Saya tak bisa melupakan ibu. Ia ikut serta mengantarkanku bisa membaca dengan baik. Bahkan sebelum taman kanak-kanak, aku diajari membaca di rumah oleh ibu. Di taman kanak-kanak aku juga diajari oleh bu guru. Aku pun ingat di waktu taman kanak-kanak, aku diajari membaca juga. Melalui buku kecil, tipis ada latihan soal, ada pula buku cerita. Ada juga buku pelajaran yang banyak gambarnya. Memori-memori itu aku simpan di pikiranku.
Kini, setelah aku menjadi guru di Sekolah Dasar, aku pun jadi mengerti, menanamkan membaca tak sekadar mengajari anak membaca. Pada kenyataannya gemar membaca tak bisa dimunculkan meski lewat jalur sekolah. Perpustakaan-perpustakaan meski menyediakan koleksi bacaan banyak, justru sering tak dikaitkan dengan pelajaran sekolah. Alhasil, perpustakaan seolah berjarak dengan sekolah.
Kegemaran membaca pada akhirnya tak bisa diciptakan seketika. Kesimpulanku ini selaras dengan apa yang ditulis oleh Dr. Ny.Soepartinah Pakasi di bukunya Pembinaan Kegemaran membaca dan Arti Membaca Bagi Pertumbuhan Pribadi Anak di Sekolah Dasar(1982). Buku ini terbit di tahun 1982, bila mengingat waktu itu, tentu kita ingat di masa itu adalah masa Orde Baru. Di masa Orde Baru, ternyata hal seperti ini diperhatikan penuh oleh pemerintah. Tentu saja buku semacam ini hadir di perpustakaan-perpustakaan di Sekolah Dasar. Maksudnya barangkali agar guru-guru memahami, bahwa mengajarkan anak membaca itu penting.
Ada bahaya yang mengintai ketika anak-anak tak diajarkan membaca sejak dini. Mereka akhirnya lamban dalam membaca. Menurut Dr. Soepartinah, “proses membaca yang berlangsung terlalu lama dan lamban dapat membosankan murid dan dapat menimbulkan perasaan-perasaan negatif, tidak suka membaca dan tidak suka melihat buku”. Bila hal ini sampai terjadi, tentu saja anak-anak akan semakin merasakan bahwa buku tak penting dalam kehidupan mereka. Padahal horison pengetahuan yang luas dapat diperoleh salah satunya dengan membaca buku.
Dengan membaca, anak akan tenang jiwanya, luas cakrawalanya, serta luwes kepribadiannya. Hal ini disebabkan membaca bisa memantik emosi kita, empati kita, serta mengontrol perilaku kita secara tak sadar. Misalnya dengan membaca karya sastra, emosi dan jiwa kita diaduk-aduk sedemikian rupa. Kita diajak untuk marah, sedih bahkan bahagia saat tokoh di novel, atau cerita pendek kita mengalami perasaan tertentu. Secara tak langsung kita bisa ikut merasakannya saat hal itu terjadi. Itulah mengapa tak salah kalau anak-anak kita harus membaca tidak untuk membaca semata-mata, tetapi harus belajar membaca untuk mengembangkan pengetahuan dan kepribadian (h.6).
Bagaimana metode yang tepat mengajari anak-anak kita membaca semenjak dini. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mengenalkan anak pada buku. Kita bisa mengajak anak bicara bahkan sebelum anak bisa berbicara. “nak, ini buku namanya, buku ini penting untuk dibaca ketika besok kamu bisa membaca”. Dengan ucapan seperti itu saja anak akan merekam dalam memori bawah sadarnya bahwa buku itu penting. Selain itu, dengan melihat kalau kita tidak merusak, menyobek buku, anak pun secara tak langsung telah belajar bahwa buku adalah barang berharga.
Setelah taman kanak-kanak, pelajaran membaca bisa dilaksanakan dengan mengajari bagaimana cara memegang buku, membuka-buka halaman, dan mengembalikan buku ke tempatnya (h.7). Didikan ini amat berguna agar anak-anak tak menyia-nyiakan buku. Bahwa dari buku itu kita bisa tahu sesuatu, sehingga tak boleh kiranya kita merusak buku. Dengan memberi tempat yang layak buat buku semenjak kecil, kita telah memberikan pelajaran cara memperlakukan buku dengan baik. Itulah yang bisa kita lakukan di taman kanak-kanak selain mengajari mereka membaca meski tak begitu banyak.
Di Sekolah Dasar, pelajaran membaca pun mulai berubah. Di kelas satu, bila anak-anak sudah bisa membaca, maka bisa disediakan perpustakaan mini, di kelas. Dengan perpustakaan mini dalam bentuk keranjang buku, anak-anak bisa memanfaatkan waktu istirahat mereka dengan membaca. Setelah membaca anak-anak bisa diajari untuk mengembalikan buku pada tempatnya.
Sedangkan ketika di kelas dua, anak-anak bisa digiring dan dipancing untuk menemukan buku-buku kesukaan mereka. Guru-guru bisa mengawasi dan memberi masukan bacaan apa yang bagus untuk mereka. Mereka bisa dikenalkan mengenai harta karun pengetahuan di perpustakaan terutama ketika membaca buku.
Di kelas tiga, bisa dilakukan dengan memberi tugas anak membuat kliping anak, juga membuat tes pustaka, tes pustaka diartikan sebagai tulisan berisi komentar setelah membaca buku yang sebelumnya dilengkapi dengan nama, judul, nama pelaku dan penilaian mereka (h.13). Sedangkan di kelas empat, lima dan enam bisa diadakan book review.
Perpustakaan juga bisa menyediakan pengadaan koran. Anak-anak perlu dipancing untuk membaca koran diantaranya adalah untuk ; Pertama, memperluas “horison” pandangan murid. Kedua, merangsang perhatian murid terhadap dunia luar, yaitu di luar kehidupan kanak-kanak dan kehidupan keluarga sendiri. Ketiga, merangsang perhatian murid terhdap pelbagai segi dan kegiatan hidup bangsa dan manusia pada umumnya (h.11).
Dengan mengenalkan anak-anak kita pada buku dan kebiasaan membaca tentu hal ini akan semakin membuka cakrawala mereka sejak dini. Murid-murid perlu tahu buku, dan merasaka manfaatnya. Sekolah akhirnya tak boleh melupakan, memisahkan perpustakaan dengan pelajaran di sekolah mereka. Dengan begitu, peranan sekolah dasar dalam meletakkan kecintaan akan pengetahuan akan berjalan dengan lancar dengan melatih anak gemar membaca.
*) Pengasuh MIM PK kartasura, Peminat Dunia Pendidikan dan Anak
Belum ada tanggapan.