Portal Berita Buku – Seperti apa novel Surga Sungsang itu? Yang suka mengikuti kolom sastra di koran Suara Merdeka pasti tidak asing dengan Triyanto Triwikromo. Lelaki kelahiran Salatiga, 15 September 1964 ini adalah pemegang kunci rubrik sastra di Suara Merdeka. Ia termasuk cerpenis produktif dan telah menghasilkan banyak karya, sebut saja misalnya kumpulan cerpen Rezim Sek; Ragaula; Sayap Anjing; Anak-anak Mengasah Pisau-Children Sharpening the Knives (kumpulan cerpen dwibahasa Indonesia-Inggris), Malam Sepasang Lampion; Ular di Mangkuk Nabi.Menyusul buku-buku tersebut, tahun ini Surga Sungsang menjadi pelengkap buku-buku karya Triyanto Triwikromo. Rencananya novel ini akan dirilis pada Januari 2014.
Ia termasuk cerpenis yang cukup berani mengambil latar luar negeri. Simak misalnya dalam cerpen Belenggu Salju atau Tak Ada Eve di Champs-Elysees. Namun ia juga terkenal dengan karya-karya realis-magisnya, seperti pada buku Surga Sungsang kali ini.
“Benar-benar surga sungsang: firdaus di bumi dan sekaligus kiamat yang digerakkan manusia sendiri. Yang ganjil silih berganti dengan yang riil. Chaos dan kosmos. Ada kecanggihan dan juga kepintaran dalam novel ini –sebuah novel yang akhirnya bukan sekadar karya fiktif. Di situ kita diingatkan akan konsep teater epik Brecht. Dengan terus terang pula pengarangnya memperlihatkan sebuah permainan yang cerdas, kerapian realisme (dengan latar Indonesia) yang dihiasi imaji-imaji surealistis yang ia takik dari karya Gabriel Garcia Marquez,” komentar Goenawan Mohamad.
Memperindah penyajian Surga Sungsang, setiap bab cerita dalam novel tersebut diberi berbagai lukisan oleh pelukis Indonesia yang kini mukim di Australia Jumaadi Jumaadi. Lukisan-lukisan itu berdampingan dengan cerita sehingga menjadi sebuah selebrasi rupa dan bahasa secara bersama-sama.
Kelahiran novel Surga Sungsang ini mendapat apresiasi banyak sastrawan terkemuka, sebut misalnya Goenawan Mohamad, Sitok Srengege, Mustofa Bisri dan Linda Christanty. Dalam endorsementnya, Linda Christanty, pemeroleh Penghargaan Sastra Asia Tenggara –SEA Write Award—2013, menyatakan kekagumannya pada cara Triyanto menulis cerita dalam novel Surga Sungsang.
“Cara Triyanto Triwikromo menyampaikan cerita begitu menarik buat saya. Surga Sungsang yang bercerita tentang tanjung yang hendak tenggelam dan pergolakan tokoh-tokohnya melawan kekerasan serta memperjuangkan kebenaran membuat saya tak habis pikir bagaimana ia bisa menulis cerita seperti itu. Saya kagum,” tulisnya.
Di bagian lain kita bisa simakk endorsement Gus Mus,”Menyorot sejarah kelam negerinya, novel liris ini ditulis secara akurat dan cermat oleh pengarang yang juga dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan jurnalis. Surga Sungsang berbicara tentang persoalan penting kemanusiaan yang dikemas canggih dalam teknik penceritaan inovatif. Triyanto Triwikromo menyebut-nyebut Allah, malaikat, Jibril, ayat, surga, neraka, syekh, kiai, wali, umat, Tanah Jawi, Wali Sanga, lurah, adipati, dan idiom-idiom keagamaan serta keindonesiaan lain, tetapi istimewanya, dia sama sekali tidak menyitir dalil-dalil dan nash-nash agama maupun butir-butir Pancasila dan UUD 1945. Justru karena itulah novel tentang perilaku manusia di dan teleng-nya agama serta kondisi Indonesia yang memilukan dan masih terus memilukan, ini memikat.”
Seperti apa Surga Sungsang itu? Mari kita intip sedikit cuplikannya:
…Tengah malam ada yang mengetuk pintu rumah Nuh.
“Siapa?” tanya Nuh gemetar.
“Aku Jibril,” kata salah seorang sambil tertawa cekikan.
Nuh tambah gemetar. Dia tahu tugas malaikat yang cantik, besar, dan sangat kuat itu menyampaikan wahyu. Allah tak mungkin menurunkan wahyu untukku. Aku manusia bodoh yang tak pernah sekolah.
“Aku Khidir,” ujar yang lain tak kalah kocak.
“Khidir?” tanya Nuh kian gemetar karena dia paham Khidir telah membunuh bayi merah dan tidak pernah menyesali perbuatan yang dianggap Nabi Musa sangat tercela itu.
“Dan aku Izrail. Kami akan mencabut nyawamu. Jangan bersedih, kami akan membunuhmu tanpa rasa sakit. Kami akan mengajakmu menertawakan apa pun di tengah laut, dan pada puncak humor yang sama sekali tak menyakitkan perut, kami mencabut nyawamu pelan-pelan.”
Tentu saja Nuh ketakutan. Meskipun demikian tetap saja dia membuka pintu untuk tiga sosok bersorban yang mengaku sebagai malaikat itu.
Tak ada sayap di bahu mereka. Berarti mereka cuma manusia biasa. Atau kalaupun mereka malaikat, pasti sedang bercanda. Tak mungkin mereka memberi tahu siapa pun yang bakal dicabut nyawanya. Jadi, mengapa aku harus takut? Aku harus tetap menyeberangkan mereka.
Bagaimana kelanjutannya? Silakan baca dalam Surga Sungsang-nya Triyanto Triwikromo.
Belum ada tanggapan.