Oleh Budiawan Dwi Santoso
Novel baru garapan Sadik Yalsizucanlar ini berjudul Sang Musafir. Dan, lewat novel ini, kita akan membaca kisah perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi.
Seperti yang kita ketahui, Ibn ‘Arabi adalah tokoh tasawuf yang fenomenal dalam peradaban Islam. Lewat buku Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn ‘Arabi garapan Henry Corbin, kita akan mengetahui bahwa pemikiran-pemikirannya, sering kali menghentakkan kesadaran dan kemapanan kita. Apalagi, tema-tema yang ia (Ibn ‘Arabi) usung menyangkut hakikat dan makna hidup, yang juga menjadi perhatian dan problem manusia dari zaman ke zaman, yang tak pernah henti.
Bagi Haidar Bagir—seorang penggagas gerakan Islam cinta, pemikiran Ibn ‘Arabi, yang kerap berkutat dalam alam imajinasi (‘alam al-khayal atau mundus imaginalis), menempati posisi sentral. Itulah, alam yang menghubungkan dunia spiritual dan dunia yang tampak, tempat sebagian besar pengalaman tasawuf terjadi. Apalagi, Ibn ‘Arabi sebagai penggagas filsafat Wujudiah, kata Bagir lagi, pemikirannya, “… belakangan mendominasi pemikiran tasawuf di seluruh dunia termasuk di Nusantara ini.”
Adapun, saat membaca novel ini, kita akan mengalami “benturan-benturan”. Entah itu, kisah Ibn ‘Arabi yang kita simak, atau pemikiran-pemikirannya yang ia tulis, dan dikisahkan kembali oleh Sadik, seperti ini: “Pada malam setelah melihat anak-anak kurus kering di jalanan, dilemahkan oleh kelaparan, Ibn ‘Arabi menulis dalam jurnalnya. Jika jiwa berada dalam keselarasan ketika melingkupi tubuh, apa yang dilakukan oleh para pendukung keesaan ini di rumah gambaran-gambaran berhala ini?”
Nukilan tersebut menjadi gambaran bagi kita, bahwa dalam membaca novel perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi, kita harus merelakan diri sebagai pembaca yang sedang memasuki belantara kata-kata yang filosofis, puitis, logis, sekaligus analogis. Dan, saat kita ‘memasuki’-menyimaknya, dibutuhkan kesabaran dan ketidaktergesaan. Sebab, jika kita membacanya dengan tergesa-gesa, apalagi belum sepenuhnya mengetahui pelbagai hal tentang Ibn ‘Arabi, kita akan menjadi pembaca yang mendapati kehampaan saja. Kita akan menjadi pembaca sia-sia, dan barangkali akan menjadi pembaca yang mengalami ketersesatan berpikir.
Tentu, hal ini, tidak kita inginkan. Sebab, novel ini berhubungan dengan hal metafisis-ontologis. Maka, untuk itu, dibutuhkan pembacaan yang lebih kontemplatif, sekaligus dibutuhkan kemampuan eksplorasi dan rasionalisasi si pembaca.
*
Membaca novel ini, selain menambah nutrisi hati dan iman kita, juga memantik kita untuk memiliki kesadaran kolektif. Dimana, kesadaran ini kita butuhkan, terutama pada kehidupan seperti kini—kehidupan yang diliputi hingar-bingar atau konflik yang menyangkut sosial-budaya-agama.
Dan, terpantiknya kesadaran kolektif kita, berarti membuktikan bahwa novel yang disuguhkan Sadik ini, secara tidak langsung mengajak kita untuk mentradisikan berpikir mendalam. Sebuah tradisi, yang telah dibangun pada awal peradaban Islam, yang tentu saja, dalam novel ini juga tergambarkan.
Ini seperti halnya, ketika Sang Filsuf (Ibn Rusyd) bertanya pada Ibn Arabi, “Apa kesimpulanmu dari ilham dan pencerahan ilahiah? Bisakah kau lebih terus terang?”, maka, Ibn ‘Arabi menjawab dengan cara misterius, “Ya dan tidak. Hanya kedua kata inilah yang kupelajari dari semua pengalamanku hingga hari ini” (hal. 3), dimana, kata-kata ini bisa menjadi perenungan bagi kita.
Atau, ketika Sadik mengisahkan tentang Ibn ‘Arabi sedang di Cordova, kota kecil yang punya dua perpustakaan yang dipenuhi ratusan ribu buku mengenai topik yang tak terhitung banyaknya. Dan, Sultannya, seperti banyak penguasa lain, mencintai buku dan ia mengirim wakil-wakil yang mengetahui tugas mereka dengan baik ke Aleksandria, Damaskus, dan terutama ke Baghdad, untuk memburu buku-buku; lalu, para pejabatnya mengumpulkan manuskrip-manuskrip baru dan juga gulungan-gulungan perkamen kuno (hal. 126); sehingga, saat kita membaca dan menyimak pengisahan dari Sadik, kita malah tersadarkan, bahwa peradaban Islam, bukan sekadar peradaban berpikir, tapi juga peradaban buku. Dimana, mereka telah melek literasi dan menghormati buku, yang barangkali lebih baik daripada peradaban kita kini.
Dan, inilah, yang menjadi titik perhatian kita, bahwa selama kita melancong ke batin Sang Musafir, saat itu pula, kita sedikit demi sedikit, akan menyadari dan berusaha untuk tak memutus warisan intelektual, yang telah mereka—tak hanya Ibn ‘Arabi—jaga, lakukan, sekaligus ditradisikan.
Lebih lanjut, ketika novel ini telah menjadi titik perhatian (penting) bagi kehidupan kita, bukan berarti, kita telah sampai pada ‘titik’ (berhenti/ selesai) begitu saja. Justru dari hal itu—dengan menyerap dari apa yang telah disampaikan Sadik Yalsizucanlar, juga mengenai ‘titik’—kita akan mahfum bahwa ada sebuah kelanjutan dari setiap ‘titik-titik’ kehidupan yang kita lewati. Dan, ini juga, yang membuat kita tak lekas untuk menitikkan diri (memberhentikan diri/bunuh diri). Sebab, selama Sang Pencipta belum melayangkan ‘titik’ untuk kita, kita harus terus melintasi dan menuju ke titik kehidupan selanjutnya dengan sebaik mungkin.
Belum ada tanggapan.