Jawa di masa lalu nampak seperti hamparan karpet hijau. Orang sering kagum dengan menyebutnya Mooi Indie. Betapa tidak, sisa-sisa kecantikan itu masih bisa kita saksikan sampai hari ini. Di Yogyakarta misalnya, kita bisa menemui pemandangan-pemandangan cantik alam yang masih murni di berbagai objek wisata pedesaan maupun di bukit-bukitnya.
Zaman pun berjalan pelan-pelan bak seorang yang mengayuh sepeda. Ada banyak perubahan ketika kita melihat Jawa. Tidak cuma segi kebudayaan hingga sikap manusianya, tetapi juga nampak dalam ekologi (alamnya). Kerajaan-kerajaan Jawa di masa lampau masih menyisakan jalan yang penuh rerimbunan pohon-pohon, tanah yang luas, serta tanaman yang masih sesak. Keadaan seperti itu kini makin menghilang seiring dengan bertambahnya manusia yang tinggal di Jawa.
Di era Soeharto, tanah yang makin sempit ini pun menjadi perhatian pula oleh pemerintah di masa itu. Selain KB untuk mengontrol dan menekan pertumbuhan penduduk yang sisanya masih bisa kita warisi sampai sekarang, Soeharto waktu itu menerapkan program transmigrasi. Selain karena penduduk Jawa kian padat, transmigrasi diupayakan sebagai jalan agar Jawa lancar dalam proses irigasi dan pengairan. Soeharto melihat bahwa irigasi di Jawa khususnya memerlukan waduk untuk mengairi tanah-tanah yang dilihat mulai tak potensial karena masalah kekurangan air.
Bagaimana proses perubahan tanah, penggunaan, serta efek terhadap ekonomi dan sosial masyarakat di Jawa di abad 17-20 dikupas mendalam di buku Clifford Geertz, Involusi Pertanian (2016). Meski sudah pernah terbit puluhan tahun lampau, buku ini masih cukup ampuh digunakan untuk melihat perubahan tanah di Jawa. Dahulu, pengelolaan tanah begitu simpel dan tak ruwet. Sebab tanah di masa lampau masih cenderung dimiliki secara kelompok. Orang masih belum begitu ribet mengurusi status kepemilikan tanah. Sebab di masa lampau orang masih tinggal nomaden (berpindah-pindah).
Soetardjo Kartohadikoesoemo menuliskan : Menurut hukum asli maka hak atas tanah adalah sepenuhnya ditangan rakyat desa, tidak saja kekuasaan atas tanah pertanian, akan tetapi juga atas tanah yang belum digarap (ditanami), malah juga meliputi hutan belukar dan gunung jurangnya. Raja-raja tidak mengambil kekuasaan atas tanah itu, kalau ia membutuhkan tanah, maka ia minta kepada desa tanah yang diperlukan itu (dipundut) (Kartohadikoesoemo, 1984 :308).
Setelah kolonialisme masuk ke Indonesia, utamanya Jawa, maka struktur kepemilikan tanah berubah pula. Kita bisa melihat bagaimana pemaparan Geertz yang mencatat perkembangan sawah sebelum kolonialisme masuk. Perkembangan persawahan Jawa (sebelum masehi) disebabkan oleh berkah alam. Seperti yang dikatakan oleh ahli geologi Belanda, Mohr, kombinasi tersebut adalah unsur yang sudah ada dan menjadi anugerah tersendiri yaitu api, air, tanah, dan udara. Api diperoleh dari 30 gunung berapi yang masih aktif di pulau Jawa itulah yang menyediakan zat-zat makanan untuk tumbuh-tumbuhan yang tidak tersedia di dalam tanah yang tipis. Air berasal dari sungai-sungai yang pendek, deras, mengandung lumpur, yang mengalir dari deretan gunung berapi dan mengangkut mineral yang dihasilkannya ke selatan Samudera Hindia maupun utara Laut Jawa. Tanah berupa dataran tertutup yang melandai dengan drainase yang baik terbentuk oleh alur sungai diantara pegunungan tersebut menimbulkan serangkaian teater alam yang jelas batasnya dan sangat cocok untuk teknik irigasi tradisional. Udaranya merupakan hasil dari iklim yang agak lembap, yaitu peralihan antara daerah-daerah khatulistiwa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku yang terus-menerus hujan, dengan daerah nusa tenggara yang jelas mempunyai dua musim (h.50).
Setelah masuknya Belanda, sistem kepemilikan tanah pun berubah, selain dimiliki oleh kaum kolonial, pribumi pun dibuat menderita dengan adanya sistem tanam paksa. Di abad ke-19, perubahan pun terjadi, bukan hanya soal sewa tanah, tapi juga bagaimana sawah-sawah bisa diusahakan lebih efektif untuk pangan disamping dengan gencatan untuk menanam hasil perkebunan untuk ekspor Belanda. Keadaan ini dilukiskan apik oleh Geetz dengan kalimat memikat Buruh di Jawa adalah tetap seorang petani yang sekaligus menjadi buruh. Mereka bertahan sebagaimana petani rumah tangga yang berorientasi komunitas sekaligus juga menjadi buruh upahan. Kakinya yang sebelah tertancap di lumpur, dan yang sebelah lagi menginjak lantai pabrik (h.110).
Meski pesimis, Geertz di akhir buku ini menyarankan agar tanah (sawah) di Jawa dimanfaatkan optimal untuk mendukung ekonomi, hingga membuat masyarakatnya makmur pula. Ketika kemampuan, keahlian mengurus sawah sendiri makin lama tak diwariskan, maka tanah ditinjau dari ekonomi pun berubah, ia berubah jadi gedung-gedung yang bernilai tinggi investasinya. Urusan tanah di Jawa pun melupakan nasib pangan yang mau tak mau pelan-pelan mengubah tanah dari industri yang bersifat agraris berubah jadi industri murni.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Belum ada tanggapan.