Langit terlihat cerah, udara segar menyapa mentari pagi, mendoakan umat manusia dalam perhelatan mempertaruhkan tenaga dan pikiran untuk membuahkan upah sebagai roda nafkah. Sudah menjadi ketentuan Tuhan manusia ditakdirkan: kaya-miskin, tampan-jelek, sedih-bahagia, dan sebagainya. Yang jelas, terdapat titah Tuhan kepada umat manusia agar membaca sejumlah hikmah dibalik semua itu. Perbedaan adalah fitrah yang bisa membuat persatuan lebih indah.
Pagi itu pak Joko seperti biasa melaksanakan rutinitas jogging sebelum berangkat kerja memulai aktivitas sebagai wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Negeri Nusa Langsa. Sesekali dia mengayunkan kedua lengan bagaikan gerakan renang gaya kupu-kupu, pertanda upaya untuk melonggarkan persendian yang terasa kaku; menarik napas dari hidung dengan kuat, kemudian menghempaskannya dengan perlahan. Setelah badannya terasa segar, dia seperti biasa duduk di kursi rotan sambil membaca koran, ditemani teh hangat buatan istri tercinta.
“Pipih! tahu nggak, hari ini tanggal berapa?”, ucap Bu Mirna memulai percakapan dengan wajah berseri, seolah ada sesuatu yang membuatnya begitu bahagia. Kemudian dia mendekap suami tercinta dari belakang, dengan penuh kehangatan.
“Kalau tidak salah sekarang tanggal 23 Oktober Mih!” Pak Joko membalas obrolan istrinya tanpa menolehkan pandangan dari keseriusannya membaca koran.
“Iiiih, Pipih gimana sih, gak romantis ah”, Mirna merebut koran yang sedang dibaca suaminya dengan penuh rasa kesal. “Helooo, lihat mimih!”
Pak Joko nampak terganggu oleh ulah sang istri yang tidak bertingkah seperti biasanya. Setiap pagi Bu Mirna memulai percakapan selalu dengan judul “uang”.
“Mih, sinikan korannya!, pipih lagi asyik tadi.” Suara pak Joko sedikit bernada tinggi. “Lagian jam segini biasanya Mimih minta uang, bukan minta koran”, sindirnya mengolok istri.
Bu Mirna langsung melempar koran yang dipegang ke muka pak Joko dan bergegas ke dalam rumah dengan niat mengambil kue bolu yang sudah dipesan spesial untuk ulang tahun suaminya.
“Nih, Pipih itu sekarang ulang tahun yang ke-55”, Bu Mirna dengan nada keras dan tergesa menyodorkan kue bolu dengan lilin yang ditancapkan membentuk angka jumlah tahun, ditambah kuncir benang di atasnya sebagai sumbu.
Pak Joko dengan perasaan bersalah, memegang kedua jari tangan istrinya sembari mengecup penuh kelembutan.
Tiba tiba bu Mirna menjerit, “Aaaaaaaw! Orang gilaaaa!” sembari menutup muka dengan kedua telapak tangan.
Pak Joko terperanjat saat menengok ke belakang. Sesosok lelaki berambut gimbal tanpa mengenakan busana sehelai pun dengan asik melahap bolu bagaikan kelaparan. Kemaluan yang menggantung bagaikan gantungan kunci, dibalut lebatnya bulu dapat terlihat dengan jelas oleh Pak Joko dan Bu Mirna.
Orang gila itu terus melahap bolu hingga dalam hitungan detik tinggal sepotong. Tampak usia masih muda terpancar dari kekarnya badan Si orang gila.
“Karmiiiin! Karmiiiin! Ambilkan sapuuuuu!” teriak pak Joko memanggil asisten rumah tangganya yang sedang asyik di gudang membersihkan sepatu dan sandal bekas pemberian majikannya.
Itulah orang gila. Dia sekarang melahap bolu sambil jongkok. Tak disangka cairan kantung kemih menyemprot dari “selangnya”, ditambah bunyi “pruuuuut”. Lengkap sudah kekesalan Pak Joko melihat polah si orang gila.
Berbeda dengan bu Mirna, di tengah rasa kagetnya, diam-diam dia mengintip burung kutilang yang sedang menggantung. Hatinya berbisik, “waw, ini lebih mantap dari pipih punya.”
Melihat polah sang istri, Pak Joko langsung membentak dan menyuruhnya hengkang ke dalam rumah.
“Praaak, praaaak”, suara bantingan kursi plastik menghantam kepala si orang gila. Bagaikan memiliki ilmu kebal sakit. Si orang gila tetap bergeming tertuju pada kue bolu. Malah, bunyi “pruuuut” diikuti benda pejal keluar dari bokongnya.
Si orang gila kini menyisakan sedikit bolu ditangannya yang diremas belepotan memenuhi muka dan bibir dowernya. Kemudian dia berbalik seraya keluar bunyi “eueueueue” dari mulutnya.
“Kakek. Hehehee. Ini nasi goreng enak sekali. Nih buat kakek!”
Sisa bolu sebesar kepalan tangan bayi dilemparkan ke muka pak Joko.
“Plaak”, mendarat dengan sempurna di bawah hidung pak Joko. Sungguh sial nasib pak Joko. Si orang gila mengambil benda padat olahan perutnya kemudian dilempar lagi. Kali ini mendarat di pipi kanan.
“Anjiiiing! Taiiiiiii!” Ucapan kasar langsung membuncah dari mulut pak Joko.
Karmin tidak kunjung datang setelah dipanggil beberapa kali. Hal ini yang lantas membuat bu Mirna mencarinya ke dapur.
Karmin keluar dari kamar mandi sambil memegang perutnya. Wajahnya meringis menandakan ketidaknyamanan.
“Miiiin, Karmin! Itu tolong bapak sedang bertengkar dengan orang gila!” teriak bu Mirna kesal dan langsung membalikan badan karena merasa khawatir dengan suaminya.
Setiba di halaman rumah, Karmin dan Bu Mirna dengan napas ngos-ngosan terbelalak: melihat tangan pak Joko berlumur darah, duduk terkulai memegang kunci inggris yang kini berwarna merah. Di bawah pohon belimbing badan si orang gila tergeletak tak bernyawa.
Benteng tinggi dengan pagar gerbang yang menjulang, menjadi peredam suara tragedi tak terdengar oleh tetangga. Hal ini tentu menguntungkan posisi pak Joko. Dia langsung mengeluarkan mobil dari garasi. Dengan dibantu Karmin, membungkus mayat orang gila dengan karung goni dan membawanya entah ke mana.
Di Negeri Nusa Langsa masih berlaku hukum: yang kuat yang menang, nyawa tak berharga bagi kaum papa, apalagi orang gila. Untuk membungkam seorang saingan politik, budaya menghilangkan nyawa bukan perkara susah. Mereka tinggal memainkan drama penuh trik dan intrik.
Korupsi sudah menjadi hobi, bahkan makanan pokok pengganti nasi di negeri ini. Konon, katanya Pak Joko bisa mencalonkan anggota dewan dengan sejumlah kebohongan publik. Dia adalah anak saudagar kaya yang tak pernah mengenyam bangku SMA. Dalam silsilah keluarga pak Joko, pendidikan adalah nomor sekian. Semua cara bisa diperoleh dengan uang. Bahkan, ijazah SMA dan Sarjana diperoleh Pak Joko dengan praktek suap-menyuap, uang pelicin, atau istilah lebih halusnya uang balas jasa.
Saya pernah memergoki Karmin sedang menggosip dengan sejumlah ojek pangkalan. Dalam waktu setengah jam saya mendengar dengan jelas bahwa para tukang ojeg selalu dijadikan andalan dalam merayu masa. Hajat besar dengan tema “infak” di saat menjelang pemilihan umum sering di gelar di rumah pak Joko. Bahkan, “pengajian politik” sering dilakukan setiap malam selasa dan jum’at.
Atas dasar praktek kotor yang dilakukan pak Joko, membuat hati saya tak nyaman. Saya lebih memilih mengundurkan diri sebagai asisten pribadinya.
***
Setelah tewasnya orang gila. Hati pak Joko selalu dihantui rasa takut. Bukan takut karena aturan hukum, atau takut dengan balasan Tuhan, melainkan bayangan wajah orang gila itu selalu hadir dalam mimpinya. Hal itu membuat jiwanya tak tenang.
“Min, besok bapak ada sidang paripurna. Kamu harus bangun lebih pagi, biar bapak tidak terlalu siang tiba di kantor.” Ujar pak Joko kepada Karmin yang sedang mengeloni punggungnya.
Memang, Karmin adalah sosok multi talent dan loyal sekali sama majikannya. Hal ini yang membuatnya bisa bertahan puluhan tahun mendampingi karir pak Joko.
Hujan lebat malam itu, berkolaborasi dengan angin kencang berhasil menina-bobokan masyarakat Negeri Nusa Langsa dalam buaian mimpi. Kecuali tubuh orang-orang tuna wisma, anak terlantar, dan orang gila harus terus berkawan dengan cuaca tak nyaman. Mungkin, mereka harus terus berjuang mengisi perut di tempat sampah dengan tempat teduh sebagai pelindung.
Kokok ayam membangunkan seantero Negeri Nusa Langsa. Dari kampung ke kampung, kota ke kota, bersahutan bagaikan saling memberikan kode: bahwa perjalanan hidup baru dimulai, kematian telah tiba, atau tafsiran lain dari kamus “Bahasa Binatang” yang hanya para binatang sendiri yang akan mengerti.
***
“Min, bapak sidang dulu ya! Kamu tunggu aja di mobil: mau tiduran ke, atau jalan-jalan kalau merasa jenuh tak apa”. Karmin hanya merespon ucapan pak Joko dengan anggukan dan sedikit senyum terpaksa. Dalam hati, Karmin merasa heran. Hari ini Pak Joko begitu ramah dan santun.
“…, Hadirin yang terhormat. Perkenankan saya menyampaikan program usulan revisi undang-undang mengenai tata kelola sistem penanaman modal di negeri tercinta. Penanaman modal asing di negeri ini memang penting, tapi jangan sampai menggeser para penanam modal domestik yang kian lama kian terpuruk karena keterbatasan sumber daya manusia. Dengan kebijakan fifty-fifty, keberlangsungan industri dalam negeri nanti akan gila.”
Bayangan orang gila muncul dalam kertas naskah sambil mulut dimonyongkan seraya mengejek. Kini, di alam roh orang tersebut sudah tidak gila. Seraya mengejek dia berucap, “Hey, tua renta! Penghianat bangsa! Aku tahu bahwa kau lebih berpihak pada penanaman modal asing secara besar-besaran, dan berusaha mengebiri para pengusaha domestik!” sambil nungging, bayangan orang gila berteriak, “Nih, jilati bokongku! Brengsek!”
Seluruh peserta sidang sontak ricuh tertawa dan menyorakan kata-kata ejekan kepada pak Joko. Dia mencoba untuk menenangkan diri, karena bayangan wajah orang gila, yang dulu dibunuhnya tiba-tiba muncul di kertas naskah.
“Maaf”, saya lanjutkan, “Hadirin yang terhormat. Agar kebijakan di bidang penanaman modal ini berjalan dengan lancar. Setiap anggota dewan, nanti akan gila.”
Lagi-lagi, bayangan wajah orang gila itu muncul kembali dalam kertas naskah. Kali ini membuat pak Joko lebih kaget. Dalam penampakannya, orang gila itu memamerkan kemaluannya tepat di hadapan wajah pak Joko.
Menyadari ucapannya yang ngelantur. Pak joko sebagai wakil ketua dewan, yang mengemban tugas menjadi mediator sidang antar fraksi, merasa malu luar biasa. Dia memutuskan untuk langsung walk out dari ruang sidang.
Malu, marah, kesal, mumet, dan rasa lainnya, teramu menjadi satu dalam keresahan hati yang luar biasa menimpa pak Joko saat itu.
“Kamu duduk di belakang!” Ujar pak Joko kepada Karmin dengan nada ketus.
Pak Joko melampiaskan marahnya dengan menancapkan gas kian cepat melebihi batas normal kendaraan pada umumnya. Walau dengan kecepatan tinggi, perjalanan itu terasa amat lama. Hal ini karena rasa kesal dan marah menguasai hati pak Joko.
Mobil pak Joko berhenti tiba-tiba di jalan raya sekitar kebun karet. Suasana jalan lengang, karena jalan raya tersebut merupakan jalan pintas yang menjadi alternatif para pengendara yang hendak menuju daerah perkampungan. Pak Joko melihat sejejeran orang berambut gimbal telanjang bulat, kurang lebih sepuluh orang menghadang mobilnya yang sedang melaju kencang.
“Karmin! Kau usir orang-orang gila itu!, cepat!” perintah pak Joko kepada Karmin.
“Orang gila yang mana pak?” jawab Karmin dengan penuh penasaran. Nyatanya mata Karmin tak melihat orang gila yang dimaksudkan majikannya.
Pak Joko langsung keluar mobil, sembari mengambil pistol dari laci di bawah setir. “Duar, duar, duar.” Tembakan tiga kali diarahkan ke depan oleh pak Joko. Hanya rasa heran dan takut mulai melanda Karmin. Dengan kesimpulan bahwa majikannya telah gila, Karmin mengendap-ngendap kabur memasuki kebun karet. Dia masih sayang akan nyawa dirinya. Lebih baik kehilangan pekerjaan daripada kehilangan nyawa.
Selang beberpa meter dalam langkah kaburnya, Karmin mendengar teriakan “Nanti akan gilaaaa!” diikuti bunyi letusan pistol terakhir, “duar”. Suara pistol yang terakhir ini hampir berbarengan dengan suara badan gempal yang terjatuh. Karmin, dalam hati yang gentar mencoba membalikkan badan dan pandangannya. Pak joko terkapar di tengah jalan raya yang sepi, dengan aliran darah keluar dari hidung dan telinganya.
Belum ada tanggapan.