Buku lawas itu pesona. Melalui buku lawas kita tak hanya dihantarkan pada sesuatu yang ada di waktu yang lampau, di masa lalu, tapi kita juga diajak untuk tamasya. Membacanya membuat kita mengerti bagaimana orang-orang masa lalu melakoni hidup mereka. Darinya kita tentu saja bisa belajar lebih baik dari mereka.
Begitu pula saat membaca karya atau buku dari seorang pemikir. Kita seolah tercenung bagaimana pemikir-pemikir dahulu bisa menciptakan karya besar, monumental dan tak lekang oleh zaman. Mereka memiliki kebiasaan, aktifitas, serta kerja yang ketat. Waktu di dalam kehidupan mereka diatur sedemikian rupa, untuk sebuah kerja yang prestisius. Maka tak heran karya-karya mereka menjadi besar. Bahkan melampaui tiga hingga ratusan abad.
Apa saja yang mereka lakukan, bagaimana cara kerja mereka?, dan langkah-langkah apa saja yang bisa kita lakukan apabila hendak mengikuti jejak mereka?. Buku Pembimbing Bagi Para Pemikir karya Kurt Kauffmann memberikan gambaran detail mengenai kehidupan para pemikir di masa lampau.
Kehidupan pemikir lebih cenderung aktif, mereka bukanlah kaum bohemian, bukan orang yang sembarangan, semrawut, urakan, dan hanya menunjukkan tampilan yang norak. Mereka adalah orang yang mengatur waktu mereka sedemikian rupa, mereka adalah orang yang tertata dan memiliki visi. Kita simak di halaman 13 penulis mendeskripsikan kosmologi pemikir sebagai berikut : Â Kebanyakan para pemikir ini merentjanakan pekerdjaan sehari2 semalam sebelumnja. Mereka memulai setiap hari dengan tugas jang telah tentu. Mereka tidak menjeleweng. Mereka tidak bergantung pada ilham jang tiba2datang. Mereka tidak pasif, tidak menunggu sadja datangnja gagasan2besar setjara sekonjong2. Mereka bekerdja. Mereka bekerdja keras dan menurut suatu rentjana jang dianggapnja terlebih sesuai menurut kebiasaan hidup dan kemampuan mereka.
Para pemikir meski bekerja tiap hari mereka mengenal waktu-waktu kapan mereka harus melegakan pikiran mereka. Mereka bukanlah orang yang seserius yang kita bayangkan. Mereka juga manusiawi, bekerja dalam batas-batas tertentu. Dan yang membedakan adalah kualitas waktu mereka. Mereka mengatur satu jam yang begitu berharga untuk mencurahkan segala kemampuan mereka. Dalam bekerdja dengan otak, otak itu harus segar dan dalam keadaan baik. Keletihan mengurangi kwalitas pekerdjaan. Apabila seseorang merasa otaknja lelah, dia harus mengubah kesibukannja dan mengerdjakan sesuatu jang lain (h. 14).
Keseriusan kita yang begitu mendalam tapi tak mengenal batas justru membuat kerja seorang pemikir menjadi kaku, tak mengalir, ada gambaran menarik tentang hal ini yang dituangkan di buku ini melalui sederet kalimat berikut : Djanganlah memaksa pikiran bekerdja terlalu tjepat. Djangan anda tentukan batas waktu bagi diri anda. Dengan berbuat seperti itu, anda akan menekan kwalitas pekerdjaan anda ke bawah. Biarkanlah ketjepatan itu datang dengan sewadjarnya, sebagai hasil daripada efisiensi dan pemusatan pikiran anda. Lebih baik menulis beberapa alinea sadja, tetapi tersusun dengan sempurna daripada menulis seribu kata dalam waktu satu djam dengan tergesa2. Hendaklah anda selalu mengutamakan kwalitas daripada kwantitas hasil pekerdjaan itu (h.30).
Uniknya buku lawas ini ikut memberikan deskripsi jelas mengenai saran mengenai makanan-makanan apa yang bagus untuk pemikir. Makanan-makanan yang baik untuk membangun otak diantaranya adalah : susu, buah2an, telur, ikan, daging. Jangan minum teh atau kopi sebab kopi tjenderung melemahkan djantung (h.42).Nah, padahal yang sering dilakukan oleh kita , untuk mengusir kantuk atau lemah saat raga tak karuan, biasanya teh atau kopi justru menjadi pendamping yang ada di meja kerja. Sedangkan menurut buku ini, kopi atau teh justru melemahkan jantung.
Para pemikir bisa menjadi sejarah karena karya-karya serta tulisan mereka. Lalu, bagaimana para pemikir membuat karya yang monumental?. Tak lain adalah karena para pemikir rata-rata juga seorang pembaca yang baik. Bagaimana menjadi pembaca yang baik?. Kita bisa menyimak di lembaran-lembaran buku ini. Pertama, batjalah karja2 besar dan bentuklah pendapat anda sendiri. Kedua,batjalah untuk memperoleh keterangan2 bukan pendapat2. Ketiga, anda tidak boleh membuang waktu membatja buku jang tidak berguna bagi anda. Keempat, bolak-baliklah gagasan baru ituberkali2 dalam pikiran anda. Tanjalah kepada diri andaapakah artinja gagasan ini bagi saja?, Apakah gagasan itu mengubah pendapat dan metode saja jang dulu?. Bagaimanakah saja dapat menggunakan atau menjesuaikan gagasan ini kepada tudjuan sendiri? (h.49). Adalah djauh lebih baik membatja sedikit tetapi efisien daripada berlomba menamatkan buku2 sebanjak-banjaknja. Membatja kata2 sepintas lalu dengan tjepat bukanlah membatja (h.51).
Mengetahui bagaimana para pemikir bekerja, tentu saja membuat kita menjadi tertantang menjadi pemikir selanjutnya. Sebenarnya, berfikir adalah tugas manusia hidup, membaca Buku Pembimbing Bagi Para Pemikir karangan Kurt Kauffmann tak menjadikan kita seperti para pemikir, buku ini hanya semacam petunjuk praktis semata. Selanjutnya bagaimana pemikiran kita berguna, serta dikenang, tentu saja tergantung pada respon pembaca, serta kualitas karya kita, serta relevansinya dalam kehidupan.
Setidaknya melalui buku ini, kita bisa mengetahui bagaimana cara kerja pemikir kita yang tak tergantung ilham, tapi bekerja dan berkarya dengan penuh dedikasi serta etos yang tinggi. Inilah sebenarnya sepetik kisah yang bisa kita ambil dari membaca buku ini.
*) Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Belum ada tanggapan.