Seorang guru adalah seorang pembelajar. Menjadi guru bukanlah alasan untuk berhenti belajar. Karena memiliki tugas yang berat itulah, seorang guru harus terus ngangsu kawruh (terus mencari ilmu). Guru yang malas belajar, akan semakin ditinggalkan. Apakah guru di Indonesia malas belajar?. Tentu jawabannya bisa bervariasi. Melalui buku Berjalan Di Pendidikan (2017) Tri Winarno menuliskan catatan-catatan kritisnya.
Sebagai guru, Tri Winarno tak mau menjadi guru yang diam. Kesehariannya ia habiskan untuk mengajar dan belajar. Ia pun membaca buku, tulisan dan koran. Bermodal tiga hal tersebut Tri Winarno menulis esai. Melalui esai-esainya ia merangkum segudang catatan kritisnya tentang pendidikan di Indonesia. Tulisan-tulisan reflektif dan penuh sentilan pun muncul sebagai sebuah usaha untuk melakoni kerja sebagai pendidik.
Pada esai Guru dan Keteteladanan menyoroti persoalan mentalitas guru. Menjadi guru harus siap untuk menjadi teladan bagi murid-muridnya. Kita disuguhi mentalitas guru yang tak cukup menjadi teladan karena berbagai persoalan. Salah satu persoalan guru adalah persoalan kesejahteraan. Guru kurang sejahtera, sehingga ia tak terlalu fokus pada persoalan anak. Di esai ini, penulis menunjukkan keteladanan Sarmidi Mangunsarkoro. Guru sekaligus tokoh pendidikan nasional ini sampai akhir hayatnya tak memiliki rumah. Penulis memberi pantikan bahwa menjadi guru tak harus selalu kaya secara materiil tetapi kaya sumbangsih dan kaya peran.
Sebagaimana kita tahu, persoalan pendidikan tak hanya ada di guru saja, tapi juga ada di murid. Persoalan murid ini pun menjadi sorotan penulis. Penulis menyoroti berbagai persoalan murid zaman sekarang. Salah satu persoalan yang muncul adalah persoalan literasi. Di esai berjudul Literasi Digital dengan Smartphone penulis memberikan sindiran kepada guru yang berhenti berliterasi. Di era digital, tak boleh ada lagi alasan bahwa Smartphone tak bisa digunakan untuk berliterasi. Melalui beragam aplikasi literer yang memudahkan para pengguna smartphone, kita bisa sedikit demi sedikit berliterasi. Semua itu tergantung pada kita sendiri.
Persoalan klasik lain yang jadi sorotan di buku ini adalah persoalan PPDB dan persoalan Ujian Nasional. Penulis memberi kritikan kepada pelaksanaan UN yang masih menggunakan soal pilihan ganda. Siswa menurut penulis tak diajak untuk berfikir kritis dan berargumen. Sedangkan dalam aspek PPDB, penulis memberi kritikan bagaimana sistem penerimaan peserta didik baru yang ada di masyarakat kita yang masih menggunakan kecurangan. Kecurangan tersebut muncul saat para calon peserta didik baru harus menggunakan SKTM (Surat Keterangan Miskin) yang dipalsukan. Mentalitas masyarakat kita rupanya masih menganggap sekolah favorit adalah segalanya.
Tokoh-tokoh pendidikan dihadirkan, renungan dan refleksi sudah dituliskan ke dalam buku. Buku Berjalan Di Pendidikan (2017) bermula dari keisengan. Iseng menulis adalah cara guru terus belajar dan berfikir kritis. Melalui buku kecil ini, Tri Winarno telah mengajak para guru untuk terus kritis dan terus belajar.
Kritisisme tak melulu disampaikan melalui megaphone, atau demonstrasi. Penulis mengajak para guru untuk terus belajar dan membaca. Kritisisme guru bisa berawal dari iseng menulis. Dari iseng menulis dan terus membaca itulah, para guru bisa lebih santun dan tetap kritis.
Dengan terus belajar dan merawat nalar kritis inilah, kaum guru diharapkan tetap waras di zaman edan. Ia tidak ikut arus dan keblinger (salah jalan). Melalui Berjalan Di Pendidikan (2017) penulis telah memberikan pandangan-pandangan kritisnya dari ruang lingkup kecil yang ia geluti. Melalui kelas, sekolah, ia menerawang jauh kepada persoalan besar dengan berbekal referensi dan bacaan dari para tokoh terdahulu. Upaya inilah yang diharapkan bisa terus merawat nalar kritis seorang pendidik.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pendidik di SMK Kesehatan Citra Medika Sukoharjo
Belum ada tanggapan.