Obama adalah sejarah. Dalam sejarah presiden Amerika, Obama telah menciptakan sejarah baru bagi African American. Isu kulit hitam tentu saja sudah harus dihilangkan dalam masyarakat yang plural seperti Amerika. Meski demikian, hal ini tentu saja tak mudah. Ada proses yang panjang untuk mendudukan Obama sebagai Presiden Amerika berkulit hitam.
Obama merupakan alumni Harvard dan ialah orang pertama dari kaum African American menjadi Presiden Harvard Law Review. Sebagai Presiden, banyak harapan agar ia tak seperti Bush yang cenderung membawa citra buruk antara hubungan antara Barat dengan Islam. Hal ini pun dibuktikannya ketika ia menjadi Presiden. Sikapnya yang bersahabat dengan islam, membuatnya semakin disegani, tetapi ada pula lawan politiknya yang tak suka dengan sikapnya itu.
Secara singkat Obama lahir di Hawaii 4 Agustus 1961. Pindah ke Indonesia saat usia 6 tahun, Setelah umur sepuluh tahun, ia kembali bersama kakek dan neneknya di Hawaii sampai tamat SMU di tahun 1979. Kuliah di Occidental College di California selama dua tahun, dan pindah di Columbia University. Meraih sarjana di bidang ilmu politik di tahun 1983. Tahun 1988, ia mendaftar sekolah hukum di Harvard, disinilah ia pertama kali mendapatkan pengakuan karena menjadi African American pertama yang terpilih sebagai Presiden Harvard Law Review. Ia lulus dengan magna cumlaude di tahun 1991. Ia mengajar di Sekolah Hukum Universitas Chicago untuk mata kuliah Hukum Konstitusional. Ia menuliskan bukunya Dreams From My Father di tahun 1995. Karir politiknya dimulai dari Illinois di tahun 1996, yang menjabat di Majelis Tertinggi. Juni 2008 akhirnya ia terpilih menjadi calon definitif kandidat Presiden Amerika dari partai Demokrat untuk pemilihan umum 2008.
Selama masa politiknya itulah, Lisa Rogak mencatat apa yang menjadi kata-kata Obama. Dari ketika ia mendapat sorotan media saat karirnya melejit menjadi senator di tahun 1996. Hingga ia menjadi kandidat Presiden pada pemilu tahun 2008. Lisa Rogak mendokumentasikan apa yang Obama katakan mengenai berbagai hal.
Dari kata-kata itulah, kita bisa mencermati sikap Obama dalam urusan agama, pandangannya tentang politik, pendidikan sampai pada pandangannya tentang masa depan. Kita bisa melihat sikapnya sebagai politikus yang tak hanya mementingkan ucapan, tetapi juga bertindak sebanyak mungkin untuk demokrasi. Salah satu kalimat yang ia lontarkan adalah tentang agama.
Sebagai negara pluralis, isu agama tentu menjadi isu yang semakin mendewasakan. Obama mengatakan : “Saya memandang keyakinan lebih dari sekadar penghiburan bagi yang susah atau perlindungan setelah mati. Agama itu agen aktif, nyata di dunia ini. Agama adalah sumber harapan”, dikutip dari Chicago Tribune, 29 Juni 2006. Melihat apa yang Obama katakan, saya tentu saja bersepakat dengan hal ini. Pandangan Obama tak hanya terkesan kritis dan radikal, tetapi begitulah sejatinya agama, ia bukan hanya meninabobokkan kita selama hidup dan membuat angan-angan indah tentang surga. Agama adalah realitas, agama adalah agen aktif, ia adalah sumber harapan.
Bila agama tak menciptakan harapan, tentu saja agama makin lama makin ditinggalkan. Sebab ia diangap pasif, dan tak membawa perubahan. Inilah yang saya rasa masih menjadi fenomena di negeri kita. Agama cenderung menjadi lipstik dan kosmetik semata. Agama kemudian menjadi topeng yang indah yang menutupi keburukan pelakunya. Terlebih dalam hal politik, agama cenderung dijadikan sarana untuk memuluskan jalan politik. Ketika akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, ia tiba-tiba mendadak begitu rajin beribadah, datang ke masjid-masjid besar menjadi penceramah dan memberikan orasi politiknya, padahal ketika ia tak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, datang ke masjid saja tak pernah. Contoh diatas adalah contoh yang sering kita lihat di sekitar kita mengenai cara beragama para politikus kita. Orang masih menganggap agama sebagai sesuatu yang terpisah, bukan sebagai sesuatu yang menyatu, menjadi sikap hidup. Karena itulah ia cenderung pasif, dan stagnan.
Dalam hal demokrasi, Obama pun memiliki pendapat yang jitu. Sebagai negara demokrasi yang terbesar, tentu saja Amerika tak hanya dipandang oleh dunia, tetapi juga mendapat sorotan oleh negara seperti Indonesia. “Akan selalu ada konflik dalam demokrasi. Ini negara besar. Ini negara rumit. Demokrasi itu merepotkan, namun sebagian besar menyehatkan” Charlie Rose Show, 19 Oktober 2006.
Pendapat Obama tadi sepertinya juga sesuai dengan kondisi di negara kita. Berbicara demokrasi di Indonesia, tentu saja banyak yang mendukung, banyak pula yang menentangnya. Banyak yang menentang karena praktik demokrasi selama ini di negeri kita masih cenderung dianggap sebagai demokrasi yang meminjam kata Mohamad Sobary sebagai demokrasi yang melanggengkan “para pencopet”. Sedangkan bagi para pendukung demokrasi, mereka masih percaya akan ada generasi yang memegang nurani mereka dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Tetapi kata-kata terakhir Obama adalah sebuah tantangan sekaligus harapan dan kepercayaannya terhadap demokrasi. Demokrasi dinilai Obama sebagai sesuatu yang menyehatkan. Ia menganggap untuk menjadi sehat itulah, diperlukan usaha dan kerja keras untuk menghindari korupsi, dan pembajakan demokrasi.
Di buku yang berjudul Obama in His Own Words (2008), kita akan mendapati kata-kata Obama tak hanya sekadar kalimat-kalimat yang cergas, ringkas. Tetapi juga merupakan kalimat yang bertabur ide, dan gagasan. Kalimat-kalimatnya seperti Aforisma, suatu pemikiran yang melingkupi banyak hal. Misalnya dalam hal pendidikan ia pernah mengatakan: “Kita berkewajiban dan bertanggungjawab untuk berinvestasi pada siswa dan sekolah; memastikan bahwa mereka yang berprestasi baik,berkeinginan dan berkemauan,tapi tak punya uang, tetap bisa mendapatkan pendidikan terbaik”. Dikutip dari Black Issues in Higher Education, 7 oktober 2004.
Melalui buku ini, kita akan mendapati sosok Obama tak hanya sebagai pemikir dalam banyak hal, tetapi juga sebagai aktor, sekaligus pelaku yang telah membawanya menjadi Presiden Amerika dengan melakukan pelbagai perubahan dalam banyak bidang.
Meski dikemas dalam bentuk petikan kalimat-kalimat pendek, tetapi buku ini sanggup merekam dan merangkum gagasan yang dipaparkan oleh Obama. Seperti kalimat pendek berikut yang memberikan kritik tentang kepemimpinan “Ini bukan soal masyarakat bisa lupa bagaimana cara bermimpi. Para pemimpin merekalah yang lupa” (Philadelphia Inquirer, 11 Desember 2006).
Obama memang telah menjadi sejarah. Kita tak tahu kiprahnya setelah masa kepemimpinannya berakhir sebentar lagi. Tetapi semasa kepemimpinannya itulah, ia telah membawa sejarah baru dalam politik dan sejarah kepemimpinan Amerika. Buku ini ikut memotret bagaimana sosoknya yang bersahaja, brilian, dan penuh karisma dihadirkan kepada pembaca melalui petilan pidato-pidatonya.
*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.