Sebagai seorang akademisi yang berfokus pada ilmu filsafat, B. Herry Priyono, tidaklah mengherankan ketika ia selalu skeptis, radikal, reflektif, dan menyeluruh terhadap segala peristiwa yang kemudian menggelitik hatinya. Namun dilain sisi, Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan diluncurkan dalam rangka memenuhi acara pidato kebudayaan yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Dalam perspektif intelektual, Herry, sebagai orang yang tersadar dan mampu melihat kontradiksi dan permasalah-permasalahan yang muskil ini sekiranya, baginya, adalah tanggung jawab yang tidak terelakan lagi. Yakni untuk memberitahukan kebenaran!
Dalam sudut pandang—yang secara analitik bisa diklasifikasikan dalam filsafat post-strukturalisme—Herry, kisah tentang istilah biasanya terdistorsi dan menyempit dalam sebuah label yang luas. Seperti halnya pemaknaan tentang demokrasi yang terbatas pada arti pemilihan umum. Dalam hal ini, Herry, di awal artikel mampu mendesak para strukturalis-positivisme dalam sebuah permasalahan keterbatasan makna dalam sebuah tanda yang cenderung nir-nilai.
Neoliberalisme dewasa ini dianggap ‘hanya’ sebagai prinsip perekonomian global. Padahal kalau diruntut dari sejarahnya samasekali tidak demikian. Dalam proses materialnya memang demikian, dimana trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi, misalnya, memang merupakan kebijakan ekonomi neoliberal. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa bukan itu sebenarnya Neoliberalisme.
Banyak orang menganggap istilah ‘neo-liberalisme’ digunakan dewasa ini pada mulanya adalah nama yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem. Secara genealogis, itu salah kaprah. Menurut Herry di awal dasawarsa 1930-an, Jerman mulai diburu hantu Fascisme yang membawa suasana ganjil campuran antara totalitarianisme dan kolektivisme. Dalam suasana itulah, sekawanan ahli ekonomi dan hukum yang terkait dengan Universitas Freiburg mulai mengembangkan suatu gagasan ekonomi-politik liberal yang kemudian disebut ‘Mazhab Freiburg’.
Semenjak itu mereka mencoba untuk menyebarkan gagasanya melalui jurnal Ordo. Dan dari sini pulalah, mereka—dan gagasannya—disebut Mazhab Ordo Liberal. Ordo-Liberal sering kali juga disebut ‘Neo-Liberal’, tetapi dalam pengertian sangat berbeda dari arti ‘neo-liberal’ dewasa ini. Awalan ‘neo’ (baru) dipakai untuk membedakan diri dari liberalisme abad ke-18 dan ke-19, dengan memasukkan kritik dari gagasan sosialisme. Dalam gagasannya, Ordo-Liberal, menyatakan bahwa apabila persoalan kaum liberal di abad ke-18 dan ke-19 adalah bagaimana menciptakan kebebasan ekonomi dalam tata-negara yang tidak bebas, masalah kaum liberal di paroh pertama abad ke-20 adalah bagaimana mendirikan tata-negara dalam suasana kebebasan ekonomi yang sudah ada.
Neoliberal sebagai filsafat ekonomi pasar sosial, dimana dipaparkan oleh Herry dalam beberapa poin: pertama, di jantung filsafat Ordo-Liberal adalah gagasan anti-naturalistik tentang ekonomi pasar. Menurutnya pasar tidaklah terjadi secara alamiah, artinya pasar dapat dibentuk, dihancurkan, dan diubah menurut desain kita. Masalah sentral bukan apakah‘pasar’ bebas atau tidak-bebas, tetapi bahwa kinerja pasar selalu butuh Vitalpolitik, yaitu tindakan politik membentuk nilai-nilai moral dan kultural bagi pengadaan barang/jasa ekonomi, dan sekaligus untuk mencegah kolonisasi prinsip ekonomi pasar atas bidang-bidang moral dan kultural.
Dalam dinamika perkembangannya, Ordo-liberal berdiri diatas tiga mazhab. Dimana akhirnya, mazhab libertarianlah yang menerus derap langkah ordo-liberal. Mereka mulai dari premis bahwa semua bentuk tatanan yang baik terbentuk secara spontan dari prinsip kebebasan, dan kebebasan itu hanya terlaksana dalam tatanan yang terbentuk dari relasi-relasi spontan. Ekonomi pasar-bebas adalah locus dan model spontanitas serta kebebasan itu, dan semua bentuk ekonomi planning adalah “jalan menuju perbudakan”. Oleh karena itu, segala batasan politik, kultural, sosial, dan hukum serta regulasi pemerintah harus se-minimal mungkin. Andaipun dilakukan, aturan hanya boleh bersifat ‘negatif’. Artinya, “jangan ada campur tangan”. Hak atas hidup, misalnya, diartikan sebagai hak untuk tidak dibunuh, dan bukan hak atas pangan. Sistem ekonomi yang baik adalah ‘ekonomi pasar bebas’ (free market economy).
Penyulut kontroversi tentulah bukan soal peristilahan, tetapi gagasan mazhab ini yang kemudian menyusup ke dalam berbagai kebijakan. Dengan itu kita sampai pada inti dari apa yang dimaksud neo-liberalisme dewasa ini.
Neo-liberalisme sebenarnya bukan urusan ekonomi, tetapi suatu proyek filosofis yang beraspirasi menjadi teori komprehensif tentang manusia dan tatanan masyarakat. Menurutnya Ragam relasi manusia bisa saja disebut kultural, politik, legal, sosial, psikologis, estetik, spiritual dan seterusnya. Namun, ragam relasi manusia itu dipandu melalui transaksi laba-rugi yang berlaku dalam kinerja ekonomi pasar.
Dalam kerangka filsafat, neoliberalisme mampu dikatakan sebagai determinisme ontologis tentang kodrat manusia. Seperti setiap determinisme ontologis, ia terjalin satu dengan determinisme epistemologis (cara-berpikir), yang pada gilirannya memperanakkan determinisme etis. Neoliberalisme pada mulanya adalah agenda untuk menemukan wujud sempurna relasi spontanitas dan kesukarelaan dari kebebasan. Tatkala avatar tertinggi spontanitas dan kesukarelaan itu ditetapkan bersemayam dalam model kebebasan transaksi ekonomi pasar, berkembang pula patokan tentang siapa manusia, bagaimana ia harus menjadi, bagaimana ia harus berpikir serta dipikirkan, dan tentu saja bagaimana ia harus bertindak serta berelasi. Di ujung hari, neo-liberalisme berisi proyek normatif tentang bagaimana manusia dan tata masyarakat harus menjadi. Dan homo oeconomicus adalah model manusia sejati.
Apa yang menggetarkan adalah bahwa neo-liberalisme merupakan proyek normatif mengorganisir tata masyarakat menurut prinsip pasar-bebas. Secara singkat, langkah yang kemudian diusahan neoliberalisme adalah pertama, dengan proyek normatif memandang semua relasi manusia sebagai relasi pasar, neo-liberalisme mengajukan homo oeconomicus sebagai teori kodrat manusia yang diterapkan dalam bidang politik, hukum, sosiologi, psikologi, sejarah, kriminologi, dan seluruh ilmu-ilmu manusia serta humaniora. Kedua, karena model manusia sejati adalah pengusaha, setiap orang perlu melihat dan mengubah dirinya sesuai idiom bisnis dan pasar. Dengan itu berkembang “iklim kultural baru, yaitu tata-kelola identitas diri dan relasi-relasi yang didasarkan pada kapitalisasi kehidupan”. Ketiga, karena setiap orang adalah pengusaha swasta, apabila ia jatuh menganggur atau miskin, itu disebabkan kesalahannya sendiri. Pada akhirnya tak ada lagi perbedaan antara ‘ekonomi pasar’ (market economy) dan ‘masyarakat pasar’ (market society), lantaran seluruh gugus relasi yang membentuk ‘masyarakat’ telah diubah menjadi relasi pasar. Keempat, dari situ hanya butuh langkah kecil untuk melihat implikasinya bagi tata-negara. Kelima, mengusahakan peledakan prinsip pasar dibidang lain, selain bidang ekonomi.
Di lain sisi, sebagaimana kita ketahui pula, bahwa secara literal neo-liberal adalah neo (dan) libertas (kebebasan). Bagaimana pun, misi besar yang digendong oleh neoliberal adalah kebebasan. Dikatakan bahwa, dalam paradigma neoliberal, kebebasan adalah kesempatan yang sama bagi setiap individu dalam mencapai akses pasar. Sedang tatanan masyarakat sejatinya—meminjam istilah Marx—terdapat kelas-kelas sosial yang timpang, ada proletar dan ada berjuis. Pertanyaan yang muncul dalam kesamaan kesempatan (kebebasan) ini adalah, “bagaimana seorang miskin mampu mengakses pasar?”. Bagi neoliberalis, jawabnya adalah itu adalah pilihanmu, eligo ergo sum!. Namun itu samasekali tak mampu menjawab pertanyaan seorang miskin yang tak punya daya beli untuk mengakses pasar. Secara logis mampu dibuktikan dengan satu premis bahwa pundi-pundi seorang miskin lah yang menentukan daya beli untuk mengases pasar.
Jadi, kalau dirunut, kebebasan ditempuh lewat rute-rute berikut: kebebasan mensyaratkan kebebasan preferensi/individu, kebebasan preferensi mensyratkan daya beli, daya beli mensyratkan pemilikan pundi-pundi, dan pundi-pundi hanya mampu digapai ketia manusia mempu melakukan re-identifikasi diri menjadi homo oeconomicus—menjadikan apasaja dalam diri kita sebagai modal (capital).
Tentang proyek neo-liberal, mungkin ada gunanya ditegaskan bahwa soalnya bukan ‘kebebasan’, tetapi aksesnya yang secara mutlak tergantung pada ‘daya beli’. Soalnya bukan pula terletak pada kinerja ‘daya beli’ dan ‘uang’ dalam ekonomi, tapi pada seleksi penikmatan kebebasan yang didasarkan pada tiket ‘daya-beli’. Begitu pula masalahnya bukan ‘laba’ dan ‘pasar’, melainkan aplikasi prinsip pasar pada seluruh aspek kehidupan.
Tulisan Herry yang begitu berbobot ini namun dapat dengan begitu mudah dibaca, nyaris tanpa kritik yang bisa saya sampaikan. Secara keseluruhan artikel yang ditulis dengan logika dan premis-premis tanpa terputus ini adalah sebuah kritik global terhadap Sejarah, dengan “S” besar, yang selama ini telah menyihir mata sehat menusia menjadi rabun begitu saja. Herry mampu menrenggangkan barisan kusut filsafat neoliberalisasi dalam kerangka filosofik yang begitu mudah dipahami.
Sekalipun di bangku perkulian wacana/pengetahuan semacam sama sekali tidak disajikan, bukan berarti ia tidak diperlukan. Artikel-artikel semacam ini sangat perlu dan sangat layak dipelajari oleh mereka yang ingin mempelajari fenomena global yang penuh dengan kebohongan. Perlu untuk dipromosikan!
Sesungguhnya semua kekusutan itu bukan perkara baru. Dalam sungai sejarah, amat sering klaim atas penemuan kebebasan telah membawa kita ke dalam perangkap baru. Refleksi sederhana yang bersifat membongkar ini mungkin terdengar asing bagi mereka yang telah menghuni proyek neo-liberal. Itu gejala biasa, sebab orang tidak sadar akan ideologinya, sebagaimana orang tidak sadar akan bau mulutnya. Sedangkan bagi mereka ang tidak sepakat terhadap proyek neo-liberal, alasannya bermacam. Beberapa segera mengenali betapa naif premis neo-liberalisme. Untuk beberapa lain, arah kritik tertuju pada proyek neo-liberal yang meremuk watak sosial hidup-bersama. Sedangkan untuk para aktivis, kritik terhadap proyek neo-liberal mungkin berupa ratapan betapa makin sulit melakukan aksi bersama.
Kebebasan adalah cita-cita agung yang merawat sifat keramatnya dengan menjadi elusif, atau selalu lolos dari genggaman. Untuk menjadi bagian hidup, ia tidak-bisa-tidak menjelma ke dalam materialitas gejala. Akantetapi, bukankah lalu penjelmaan senantiasa melahirkan cacat? Benar! Semoga refleksi sederhana ini sedikit menyingkap betapa neo-liberalisme terlalu kerdil untuk menjadi avatar kebebasan; atau kebebasan terlalu besar untuk neo-liberalisme. Namun dalam kefanaan itu, ada jenis cacat yang lebih tertanggung daripada cacat-cacat lain. Dan cacat kebebasan yang disebabkan oleh proyek neo-liberal, seperti juga yang muncul dari proyek fundamentalisme agama, bukanlah jenis cacat yang pantas kita tanggung.
Akhirnya, dalam kisah jerih-payah ini, apa yang bisa kita bagikan untuk merawat kemungkinan hidup-bersama dari kolonisasi proyek neo-liberal barangkali juga dapat menjadi jalan menyelamatkan sifat elusive kebebasan dari perangkapnya sendiri.
*Penulis adalah Gasrul; Giat Rumah Baca Srawung.
Judul : Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan
Serial : –
Penulis : B. Herry-Priono
Penerbit : –
Tahun Terbit : –
Halaman : 20 Halaman
Sumber : E-book
Belum ada tanggapan.