“Menulis bukanlah untuk menempuh karier sebagai penulis melainkan untuk keperluan-keperluan sosial”
Emha Ainun Nadjib
Menjadi penulis bagi Emha adalah laku menjadi seorang yang senantiasa berhubungan, bersentuhan, berhadapan dan berdekatan dengan soal-soal sosial.
Ada satu perhatian, ada amatan, ada kritikan, ada kemarahan, ada renungan, yang lebih dalam ada hati yang disuarakan. Seiring dengan situasi yang bergejolak itu, posisi atau sikap penulis terhadap berbagai hal muncul. Ada pemihakan, ada empati, ada pikiran, ada renungan.
Emha menulis bak seorang pejalan. Emha membuka tulisannya dengan pengalaman intim dan personal, namun tak luput mengamati, merenungkan, membawa segenap wacana, membawa segenap visi yang kemudian menjadi unik, dan aktual saat ia bertemu dengan soal-soal yang selalu menukik ke jantung pokok persoalan.
Pikiran-pikirannya tentang Indonesia di masa lalu dari sudut desa hingga pandangannya tentang kota yang sedang tumbuh. Dari kebudayaan masyarakat desa sampai dengan fenomena modern dan mutakhir ia amati secara dalam dan detail. Dari soal kebudayaan, sampai soal pendidikan. Dari soal agama hingga soal pancasila.
Pikiran-pikirannya tentang nuansa hidup di desa dengan segala tetek bengeknya ia amati dan tulis menjadi rajut pemikiran yang memiliki daya jangkau bahkan sudah 50 tahun atau setengah abad. Emha menulis dengan subjek orang pertama, selain mengalami bergesernya era dan kebudayaan desa, ia menjadi saksi bagaimana desa (tempat ia tinggal) sudah mengalami perubahan yang teramat cepat. Perubahan-perubahan itu bukan hanya memberi gambaran terang tentang betapa kita gagap menghadapi modernitas.
Ada tiga bab pokok yang menjadi benang merah tulisan-tulisan Emha di buku Indonesia Bagian dari Desa Saya (2016). Ia menyebut Desa Saya, Hipokrisi, dan Sang Sufi.
Emha membuka buku dengan kisah desanya yang berubah saat berhadapan dengan teknologi dan kemajuan. Melalui tokoh Kang Kanip dan televisinya (pisyi, sebutan orang desa), Emha memberi catatan penting tentang apa yang berubah dan bergeser dari desa. “Pemuda-pemuda itu mulai banyak berlarian ke kota. Tentu saja bukan hanya tilivisinya Kang Kanip yang menjadi sebab satu-satunya. Pisyi itu hanya peletus tetapi keseluruhan hidup memang mulai bergerak ke sana. Ronda tiap malam mulai agak kurang peminatnya. Terbangan, balbalan, kombinasi nanggap pencak, pengajian di langgar, serta keasyikan-keasyikan lain yang selama ini menjadi ajang yang mengukuhkan irama kebersamaan kini mulai seret jalannya.”
Pergeseran yang perih antara bapak dengan anak, antara generasi orangtua dengan kaum muda bukan hanya menyiratkan telah pudarnya kearifan. Perubahan sosiologi desa semenjak masuknya televisi, telah menggeser kedirian. Cak Nun menulis “Tak sedikit diantara mereka mulai memandang membantu Bapak di sawah bukanlah sesuatu yang ada gunanya.”
Saya jadi ingat petuah bapak mertua saya yang juga petani. “Petani itu tidak bisa diremehkan, karena tanpa petani, kita tidak bisa makan. Begitu juga guru, tanpa guru, maka kita tidak tahu apa-apa.” Keinginan masyarakat menyekolahkan anak-anak ke lembaga formal pelan namun pasti mengubah dan menggeser kedirian sebagai manusia desa. Manusia yang dibesarkan oleh alam, kebersamaan, kedekatan emosional dan sosial.”
Pergeseran manusia desa yang berubah menjadi manusia “entah” itu, bukan hanya menjadi gejolak bagi batin dan nadi masyarakat desa, namun telah meluluhlantakkan apa yang sudah ada di desa selama ini. “ Kita justru sedang giat-giatnya menumbuhkan dan mengukuhkan sikap ental hidup sedemikian rupa, yang malahan merupakan musuh dari kreativitas, selektivitas, produktivitas dan prospek berteknologi tepat.”
Soal-soal keindonesiaan dilihat Emha dengan metafora yang khas dan perumpamaan-perumpamaan yang memancing pembaca untuk diajak berdialog dengan batin. Saat bercerita tentang maling yang ada di desanya Emha mengajak pembaca berdialog dengan diri kita, untuk tidak selalu memberikan penghakiman atas perbuatan seseorang yang salah. Emha seolah bertanya “Bisakah hukum kita memperlakukan kesalahan, kejahatan menyeluruh dari berbagai motif, sebab dan asal muasal kejahatan itu dilakukan seseorang?, sehingga tidak sekadar hukuman atau ganjaran dari apa yang mereka perbuat, tapi mengapa mereka melakukan kejahatan seperti itu?.” Sayang sekali hukum kita bukanlah hukum yang bisa melihat secara rigit dan rinci mengenai sebab musabab persoalan kejahatan dan kriminalitas. Emha mengatakan, “Alangkah lemahnya hukum. Kita hanya mampu mengadili maling-maling. Kita tidak mampu dan secara formal tidak sah mengadili “ibu” yang melahirkan kemalingan seseorang. Bahkan, kita adalah pendorong aktif dari lingkungan, sistem, dan proses yang memproduksi maling-maling.”
Potret, pergeseran, segala polah laku manusia desa, sampai dengan perubahan-perubahan kebijakan baik dalam soal agama hingga kebudayaan diamati oleh Emha melalui kaca mata orang desa yang apa adanya, namun menggelitik. Saat membincangkan tentang moral dalam kesenian dan kebudayaan ia melontarkan satu nada kritik yang tajam terhadap sastrawan atau seniman. “ Kalau kita mau jujur,, kita pasti melihat adanya gejala eksklusivisme kesenian yang membuatnya asing, setidaknya kurang akrab, dengan soal moralitas. Dalam banyak hal, eksklusivisme itu menumbuhkan sinisme dan sikap apriori terhadap moralitas.”
Apa yang ditulis Cak Nun ini sesuai dengan zaman sekarang. Saat ini orang tidak peduli pada moralitas seseorang. Ada pemisahan, ada pemenggalan hubungan antara seniman dengan kehidupannya di luar seniman. Moralitas bukan hanya menjadi wacana yang dianggap usang, tapi juga diabaikan.
Indonesia Bagian dari Desa Saya mengajak kita masuk dan meresapi kembali denyut nadi desa. Desa dengan segala pergeseran, perubahan dan perkembangannya menyibak soal-soal besar bangsa kita. Segala kerumitan, masalah, serta perubahan mentalitas kita sebagai sebuah bangsa, pada akhirnya bermula dari desa. Saat kita menjadi manusia kota itulah, diam-diam kita merindukan, merasakan ada yang hilang, ada yang berubah, ada yang telah kita tinggalkan tidak hanya tempat, tetapi juga kenangan, kebudayaan, yang menyeret kita kedalam arus besar modernitas yang tentu saja layak kita hadapi dengan kehati-hatian yang dalam.
Belum ada tanggapan.