Bicara kritik sastra tak mesti harus dengan kening berkerut. Santai saja, setidaknya kesan itulah yang saya tangkap ketika membaca buku kumpulan esai bernada kritik sastra garapan Tia Setiadi (2015). Melalui buku bertajuk Petualangan Yang Mustahil penulis hendak menyuguhkan dan membentangkan karya sastra dengan uraian yang membuat kita takjub sekaligus terkejut.
Pada akhirnya kritik karya sastra hanya sebagian upaya dan usaha kritikus untuk menguliti karya sastra. Tetapi bila kita lihat lebih jauh, karya sastra tetaplah sesuatu yang misterius, dan tak bisa dianggap final. Bayangkan saja bila kritik sastra ditulis oleh banyak kritikus, maka kita akan semakin memendarkan gagasan, serta betapa luasnya karya sastra.
Terlebih lagi bila kita berbicara pesan. Karya sastra melampaui hal itu. Pesan menjadi sesuatu yang terdengar begitu klise. Kita bisa simak bagaimana Tia Setiadi berpendapat soal pesan ini. “Bolehlah dikatakan bahwa secara sederhana ada dua spektrum yang saling bersitentang tentang puisi dan bahasa dalam jagat kepenyairan indonesia saat ini. Spektrum pertama menganggap bahwa sajak adalah alat komunikasi belaka, bahasa adalah penyampai pesan. Yang terpenting adalah pesan itu, bukan alatnya. Yang berpandangan demikian diantaranya adalah Emha Ainun Najib yang menganggap bahwa sajak dan bahasa adalah alat untuk berdakwah dan menyampaikan pesan-pesan sosial dan ajaran profetik terhadap masyarakat. Spektrum kedua menganggap bahwa puisi dan bahasa ada untuk dirinya sendiri” (h.17).
Maka bisa kita lihat, uraian dan cara Tia meneroka karya sastra melampaui urusan pesan dan estetis. Ia memadukan pelbagai sumber, referensi dan yang tak kalah penting, ia mengendapkan dulu apa yang ia tangkap yang ia sebut “kilatan-ketercengangan” sebelum menuliskannya.
Dari itulah kita merasakan ada perasaan takjub yang ingin dibagi kepada pembaca ketika ia menuliskan kritik sastranya. Sebagaimana ketika ia menangkap perihal urban pastoral yang ia tangkap dari sajak-sajak Ahda Imran dalam buku puisinya Rusa Berbulu Merah (2014), atau tatkala ia menemukan sebuah peziarahan yang ada di puisi Taufik Ismail yang tak hanya bernada kritik dan protes, tetapi juga ada kesan humor dan sikap kritik diri dalam puisi-puisinya.
Tak berhenti sampai disini, kita juga diajak untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang tak terperi ketika membaca karya sastra. Misal ketika penulis membaca kemungkinan lain dari puisi Afrizal Malna, yang sering ditautkan dengan sesuatu yang berbau urban dan kota yang bising, Tia justru meneroka sajak Afrizal dianggap bernada sufistik. “Membaca beberapa sajak Afrizal dalam kumpulan “Teman-Temanku dari Atap Bahasa” ini saya merasakan nafas sufistik itu, ruh transendental itu kembali menghembus sayup-sayup penaka gema musik yang melantun dari jauh. Tidak, bukan berarti Afrizal kembali menggunakan simbol-simbol sajak sufistik konvensional seperti semula, melainkan berhembusnya tenaga transendental itu sebagai “jiwa” dalam beberapa sajaknya”(h.83).
Pada esai lain, kita juga akan menemukan betapa karya sastra bisa mengajak kita untuk merasakan pengalaman yang religius ketika membaca puisi Acep Zam-Zam Noor, atau kita bisa merasakan pengalaman mendengar dendang lagu dalam puisi Iman Budhi Santosa, dan menyusuri ruang pelik bahasa yang diciptakan oleh Triyanto Triwikromo melalui kumcernya bertajuk Celeng Satu Celeng Semua (2013). Tia mencoba menguak, mendedah dan dengan sabar membuka pelan-pelan apa yang hendak disampaikan penulis dalam karya sastranya.
Melalui 7 esai kritik sastra yang ditulis penulis, kita seperti diajak untuk bertamasya secara bahasa maupun secara estetik. Kita diajak untuk menekuri, menelusuri hingga relung dan pelbagai kemungkinan yang dipendarkan karya sastra. Maka tak heran, penulis memberi pengakuan yang apik tatkala ia membaca karya sastra. “Tiap-tiap kali membaca karya sastra, entah kenapa saya selalu merasa diri saya selalu merasa diri saya sebagai pusat, dan saya bisa melihat segalanya—bahkan seluruh kerikil yang terkandung di seluruh bentangan sungai atau seluruh semut yang merangkak tekun di hutan-hutan nenek moyang” (h.vi).
Membaca buku Petualangan Yang Mustahil (2015) kita memang diajak untuk membedah, meneroka dan menyusuri karya sastra pada satu sisi, tetapi di sisi lain, kita juga diajak untuk mengakui bahwa sesungguhnya kemampuan kita begitu terbatas ditengah belantara bahasa dan keindahan karya sastra.
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya Perjuangan dan Tanggungjawab Dalam Kesusasteraan (1977) : “Tidaklah kesusasteraan itu lagi permainan yang tiada berarti, tetapi setelah dibersihkan oleh ketulusan jiwa yang menyerah mencahari kebenaran dan dimuliakan oleh kasih sayang kepada sesama manusia, dia pun menjadi sesuatu yang sesungguh-sungguhnya dan terbayanglah ia sebagai persatuan antara keindahan, kebenaran, dan kebaikan sebagai karangan trimurti yang suci mengandung zat ketuhanan yang kekal”.
Buku ini memiliki beberapa catatan penting. Tentu saja esai-esai sastra yang hadir di buku ini adalah pilihan penulis. Dan tak banyak dari sastrawan generasi 2000-an yang masuk dalam buku kumpulan esai ini. Selain itu, banyak dari esai yang dihimpun dalam buku ini, tak asing di mata pembaca sastra yang kerap membaca majalah horison, atau buku kumpulan kritik sastra DKJ. Disanalah kita akan menemukan esai-esai kritik Tia Setiadi, tentu saja bagi yang pernah membaca esai-esainya, buku ini menjadi tak asing dan cenderung tak menemukan hal yang baru di sana.
*) Penulis adalah Pembaca Buku, Pegiat Bilik Literasi SOLO, Pengasuh MIM PK Kartasura
Belum ada tanggapan.