Suatu hal yang menurutku mustahil sedang terjadi padaku. Tak semestinya aku mengalami hal semacam ini. Stuck ide atau yang lebih kerennya disebut sebagai writer’s block sepertinya sedang kualami saat ini.
Sial!
Sudah berjam-jam aku duduk di depan monitor laptop, tetapi layarnya masih putih tanpa berbaris-baris paragraf seperti biasanya. Kosong.
Padahal aku sudah setahun menekuni dunia tulis-menulis. Karya-karyaku sudah bertebaran di media celak maupun digital. Namun kali ini, aku tak kunjung menemukan ide apa yang harus kutuang dalam tulisanku.
Aku terus berpikir keras memecah kebuntuan yang sedang membantaiku saat ini. Lentik jemari yang biasanya begitu lincah berpindah dari satu tombol ke tombol lain membentuk aksara merangkai kata, kini terdiam kaku di samping laptopku.
“Buatlah cerita pendek bertema senja. Seperti biasa naskah dikirimkan melalui email saya. Terakhir pengumpulan hari Rabu pukul delapan malam.” Titah Kak Bagas–guru kelas menulisku–sesaat sebelum mengakhiri kelas menulisnya tiga hari yang lalu.
Lusa sejak hari itu pun tiba. Dan kini aku tak mengerti cerita apa yang harus kutulis. Ini hanya cerita pendek, Zeka. Kenapa sulit sekali menemukan ide yang pas? Ayolah otak, bekerja lebih keras lagi.
Aku terus menstimulus otakku agar dapat terangsang dan bekerja baik seperti biasanya.
Kualihkan pandanganku sejenak menatap jendela yang mengarah ke jalan utama komplek. Terlihat awan putih beriringan bergerak ke arah barat. Jalanan juga lengang tanpa kendaraan yang melintas. Sesekali anak kecil terlihat berlarian di atas trotoar masih lengkap dengan sarung dan peci, mungkin baru pulang ngaji di surau yang berjarak tiga rumah dari rumahku.
Apakah seorang gadis yang tengah menanti ayahnya pulang berlayar di tepi pantai? Huh, baiklah!
Aku menulis dengan cepat, agar ide yang bersarang di kepalaku tidak hilang.
Eh, tunggu! Kenapa aku merasa tidak menarik dengan ide ini? Setelah beberapa paragraf tersusun, jemariku terasa kaku. Aku merasa tak yakin. Klise! Apa kata pembaca setiaku nanti bila Kak Bagas menyuruh untuk mengirim karya ini ke media? Bahkan yang lebih memalukan kalau cerita pendekku tidak lebih baik dari cerita anak-anak yang notabenenya masih anak baru, dibandingkan aku yang sudah bergabung selama satu tahun. Belum lagi kritikan pedas–yang akan kuterima bila cerita pendekku hancur–dari guru menulisku itu.
Aku menghapus semua paragraf yang sudah susah payah kutulis. Layar monitor kembali kosong melotot tajam ke arahku.
Semakin lama aku menulis, semakin aku tidak bisa menulis apa-apa. Biasanya ide liar bertebaran silih berganti di kepala, berlompat-lompatan di depan mata, hingga aku kewalahan untuk mengeksplorasinya menjadi sebuah karya. Tapi kini, satu pun belum ada ide yang menarik untuk sekedar menggugurkan tugasku membuat cerpen.
Kurang lebih sudah satu tahun aku bergabung di kelas menulis yang dibimbing langsung oleh kakak sepupuku sendiri. Berkat darinya, aku berhasil menembus berbagai media lokal maupun nasional. Tapi mengapa kali ini aku tak mampu menulisnya?
Oke, baiklah. Mungkin secangkir kopi panas akan membuat otakku akan menemukan inspirasi yang tidak terduga. Aku gegas beranjak dari kursi kayu dengan ukiran Jepara itu yang selalu setia menemaniku saat menulis.
Satu sendok makan kopi robusta, satu setengah sendok teh gula pasir, beserta air panas dari termos menyatu dalam cangkir keramik kesayanganku. Entah kenapa kopi yang aku minum dari cangkir tersebut rasanya akan lebih nikmat dari cangkir lainnya. Hanya perasaanku sendiri atau bagaimana, tapi itulah kenyataannya yang kurasakan.
Seusai secangkir kopi sudah berada di tanganku, gegas langkahku kembali menuju kamar.
Asap kopi mengepul menyeruak dalam hidung. Memberikan sensasi tersendiri ketika aku menghirupnya. Ada ketenangan, juga kedamaian. Terinspirasi dari secangkir kopi, bahwa dia tak pernah dusta atas nama rasa. Kopi punya cerita, hitam tak selalu kotor, pahit tak harus sedih. Setidaknya itu alasan yang mendasari mengapa aku begitu menyukai kopi.
Eh, tunggu!
Kopi, kopi, kopi, senja. Kopi dan senja? Benar saja! Kopi dan senja adalah dua hal yang saling terikat. Mengapa aku tak memadukan kopi dan senja saja dalam karyaku kali ini? Bagiku kopi dan senja adalah kombinasi yang tidak dapat dipisahkan. Senja selalu membimbing keceriaan dalam setiap aroma kopi yang aku hirup. Senja di mataku selalu nampak indah. Lebih indah lagi ada seseorang yang tulus menemaniku utuk menutup hari dengan senja, menceritakan tentang impian, cita, dan cinta bersama. Cih! Kenapa jadi aku yang berkhayal?
Kualihkan sebentar pandanganku sekelebat ke arah luar jendela. Langit masih tampak cerah, belum ada tanda-tanda senja akan tiba. Wajar saja, jam yang berada di pojok kanan bawah layar laptopku baru menunjukkan pukul empat lebih dua puluh tiga menit. Biasanya aku akan menemukan ide luar biasa saat melihat objeknya langsung. Jadi apa yang kutulis bukan sekedar omong kosong belaka, tapi memang benar-benar nyata dengan apa yang kulihat.
Baiklah, kutulis saja apa yang ada di pikiranku. Aku akan memulainya dengan narasi.
Sekalipun gadis itu melihat gula di hadapannya, namun ia tak menyentuhnya sama sekali. Gadis itu lebih tertarik pada sesuatu yang terasa pahit. Kopi tanpa gula. Rasa pahit itu mengingatkannya pada seorang lelaki yang setiap sore menemaninya di tepi Pantai Klayar. Riak ombak yang tenang, angin menelusup syahdu, juga rona jingga yang menyatu dengan birunya laut membentuk gradiasi yang memukau di ujung sana. Ingatannya masih tersimpan baik untuk setiap momennya. Ia juga masih ingat betul bagaimana saat lelaki itu mengucap janji akan kembali dua tahun lagi. Kekasih. Dapat juga disebut demikian.
Terhitung sejak hari di mana gadis itu melepas kekasihnya, hari ini tepat tiga tahun dua bulan lima hari mereka berpisah. Sang gadis masih tetap setia di beranda rumahnya, menatap lembayung senja ditemani secangkir kopi tanpa gula yang sudah hampir dingin itu.
Pandangannya lurus, memperhatikan daun jati berguguran silih berganti tersapu dersik angin di seberang jalan sana. Tidak terlampau jauh, hanya sepuluh meter saja bila diukur dari tempat duduk gadis itu. Sesekali rona jingga menyelinap di antara daun-daun yang rimbun.
Semenjak kekasihnya pergi, gadis itu semakin akrab dengan kopi. Karena hangatnya mampu berteman, sementara dirinya sedang menggigil dalam kesedihan. Wajahnya tampak durja, barangkali sore ini akan sama dengan sore-sore sebelumnya, penantiannya akan pupus seiring malam yang mendekap senja dalam gulita.
Senja baginya adalah kumpulan keceriaan lewat bahasa sederhana langit keemasan. Ia ingin memilikinya. Berkawan dengan segala harap yang ia bangun di dalamnya.
Aku berhenti sejenak untuk menulis narasi tersebut. Secangkir kopi tadi mungkin sudah agak dingin. Jadi aman untuk lidahku agar tidak terbakar dan mati rasa.
Sembari menikmati kopi, aku membaca ulang narasi yang baru saja kutulis. Aku adalah tipikal orang yang sangat perfeksionis dalam menulis. Bila melihat kesalahan penulisan atau kalimat yang menurutku tidak pas, aku langsung membetulkannya.
“Jika sedang menulis, teruslah menulis. Tuang apa yang sedang ada di pikiranmu. Urusan edit mengedit, itu urusan belakangan. Kalau kamu bolak-balik edit tulisanmu, sampai unta hidup di Kutub Utara juga nggak bakal selesai tuh naskah.” Ujar Kak Bagas sinis saat melihatku bolak-balik mengedit naskah yang sedang kutulis dan tak kujung selesai.
Tetapi apa boleh buat, nasehat Kak Bagas hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Aku tak bisa kalau melihat ada yang salah dalam tulisanku, takut kelupaan nanti.
Tanpa terasa sepuluh menit berlalu, sudah sepuluh halaman tulisan ini. Kini tibalah saat yang kutunggu-tunggu. Pada puluhan paragraf sebelumnya, aku sudah menceritakan kegundahan hati gadis malang tersebut. Ia amat mencintai kekasihnya. Bahkan sampai orang tuanya mengatakan lelaki itu sudah meninggalkannya, namun ia tetap tidak percaya. Gadis itu yakin, bahwa kekasihnya akan menepati janji untuk menemuinya dan segera meminangnya. Meski ia tahu, sekarang sudah lebih dari waktu yang dijanjikannya.
Kini masalahnya aku bimbang, apakah akhir cerita ini akan happy ending atau justru sad ending. Kubuat beberapa kandidat untuk mengakhiri ceritaku. Lalu kuseleksi melalui kolaborasi antara pikiran dan hati.
Aku kembali menyesap kopiku dalam dua kali tegukan. Mungkin satu kali tegukan lagi pasti tinggal ampas. Sudah tak hangat lagi. Tapi masih terasa nikmat di lidahku.
Barangkali kekasih gadis itu akan datang menemuinya lalu mempersuntingnya. Kurang lebih sesuai dengan pikiran gadis tersebut. Baiklah, akan kucoba. Namun, ketika sudah sampai empat paragraf, aku merasa kurang yakin dengan ending seperti itu. Terasa datar menurutku. Tak hanya itu, alurnya akan semakin bertele-tele bila lelaki gadis itu datang menemuinya. Aku pun juga harus menyertakan alasan yang logis mengapa lelaki itu baru datang tiga tahun kemudian, bukan dua tahun seperti yang ia janjikan. Aku kembali menghapus empat paragraf terakhir itu, dan kembali berpikir.
Setelah melalui pergolakan antara pikiran dan hati, Yap! Aku sudah menemukannya. Aku sudah sangat yakin ending yang tepat untuk ceritaku kali ini. Kuperhatikan saksama layar laptopku. Gegas jari lentikku menari lincah di atas keyboard.
Mengaduk kopi, mengadu sepi. Berkisah lagi tentang patah hati. Semoga pelukannya kelak melengkapi. Tak apa, mungkin esok akan datang.
“Gadis yang menyedihkan!” Decihku sembari menutup laptop.
Belum ada tanggapan.