@viendi: “Seneng baca TL @anakjugamanusia, selalu bikin introspeksi diri dan terus belajar memahami anak dan orang tua:) karena aku masih seorang anak dari orang tuaku dan juga udah jadi ibu untuk anakku #inirasaku”. Lalu, akun dari @Nurul_Adhim: “@anakjugamanusia banyak menginspirasi supaya kelak bisa jadi orangtua yang bijaksana. Akun wajib buat yang udah jadi orangtua ataupun yang berkeluarga #inirasaku”.
Begitulah, sekelumit komentar pada buku berjudul @AnakJugaManusia: Jadilah Orangtua Terbaik, Sediakan Hati untuk Anak (2013), yang diangkat dari akun Twitter bernama @anakjugamanusia. Adapun kata penulisnya, buku itu “…mengangkat beberapa kultweet dan tweet yang pernah saya bagikan lewat akun @anakjugamanusia, juga pemikiran-pemikiran saya tentang mendidik anak yang belum sempat saya bagi melalui akun Twitter tersebut.
Dalam hal ini, pembaca berpikiran bahwa jejaring sosial yang dibuat dan digunakan oleh Angga Setyawan, ternyata memberi dampak positif terhadap pengikut dan pembaca akunnya. Terbukti, dalam waktu kurang lebih setahun, akun @anakjugamanusia sudah diikuti oleh lebih dari 24.000 orang dari berbagai kalangan. Namun, itu hanya menjadi bukti kuantitatif saja. Sebab, yang menjadi penting di sini adalah buku tersebut ternyata mampu memberi pengaruh bahkan mengubah cara pandang pengikutnya, khususnya orang tua dalam mendidik anak.
Kehadiran buku ini juga menjadi bukti kongkret bahwa dunia anak-anak masih saja menjadi permasalahan bagi sebagian besar orang tua. Cara mendidik anak yang humanis masih saja belum diketahui atau sulit diimplementasikan para orang tua. Dalam realitasnya, sebagian besar dari mereka masih terkungkung dengan cara didik anak yang konservatif, konvensional, dan primordial.
Setyawan memberikan beberapa contoh, bahwa masih banyak dari kita yang memperlakukan anak seperti robot yang tinggal plug and play; memarahi anaknya dengan kata-kata buruk bila mendapat nilai buruk atau menyeleweng; dan menuntut anaknya untuk menjadi anak pintar, cerdas, dan berhasil—meskipun kepintaran, kecerdasan, dan keberhasilan yang dimaksudkan orang tua masih dalam cara berpikir sempit. Semua itu justru akan menjadikan anak-anak lebih inferior, cenderung banyak gagalnya, dan mengalami kebuntetan dalam memaknai dan menjalani kehidupan.
Tentu, agar mereka (anak-anak) bisa menjadi anak sekaligus ‘menjadi manusia sesungguhnya’, kita yang dewasa dan telah menjadi orang tua, tentu perlu mengubah cara didik konservatif, konvensional, dan primordial, yang sudah saya sebutkan pada awal tadi.
Adapun Setyawan memaparkan bahwa fondasi dasar utama pendidikan seorang anak itu ada di rumah, yakni “Pendidikan Rumah.” Maksudnya begini: seberapa pun kita ingin membangun gedung pencakar langit, jika fondasinya keropos, apa jadinya?
Nah, agar fondasi tidak keropos, kita dengan anak perlu melakukan komunikasi. Bisa ditunjukkan dengan mensejajarkan mata kita dengan mata si anak ketika berbicara. Sebab, dengan begitu, ia akan merasa kita sebagai sahabat, bukan bosnya. Lalu, berbicara dengan nada tenang, dan hindari bentakan atau amarah; memberikan pujian; melihat kelebihannya lebih sering ketimbang kekurangannya; dan menciptakan lingkungan kondusif—untuk ini, contohnya, hindari menyuruh anak belajar, tetapi kita malah sedang menonton TV (hal. 25-26).
Dari pernyataan di atas pula, pembaca bisa mengambil poin penting, yakni komunikasi. Lebih lanjut, komunikasi itu adalah bahasa. Maka, tepatlah apabila Setyawan memercayai bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah dan menjadikan seorang anak sesuai apa yang dikatakan. Kepercayaan itu dibuktikan dengan mengutip penelitian tentang air yang dilakukan peneliti dari Jepang, Masaru Emoto.
Menurut penelitiannya, air memiliki struktur yang dapat berubah bentuk sesuai yang kita pikirkan, katakan, atau inginkan terhadap air itu atau sesuai bagaimana perasaan kita terhadap air tersebut. Dan, 90% dari tubuh anak-anak kita terdiri dari air. Ini artinya, apa yang kita katakan kepada anak, jika mereka percaya di level bawah sadarnya, tubuhnya yang sebagian besar adalah air akan membentuk struktur yang mengikuti ucapan kita (hal. 41-43).
Dari buku ini, pembaca pun semakin tahu bahwa kemampuan berbahasa, baik verbal dan nonverbal sangat menentukan pembentukan anak di masa depannya. Hanya saja, yang perlu diketahui lanjut adalah bagaimana cara berbahasa yang baik, tidak menyudutkan, dan tak membuat gagal bagi masa kehidupan si anak itu sendiri?
Di sini, saya tak perlu panjang lebar lagi memaparkan solusi. Sebab, penyelesaian permasalahan itu segalanya dapat diketahui oleh Anda yang akan membaca buku garapan Angga Setyawan ini. Dengan membacanya, pembaca akan lebih bijaksana lagi dalam memaknai, meresapi, dan mengambil hikmahnya, kemudian diimplementasikan sesuai dengan tingkat kehidupan pembaca sendiri.
Dan pada akhirnya, dengan meminjam kutipan pernyataan dalam buku ini juga, pembaca akan semakin tahu bahwa anak-anak adalah mahakarya Tuhan yang sempurna. Tidak ada yang pernah salah dengan desain Tuhan. Semua anak terlahir suci. Dan seketika itu juga, tugas kita hanyalah mendampinginya tumbuh dalam perasaan disayangi. Sediakan diri dan hati untuk membantu anak menemukan keinginan Tuhan dalam dirinya. Kita tidak berhak atas masa depan anak karena kita tidak ada di situ kelak.
Belum ada tanggapan.