Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin di dalam sekolah (guru), menjadi guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak
(Dibawah Bendera Revolusi, halaman 612)
Pekerjaan menjadi seorang guru lebih merupakan panggilan hidup daripada sekadar memasok ilmu pengetahuan kepada murid. Menjadi guru adalah kerja yang tak selesai pada persoalan mata pelajaran semata. Guru adalah pekerjaan yang menuntut peran tak hanya sebagai seorang profesional, tapi sebaliknya peran atau tugas sebagai manusia pembelajar.
Menjadi guru bukan berarti kita akan selesai untuk belajar. Justru guru akan memperoleh banyak pelajaran dari murid yang begitu banyak. Guru akan memperoleh pelajaran nilai-nilai yang beragam dalam menghadapi tipologi murid-muridnya. Guru adalah juga tonggak bagaimana tegaknya pendidikan di negeri ini. Guru yang berkualitas akan mendorong muridnya menjadi berkualitas. Guru yang bermoral maka akan membentuk siswa yang bermoral juga.
Di sisi lain, sekolah adalah tempat mempertemukan antara murid dan guru. Sekolah mestinya adalah tempat belajar bagi semua. Disinilah sebenarnya sekolah, guru dan murid sama-sama saling belajar.
Melalui buku Guruku, Panutanku, Sigit Setyawan mencoba mengurai bagaimana peran penting guru dalam membentuk dan mempengaruhi murid-muridnya dalam berbagai aspek. Menggunakan teori kognitif social ala Albert Bandura, penulis pelan-pelan menguraikan mengapa guru tetap memegang peran sentral dalam membentuk karakter siswa atau muridnya. Dalam pepatah jawa Guru dimaknai sebagai sosok yang digugu lan di tiru (di dengarkan dan di contoh).
Kesadaran sebagai Guru
Di jaman sekarang, barangkali model guru sudah berubah dibanding guru di masa lampau. Perubahan bukan hanya terletak pada bagaimana perkembangan metode dan teknik pengajaran. Tetapi juga perkembangan murid yang semakin mengenal dan melek teknologi. Selain itu, guru di masa sekarang dihadapkan dengan godaan profesionalisme dan administrasi. Yang kebanyakan bukan malah meningkatkan kualitas guru, tetapi sebaliknya kualitas guru malah menurun.
Sertifikasi misalnya. Sertifikasi memang sebagai sarana peningkatan kesejahteraan guru. Tapi anehnya justru membebani guru dalam aspek administratif dan kenaikan pangkat. Sayangnya, peningkatan kesejahteraan itu belum menjamin kualitas pengajaran dan pembelajaran di kelas. Persoalan kesejahteraan adalah wajib, tapi bagaimana kalau kesejahteraan justru tak mendorong atau meningkatkan kualitas, inilah yang menjadi permasalahan.
Kesadaran menjadi guru tak semata dibangun atas dasar motif-motif materiil semata. Barangkali karena itulah, guru akan tetap terkenang selamanya dalam hati murid-muridnya karena ia memberikan pengaruh kuat bagi jiwa muridnya. Kesadaran sebagai guru tak hanya menuntut bahwa sebagai sosok guru ia mesti belajar dan terus belajar, tapi juga memaknai bahwa guru bertanggungjawab akan perkembangan akal dan jiwa anak didiknya.
Sedangkan dalam buku ini, secara tak langsung mengajarkan bahwasanya guru, mau tak mau akan tetap menjadi pusat perhatian murid. Apa yang menjadi kebiasaan, tingkah laku, dan cara guru mengajar akan mempengaruhi dan membentuk pribadi murid dan memotifasinya, hingga mengubah pola pikir dan perilaku muridnya. Penelitian dalam buku ini memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana cara guru mengajar, motifasi dan dorongan guru yang disampaikan secara pribadi maupun sosial berpengaruh pada siswanya. Dan dari perubahan perilaku itulah, siswa secara tidak langsung melihat guru sebagai teladan dan inspirasinya.
Guru sebagai murid
Meski menjelaskan bagaimana hubungan dan pengaruh perilaku dan keteladanan guru terhadap muridnya, buku ini belum menggali lebih jauh keterpengaruhan proses pembelajaran terhadap metode dan cara mengajar guru di sekolahan. Dalam buku ini, murid yang terpengaruh lebih dibahas secara luas dan mendetail, tapi tak mengurai bagaimana perubahan guru dalam interaksinya yang sudah terjalin dengan murid. Sebagaimana kata MH Ainun Najib, bahwa pembelajaran di sekolah itu tak hanya datang dari murid semata, tapi juga guru yang lebih banyak belajar pada murid. Sedang yang terjadi sekarang guru justru tak banyak belajar dari murid-muridnya.
Artinya guru yang diuraikan dalam buku ini hanya sebatas pada bagaimana ia mempengaruhi muridnya. Buku ini belum mengurai bagaimana sebenarnya guru juga belajar secara tak langsung dari proses pembelajaran di kelas. Misalnya sebut saja Bu Septi, Bu Winda maupun Bu Mariana yang secara tak sadar memberikan pengaruh bagi siswanya. Di sisi lain dalam kasus Bu Mariana, yang merasa kurang dalam mengajar adalah kasus guru yang perlu belajar terhadap muridnya dan proses pembelajaran di kelas. Sehingga interaksi dan hubungan antara murid dan guru menjadi tak kentara lagi.
Karena pada hakikatnya meminjam pepatah Jawa, dalam kehidupan itu kita mesti “wang sinawang” (artinya saling berkaca dan belajar). Pendidikan yang seperti inilah yang sebenarnya kurang digali lebih dalam. Sebagaimana pendidikan di jaman dahulu yang ada di taman siswa. Guru dan murid tetap saling belajar dan saling meneladani. Akan tetapi bagaimanapun juga buku ini tetap penting dalam memberikan gambaran peran guru yang secara tak langsung akan membentuk akal dan jiwa siswa yang terlihat dalam perilaku kognitifnya. Sehingga menjadi guru mesti hati-hati sebab gerak-gerik, perilaku dan kehidupannya tetap menjadi perhatian muridnya. Apalagi di era teknologi yang lebih maju, guru harus bisa memposisikan diri di dalam dan di luar sekolahan. Bila tidak, citra guru yang tak baik, ikut mempengaruhi perilaku dan sikap siswa. Sebab guru tetap menjadi panutan, dan teladan bagi siswanya sebagaimana peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Keteladanan adalah kunci apakah seorang guru layak dihormati dan disegani.
Belum ada tanggapan.