Lewat buku Menulis Bersama Anak (2016) garapan Arif Saifudin Yudistira, kita (pembaca) mengingat bahwa anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Ingatan ini tak bisa kita abaikan, sebab, dalam kehidupan selalu ada perubahan dan pergantian, seperti ungkapan ini: “bahwa suatu generasi akan diambil alih oleh generasi berikutnya.”
Pengambilalihan, atau tepatnya akan diteruskan oleh generasi berikutnya inilah, yang turut menyelimuti kita (orang dewasa-orang tua). Apa yang akan dipersiapkan, diwariskan pada anak-anak kita? Apakah harta-materi, seperti rumah, kendaraan, ponsel, apalagi gaya hidup mewah dan kapitalistik? Ataukah hanya dibiarkan begitu saja tanpa arahan, sehingga, anak-anak menjadi telantar, atau terjerumus ke jurang kehidupan? Tak semua dari kita tega atau melakukan begitu saja, salah satunya, Arif Saifudin Yudistira, penulis buku ini.
Dari buku ini, ia sadar betul akan kewajiban memerhatikan dunia anak-anak. Apalagi, profesinya sebagai guru sekolah dasar semakin memperkuat dirinya untuk memberi kontribusi terbaik dan ia miliki, seperti dalam hal menulis.
Dalam bidang menulis ini, ia sebagai guru dan penulis telah mampu menjadi guru menulis bagi anak-anak didiknya. Seperti, telah dipaparkan lewat kisah-kisah sederhana mengajar dan mendidik di bidang menulis, tepatnya saat mengampu ekstrakurikuler jurnalistik. Di situ, ia mengajarkan dan memberi teladan mengenai dunia, tak bisa terlepas dari dunia literasi. Yakni, membaca, mendokumentasi, menonton film edukatif dan diapresiasi, mengamati realitas di sekelilingnya, tanpa lupa mewawancarai, serta memotret realitas di sekeliling lewat jepretan kamera maupun kata-kata (menulis, baik menulis reportase, catatan kecil, puisi, dan cerpen).
Dari semua itu, Arif menjumpai dan menemukan bakat-bakat tak terduga dari anak didiknya. Anak didiknya semakin kreatif, jujur dalam mengutarakan pikiran, dan tentu, semakin sadar dan peduli terhadap realitasnya. Hal ini, seperti terlukiskan pada puisi Baiquni berjudul Rumput, begini: “Tanpa kau aku tak bisa hidup/karena kau sumber dari alam/sapi memakanmu dan kami/memakan sapi.” Puisi itu memberi pesan pada kita (pembaca) untuk menyadari makhluk hidup-menyadari alam, bahwa kita saling membutuhkan, sehingga dari hal itu menimbulkan saling mengerti satu sama lain.
Di sisi lain, dari sumbangsih dan teladan dari Arif pada anak didiknya, secara tersirat, ia semakin mengerti, bahwa guru bisa dibilang ‘guru’, sebab guru tak merasa menjadi ‘guru’ apalagi menggurui. Ini didapati dari kebersamaannya dengan anak-anak. Dan, dari mereka jugalah, ia (Arif) dididik oleh anak didik, meski tak tersirat.
Maka, dari pengalaman guru (Arif Saifudin Yudistira) bersama anak didik, begitu sebaliknya, buku ini bisa memberi wacana alternatif dalam mendidik dan berinteraksi bersama anak-anak (didik). Dimana, tak sedikit anak-anak sekarang semakin keluar dari ‘jalan lempang’, disebabkan ketidakbisaan atau ketidakpedulian kita (tak hanya saya atau guru saja) terhadap masa depan anak-anak, terutama dalam hal membentuk mentalitas seorang anak yang kuat dan baik.
Belum ada tanggapan.