Pernahkah kita, membayangkan saja, bagaimana rasanya menjadi seorang yang tidak normal?. Mempunyai dunia sendiri, memiliki keasyikan sendiri, yang bagi orang lain mungkin dianggap aneh, asing, dan pinggir?. Saat kita pernah membayangkan hal demikian, saat itulah kita mampu merasakan apa yang dialami oleh mereka para (difabel).
Ada hal yang tak bisa diubah, dari rencana Tuhan, dari efek dan akibat perbuatan kita. Ada dua kemungkinan orang kemudian masuk pada kaum difabel, pertama karena rencana Tuhan, yang kedua karena perbuatan kita. Bila semenjak lahir orang sudah dilahirkan dalam keadaan fisik tak sempurna, orang belum tentu akan dianggap normal. Sebab, difabilitas juga dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk pertumbuhan dan perkembangan.
Anak, yang dari kecil mengalami siksaan traumatik, atau mengalami pertumbuhan yang tidak normal secara fisik maupun secara psikologis dalam perkembangannya, maka orang akan bisa mengalami difabel. Kita bisa mengerti hal ini dari buku yang ditulis oleh Sobiatun yang bertajuk Semesta Pinggir (2016). “Aziz mengalami kesulitan belajar, ia diduga terkena disleksia. Dan menurut pengakuan ibunya, kemungkinan perkembangannya yang tidak berjalan seperti kakaknya dikarenakan saat balita dipertontonkan video berbahasa inggris. Inilah yang menyebabkan Aziz speech delay”.
Amat susah, dan teramat susah untuk mengatakan kita tidak melakukan diskriminasi, pembedaan dan garis batas antara yang difabel dan normal dalam pikiran kita. Tidak mudah, tepatnya. Tapi bagaimanapun juga, ketika kita tidak mengalami, mendekati, sampai dengan bersentuhan langsung secara emosional dengan mereka, maka amat susah dan tak mudah untuk mengatakan kita sama, kita setara, kita tak memiliki jarak.
Hal itu pula yang sebenarnya menjadi ajakan dan seruan yang dilakukan oleh Sobiatun dalam bukunya. Saya tak tahu, pertimbangan dan alasan apa hingga penulis menulis buku tentang difabel dan dunia yang dialaminya. Dan sampai berkeputusan, bahwa ia menolak tegas garis batas antara difabel dan normal.
Ada yang saya rasa penting sebelum kita menilik buku Semesta Pinggir lebih jauh. Secara kultural, Sobi memang belum mengisahkan bagaimana keluarganya, kehidupannya hingga ia memutuskan untuk menelusuri, sampai dengan memutuskan untuk dekat dan berusaha meyakinkan bahwa kaum difabel adalah sama dengannya. Hingga ia memutuskan mengajar di sekolah yang ada anak difabel.
Perjumpaan penulis dengan kaum difabel memang berawal dari ketidaksengajaan. Dan memang bukan bidang yang ia tekuni. Ia berawal dari rasa penasaran, kemudian memasuki tanpa sengaja, sampai kemudian terjun mengalami sendiri. Perasaan, ekspresi, usaha sampai dengan upaya yang ia lakukan bersama Daffa (muridnya) adalah sebuah resiko, sekaligus pilihan yang ia tempuh.
Buku ini merekam, jejak, pengalaman, refleksi sekaligus catatan emosional saat ia berhadapan langsung dengan siswa-siswa difabel. Saya sepakat dengan pendapat Sunarman Sukamto dalam pengantar di buku ini, bahwa “tantangan terbesar dalam hidup mereka bukanlah karena kondisinya, tetapi karena lingkungannya”. Apa yang dilakukan penulis, tidak sendiri, banyak orang yang berkecimpung dengan dunia difabilitas dan menuliskannya.
Di negeri ini, banyak pula lingkungan yang tak ramah bahkan mengakibatkan anak menjadi difabel. Orangtua yang membakar anaknya, yang memotong tubuh anaknya, sampai membunuh anaknya adalah gambaran sebenarnya difabilitas tak melulu takdir Tuhan, tetapi ulah tangan manusia. Saat itu menimpa seseorang, saat itulah, kita menyadari, bahwa ada yang tak adil, yang justru dilakukan oleh orang terdekat kita, atau keluarga kita.
Apa yang direkam Sobi melalui lingkungan yang ada di sekolahnya menjadi cermin, bahwa tak setiap orang mengerti, tak setiap orang ikut memberi perhatian kepada para difabel. Di sekolah saya sendiri, di madrasah inklusi, saya begitu heran tatkala teman saya sesama guru, mengalami sendiri, susah dan teramat susah menyetarakan anak “difabel”, meski secara kasat mata, saya melihatnya sebagai anak normal.
Saya rasa itu pula yang dirasakan banyak orang. Melihat manusia tanpa melihat kekurannganya, walaupun itu sudah di depan mata kita, tentu bukanlah hal yang mudah. Seruan itulah yang kini didengungkan Sobi melalui bukunya. Ada kemarahan, ada rasa tak puas, sampai bahkan putus asa untuk menjadikan manusia yang sebenarnya tak peduli dengan kita, untuk menjadi manusia utuh yang bisa merasakan yang kita rasakan, sampai mengerti bahasa dan kemauan kita.
Prosa dan pengalaman yang ditulis penulis di buku ini membuat kita sedikit mengenali emosi, pengalaman, serta gambaran dunia difabel yang diangkat melalui narasi yang apik. Meski masih banyak kekacauan editing di buku ini, buku ini mampu mengajak pembaca takjub. Kita simak bagaimana penulis menyajikan pengalamannya dalam bentuk puisi berikut ini : Pengandaian paling menawan adalah kecacatan. Jika kau menyaksikan menghilangnya sesendok es krim di atas lantai yang panas, tak hanya ada pencairan lalu penguapan disana, tapi juga urat-urat keterasingan juga mencoba binasa (Pengandaian Paling Menawan).
Kecelakaan hidup yang dialami penulis justru membawanya pada perlawanan arus yang dihadapi publik. Ia melawan opini publik, hendak melawan yang jamak, dan ini tak mudah. Kita tentu berharap, apa yang dilakukan oleh penulis melalui bukunya bisa membuat kita makin mengerti, bahwa dunia difabilitas adalah dunia yang sebenarnya sangat lazim, biasa dan manusiawi. Menganggap mereka bukan seseorang yang bisa kita tolong, bisa kita berdayakan, bisa kita setarakan adalah menganggap mereka sebagai liyan.
Inilah sebenarnya tantangan kita semua, bisakah kita menganggap kaum difabel sebagai manusia biasa, yang memiliki hak dan kesempatan yang sama seperti kita bertarung di rimba raya hidup ini meski dengan segala keterbatasannya. Itulah kiranya pesan yang hendak disampaikan melalui buku ini.
*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Peminat Dunia Pendidikan dan Anak
Belum ada tanggapan.