Dahulu, manusia begitu akrab dan intim dengan hutan. Hutan adalah ruang, sekaligus rumah yang dijadikan tempat untuk hidup dan menggantungkan kehidupan. Tetapi seiring berjalannya waktu, hutan kemudian ditinggalkan dan tak lagi menjadi tumpuan manusia. Bila sebelumnya manusia begitu akrab dan bersahabat dengan makhluk yang ada di hutan, kini makhluk yang ada di hutan cenderung tak bisa dengan mudah menerima manusia sebagai bagian dari lingkungannya.
Manusia makin berjarak dengan hutan. Maka ketika manusia tersesat di hutan, ia cenderung akan mengalami ketakutan dan tak selincah di masa lampau. Perasaan seperti itu pula yang dialami oleh Gadis Tanpa Nama, seorang bocah yang berumur empat tahun, yang ditinggalkan oleh penculiknya di hutan.
Dikisahkan di masa Si Gadis diculik, di tahun 1950-an, Kolombia akrab dengan peristiwa penculikan, perdagangan manusia, korupsi, narkoba, kejahatan dan ketidakadilan. Pada situasi seperti itulah, si gadis cilik ini mesti berjuang dan bertahan mempertahankan hidup. Selama kurang lebih sepuluh tahun, ia mengalami kehidupan di hutan dan tumbuh dengan naluri hewan yang lebih kental. Ia mengalami pertumbuhan masa kanak-kanak dengan benda-benda yang alami. Ia menyentuhi kacang, ia ikut merebut makanan bersama kawanan hewan lainnya. Ia juga diasuh dan dijaga oleh seekor monyet.
Setelah kurang lebih selama sepuluh tahun, mulai tumbuh pula pencarian jati dirinya sebagai seorang manusia. Awalnya bermula dari pengamatannya untuk melihat dunia di luar hutan. Ia pun berjalan-jalan hingga menemukan suku pedalaman. Ia mulai mencuri makanan untuk mempertahankan hidupnya. Semakin sering ia mengamati, semakin sering keinginannya untuk mencari jati dirinya. Tetapi rupanya panggilan ke hutan lebih membuatnya gembira. “Dan, kehidupan, dalam setiap bentuknya di sana, sangatlah berlimpah. Rasanya seakan-akan setiap hari aku melihat sesuatu yang berbeda, entah dalam bentuk burung yang berkicauan, cahaya yang menari-nari di sekeliling genangan air, jalan setapak baru, pemandangan baru, teriakan atau nyanyian asing”(h.130).
Bermula ketika ia ditangkap pemburu hutan bersama hewan-hewan yang berasal dari hutan, Gadis cilik ini pun mengawali kehidupan barunya. Di rumahnya yang baru, sekaligus asing, gadis ini pun mengalami ketakutan sekaligus perasaan senang dan penasaran mempelajari lingkungan di sekitarnya. Termasuk mempelajari bahasanya sendiri, bahasa manusia. Di rumah kompleks pelacuran itulah, ia kemudian sadar bahwa dirinya telah dijual.
Ia pun dilatih oleh sang majikan untuk melakukan kebiasaan yang berbeda dengan di hutan, yakni kebiasaan yang dilakukan manusia. Termasuk dalam membersihkan diri, maupun berpakaian. Hal ini semula menyusahkan baginya, tetapi lama-lama si Gadis menyadari apa yang menjadi kebiasaan manusia.
Setelah mengenali keluarga di rumah Anna Karmen, ia pun ingin mendekat lebih jauh mengenai apa yang ada di keluarga ini. Malam itu, saat kedua gadis berkencan di dalam mobil, ia mengikutinya. Semula kedua gadis itu marah, tetapi setelah itu, mereka membiarkan Gloria (nama yang diberikan oleh Anna Karmen). Ketika mobil itu kecelakaan, hanya Gloria yang kemudian selamat.
Selepas dari rumah Anna Karmen, ia pun justru mendekam di penjara karena peristiwa kecelakaan yang menimpanya. Akhirnya dikembalikan ke rumah Anna Karmen. Ia pun merasa sepi dan sedih, mengalami penyiksaan yang lebih keji. Sampai akhirnya ia kabur dan bergabung dengan anak jalanan.
Ketika ia tak lagi bertemu teman-temannya yang ada di jalanan, ia pun menemukan rumah baru, di rumah Nyonya Santos. Saat itulah, ia dipanggil dengan sebutan lain lagi. Bila di rumah Anna Karmen, ia dipanggil Gloria, sedang di rumah Nyonya Santos, ia dipanggil Rosalba.
Setelah menemukan teman di rumah Nyonya Santos, ia menemukan Maruja teman dekatnya yang diharapkan bisa membantunya menemukan sosok ibu yang telah lama ia cari. Perjuangan dan kegigihannya itulah yang akhirnya membuatnya bertemu dengan seorang pastor yang mengantarkannya menemukan identitasnya (namanya). Akhirnya ia berkata : Inilah aku. Inilah identitasku. Aku anggota sebuah keluarga. Namaku Luz Marina dan aku bukan yatim piatu (h.381). Kisah ini membawa kita pada petualangan seorang gadis yang menakjubkan. Bukan hanya karena tokohnya seorang gadis, tetapi juga lika-liku perjuangannya untuk menemukan identitasnya kembali sebagai manusia yang utuh. Kisah ini membuat kita menjadi semakin sadar, pada akhirnya kehidupan di luar hutan ternyata bukanlah kehidupan yang aman, dan nyaman, tetapi juga lebih liar dan brutal daripada di hutan.
Belum ada tanggapan.