Manusia adalah makhluk ingin tahu. Karena itulah, ia selalu bertanya dan berusaha mencari jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu mengantarkan manusia kepada berbagai pengertian dan penemuan-penemuan baru yang kita sebut “ilmu pengetahuan”. Akan tetapi, sebagai makhluk yang tak puas, manusia terus-menerus melakukan percobaan, penelitian, untuk mendapatkan jawaban mutakhir dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti : Darimana segalanya berasal?, Apakah alam semesta memerlukan pencipta?, Hingga mengapa segalanya ada, bukan tiada?.
“Hingga kebangkitan fisika modern, umumnya dipercaya bahwa segala pengetahuan di dunia dapat diperoleh melalui pengamatan langsung : bahwa segalanya adalah sebagaimana adanya, seperti panca indera kita. Namun, kesuksesan fisika modern, didasarkan kepada konsep-konsep seperti milik Feynmann yang bertentangan dengan pengalaman sehari-hari, menunjukkan bahwa kenyataan tidaklah demikian. Pandangan naif atas realitas pun jadi tak cocok dengan fisika modern”.
Berawal dari gagasan itulah, Stephen Hawking dan Leonord Mlodinow menuliskan risalahnya bertajuk Rancang Agung. Dulu, biasanya kejadian dahsyat di alam dikaitkan dengan ulah dewa-dewi yang usil atau berniat buruk. Bencana sering diartikan sebagai tanda kita telah menyinggung para dewa. Sekitar 5600 SM, Gunung Mazama di Oregon meletus, menimbulkan hujan batu dan abu panas. Suku Indian Klamath di Oregon punya legenda yang menautkan bencana dengan kesalahan manusia. Menurut hikayat, Liao penguasa Dunia Bawah, jatuh cinta dengan seorang manusia, putri suku Klamath yang cantik. Sang puteri menampik cinta Liao, dan untuk membalas dendam Liao mencoba memusnahkan suku Klamath dengan api. Ketidaktahuan akan cara jalannya alam membuat orang–orang zaman dahulu menggagas dewa-dewi sebagai penguasa setiap segi hidup manusia.
Hawking dan Leonard Mlodinow pelan-pelan menelusuri bagaimana pandangan filosofis manusia di masa lalu merumuskan pemikirannya mengenai bagaimana hukum alam berjalan. Pada abad ke-3 misalnya, Thomas Aquinas menulis, “Jelaslah bahwa [benda tak bernyawa] mencapai tujuan bukan karena kebetulan melainkan karena niat…. Oleh karena itu ada sosok pribadi cerdas yang mengatur segala sesuatu di alam. ”Bahkan hingga abad ke-16, Johannes Kepler (1571-1630) percaya bahwa planet punya persepsi indra dan secara sadar mengikuti hukum gerak yang dipahami “akal budi” mereka.
Berbeda dengan Kepler, semula Einstein percaya bahwa alam semesta itu statis, artinya tak mengembang maupun menyusut. Karena segala zat menarik zat lain, maka dalam teorinya Einstein mengajukan gaya anti gravitasi untuk melawan kecenderungan alam semesta runtuh ke dalam dirinya sendiri. Gaya itu, tak seperti gaya lain, bukan berasal dari sumber tertentu melainkan terjalin dalam ruang-waktu. Konstanta kosmologis menjabarkan kekuatan gaya tersebut. Ketika ditemukan bahwa alam semesta tidak statis, Einstein menyingkirkan konstanta kosmologis dari teorinya dan menyebut konstanta kosmologis sebagai kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kemudian ia menemukan teori relativitas umum.
Stephen Hawking dan Leonard hendak memberikan penjelasan serta menerangkan gagasan baru mengenai misteri alam semesta ini. “Alam semesta kita dan hukum-hukumnya tampak punya rancangan yang disesuaikan untuk menyokong kita, dan tidak bisa banyak diotak-atik kalau kita mesti ada. Itu tak gampang dijelaskan, dan memunculkan pertanyaan mengapa demikian adanya”. Lebih lanjut kedua penulis menerangkan “banyak orang yang kiranya menginginkan segala kebetulan itu dianggap bukti kerja Tuhan”.
Lewat buku Rancang Agung ini, Hawking dan Leonard justru seperti berkesimpulan sebaliknya. Melalui Teori M atau teori pemersatu yang Einstein temukan, kedua penulis justru mengatakan bahwa alam semesta memungkinkan pada berbagai teori penciptaan. Dan barangkali tampak radikal adalah kesimpulannya mengenai alam semesta ini memungkinkan diciptakan tanpa campur tangan Tuhan. Kesimpulannya ini didasarkan pada penelitian Richard Feymann dengan percobaan buckyballnya. Feymann menyatakan bahwa “percobaan buckyballnya berisi segala misteri mekanika kuantum”. Dari pengamatan pada percobaan Feymann itu, mereka menemukan bahwa Fisika kuantum memberi tahu bahwa selengkap apa pun pengamatan kita atas masa kini, masa lalu (yang tak diamati), seperti masa depan, tidak pasti dan hanya ada sebagai kisaran kemungkinan. Alam semesta, menurut fisika kuantum, tak punya satu masa lalu atau sejarah.
Penulis di akhir buku ini memberikan tawaran terhadap Teori-M, yakni teori gravitasi supersimetris. Teori ini disebut sebagai kandidat teori alam semesta yang lengkap. Jika teori-M terhingga—dan ini belum dibuktikan— maka teori tersebut akan menjadi model alam semesta yang menciptakan dirinya sendiri. Kita harus menjadi bagian alam semesta itu karena tak ada lagi model lain yang konsisten.
Meski kesimpulan dari Teori-M belum sepenuhnya bisa dibuktikan, namun penggambaran tentang misteri penciptaan alam di buku ini menyentak kita tentang apa yang kita yakini selama ini tentang apa yang menjadi tabir penciptaan. Seperti teori gravitasi konstan yang ditemukan Einstein di kala itu. Atau tentang keyakinan-keyakinan para filosof di masa lampau yang menautkan mitologi dengan kejadian yang ada di alam, tak sepenuhnya benar seiring dengan kemajuan fisika modern. Kesimpulan-kesimpulan di buku ini memang mengajak kita untuk berani berfikir lebih. Bahwa penciptaan alam semesta tak selalu dibentuk oleh satu teori yang konstan. Justru dari buku ini, kita bisa membaca kemungkinan-kemungkinan penciptaan yang masih misterius dan menantang.
*) Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengasuh MIM PK Kartasura
Belum ada tanggapan.