dengan bahasa kita semakin lupa dengan yang kita punya. Kebudayaan barat tentu dalam hal ini ditopang oleh agen-agen kebudayaan baik melalui lembaga, hingga tokoh yang melancarkan agresi budayanya ke negeri kita. Selain itu, buku ini juga menembus batas-batas ilmu pengetahuan yang dianggap memiliki disiplin khusus. Justru buku ini menganggap bahwa setiap ilmu itu sejatinya satu dan ada saling keterkaitan diantaranya.
Memetika adalah istilah yang berasal dari genetika, meski demikian, Eko wijayanto berhasil membuktikan bahwa ada keterkaitan antara bagaimana memetika dipakai dalam melihat cara pandang terhadap kebudayaan kita. Ilmu memetika ini penting untuk mengatasi bagaimana kita mencari solusi bagi gegar kebudayaan yang ada di negeri kita. Pada sisi lain, kita juga merupakan aktor budaya yang dengannya menyebarkan, ikut melestarikan dan mengembangkan kebudayaan kita. Dari sinilah, ilmu memetika bisa ikut memberikan kontribusi terhadap bagaimana kita memandang fenomena budaya yang ada di negeri kita.
*)Penulis adalah Santri Bilik Literasi SOLO
Belum ada tanggapan.