Mangunwijaya atau biasa dikenal dengan sebutan Romo Mangun, adalah seorang yang humanis. Humanisme Romo Mangun tak hanya tersingkap dalam pelbagai karya yang ia tinggalkan, tetapi juga dari praktek dan laku hidupnya. Perjuangannya seperti melampaui identitas yang melekat pada dirinya. Tak hanya dikenal sebagai seorang rohaniawan, budayawan, ia juga dikenal sebagai sastrawan yang dimiliki oleh negeri kita. Namanya disejajarkan dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Pramoedya Ananta Toer.
Perhatiannya begitu serius dalam urusan pendidikan. Bambang Hidayat mengatakan, pemberdayaan adalah jati diri kemanusiaan Mangunwijaya. Sekolah “Mangunan” adalah salah satu manifestasi upaya tersebut. Dilaksanakan karena kepercayaan Mangunwijaya, untuk menghasilkan manusia bebas adalah melalui pendidikan; sedini mungkin harus diajarkan diskusi dialogis, mencari, menanya, dan mempertanyakan segala kejadian yang lewat di depan atau dirasakan di dalam penala indrawinya.
Sekolah Mangunan
Melalui “Sekolah Mangunan” yang ia dirikan, ia mengabdikan dirinya untuk membangun pendidikan kaum miskin di tepian kali code. Di tepi sungai inilah, ia memberikan perhatiannya kepada anak-anak miskin. Menurutnya, masyarakat miskin memang menderita, tetapi anak-anaklah yang paling menderita akibat tak memiliki pengetahuan dan banyak pilihan dalam hidup. Kegelisahannya itu tak hanya ia tuangkan dalam cerpen-cerpen dan novel-novelnya, tetapi ia praktikkan dalam pendampingan, pemberdayaan dan membangun sekolah untuk mentransformasikan visi humanismenya.
Menurut A.Supraktiknya ada tiga model pendidikan humanisme Romo Mangun. Pertama, pendidikan menurut Romo Mangun adalah pendidikan yang egaliter. Kedua, Romo Mangun menol;ak sekularisme dari humanisme Renaisans Italia atau Humanisme “Pede” (Wilardjo, 2008), namun Romo Mangun membedakan dengan tegas antara makna agama dan iman, antara beragama dan beriman, pengutamaan pendidikan iman daripada pendidikan agama dalam pendidikan sekolah. Ketiga, Humanisme pencerahan yang mengutamakan pedagogi atau pendidikan alamiah yang sehat melalui pembelajaran bahasa, ilmu-ilmu pasti, dan alam, ilmu-ilmu sosial-budaya, serta budi pekerti, religiositas yang sungguh-sungguh kontekstual bertolak dari kebutuhan dan kepentingan anak, demi membebaskan dalam arti menyalurkan semua enerji dan kemampuannya sehingga mampu mengantarkannya menjadi pribadi yang utuh-integral sekaligus memiliki keutamaan-keutamaan sosial.
Sebagai seorang rohaniawan, ia tak nyaman dengan posisinya. Artinya, ia bergerak, berpikir dan menuangkan suara-suara nuraninya melalui gerakan, dan tulisan-tulisannya. Pembelaannya terhadap rakyat yang akan digusur di Kedung Ombo, menjadi bukti bahwa Romo Mangun adalah seorang pemikir yang terlibat. Kepeduliannya terhadap kebudayaan indonesia dan cintanya kepada bangsanya ia tuangkan dalam karya-karya sastranya yang bertebaran.
Menurut Bambang Sugiharto, humanisme adalah gerakan sosiokultural yang secara sistematik berusaha mengartikulasikan makna humanitas atau kodrat manusiawi: apa kira-kira tujuan kepenuhan hidupnya dan apa tolok ukur kemajuan peradaban moralnya. St.Sularto menilai bahwa rekam jejak Romo Mangun amat liat merasuki segala bidang kehidupan dengan fokus penghargaan tertinggi terhadap harkat manusia, yang tidak terbebas dari kekurangan, tetapi memperoleh kedudukan tertinggi di atas segala ciptaan.
Gaya Arsitektur Mangunwijaya
Selain itu, humanisme Romo Mangun juga nampak dengan konsepsi arsitekturnya. Sebagaimana apa yang ia tuliskan berikut : “Kita berbahasa, melangkah, dan berasitektur, agar kita semakin menyatakan dan menyempurnakan ada diri kita, semakin manusiawi dan semakin manusiawi”. Menurut Eko Prawoto, ada beberapa ciri gaya arsitektur Mangunwijaya. Arsitektur Mangun wijaya memiliki ciri diantaranya bersatu dengan hukum alam, bernuansa lokalitas, hemat, jujur dan jernih, kreatif, estetik dan unik, serta memiliki daya hidup dan bernuansa spiritual. Ayu Utami juga menandaskan bahwa sastra yang dibawa Romo Mangun adalah sastra yang tak hanya mengangkat sosok perempuan yang secara nasib dipinggirkan, tetapi juga mengangkat kebangsaan dan keindonesiaan.
Buku Penziarahan Panjang Humanisme Romo Mangun (2009) adalah sebuah upaya mencari bagaimana Romo Mangun menghayati, melakoni dan menuliskan ide-idenya yang bermuara pada humanisme. Meski ditulis dalam kumpulan tulisan, buku ini mampu menemukan aspek-aspek humanisme Mangunwijaya.
Namun, seperti yang dituliskan St.Sularto, Romo Mangun tetaplah buku terbuka yang tak habis untuk kita kaji, tak habis untuk kita kisahkan, tak lapuk meski jaman terus melaju. Sebab sebagaimana yang dituliskan oleh Syafii Maarif di buku ini, Romo Mangun selalu bicara tentang sesuatu yang dalam. Sehingga kehadirannya akan mengatasi ruang dan waktu dalam tempo yang panjang.
*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, tuan rumah Pondok Filsafat Solo
Belum ada tanggapan.